communicationdomain

Author Archive

DRAMATISM THEORY

(TEORI DRAMATISME)

Berdasarkan Penelitian Kenneth Burke

by: A.C.S.

 

ABSTRACT

Life is drama. The dramatistic pentad of act, scene, agent, agency, and purpose is the critic’s tool to discover a speaker’s motive. The ultimate motive of rhetoric is the purging of guilt. Without audience identification with the speaker, there is no persuasion. (Rhetorical and semiotic traditions).

Keywords: retorical, drama, language as a symbolic.

 

Karl Elliot benar-benar menantikan bagian ini dari rutinitas paginya. Ia duduk dengan secangkir kopi dan surat kabar pagi. Ia memberikan satu jam penuh bagi dirinya untuk membaca semua berita hari ini dan menikmati kopinya. Ini merupakan bagian yang paling ia sukai dalam satu hari, dan ia bangun lebih pagi untuk memastikan bah wa ia mempunyai cukup waktu setelah berolahraga dan sebelum pergi ke kantor. Tetapi hari ini ia merasa tidak  senang. Ia melihat headline surat kabar dengan perasaan sebal. Ia sudah muak membaca mengenai para pengusaha yang tidak punya akal sehat. Hari ini ia membaca mengenai Martha Stewart. Artikel itu menyebutkan bahwa Stewart menghasilkan lebih banyak uang ketika ia berada di dalam penjara daripada ketika ia sedang diluar, meskipun sekarang keadaanyya tidak begitu buruk.

Karl mengangkat wajahnya dari surat kabar ketika pasangannya, Max masuk ke dalam ruang sarapan. Karl bertanya, “Max, apa kamu sudah membaca tentang Martha Stewart? Ia malah menghasilkan uang sebanyak 5 juta dolar saat ia sedang di dalam penjara! Di mana hukumannya kalau begitu caranya? Benar-benar omong kosong. Wantita itu buakn siapa-siapa melainkan seorang pembohong yang serakah.”

Max mengangkat bahunya dan tertawa. Ia telah biasa melihat Karl begitu terbawa suasana permasalahan yang sedang hangat. Max tidak melihat persoalan Martha Stewart sebagai sesuatu yang penting. Ia menyambar secangkir kopi dan pergi ke kantor. Karl kembali membaca surat kabar tersebut.

Artikel itu menggambarkan tuduhan terhadap Stewart dan argumennya mengenai mengapa ia tidak bersalah. Pembelaannya menyatakan bahwa ia memiliki sebuah kesepakatan yang telah ada sejak dulu dengan pialangnya perihal menjual bagian saham ImClone, yang didirikan dan dijalankan oleh teman baiknya Samuel Waksal. Hanya merupakan suatu kebetulan belaka bahwa ia mampu untuk melepaskan hamper 4000 lembar saham sebelum perusahaan hancur dan saham tersebut menjadi tidak berharga

Karl tersenyum pada dirinya sendiri, berpikir bahwa setidaknya Stewart tidak berhasil lolos dengan cerita yang begitu lemah. Ia tidak percaya bahwa Stewart bisa saja telah berbicara dengan teman baiknya, Samuel Waksal, dan tidak mendapatkan bocoran untuk menjual saham-saham yang dimilikinya. “ternyata itu cara orang kaya menjadi lebih kaya lagi,” piker Karl. Karl berpikir sangat menyedihkan bahwa semua pemegang saham kecil di

IMClone harus kehilangan uang sementara Stewart malah menghasilkan lebih banyak uang lagi di penjara.

Karl melihat bahwa ia sudah sedikit terlambat, jadi ia memasukkan surat kabarnya ke dalam tasnya dan pergi bekerja. Sesampainya di kantor, beberapa orang sedang berbicara mengenai Martha Stewart. Koleganya Diane setuju dengannya dan mengatakan bahwa ia tidak percaya bahwa dana pension yang ia investasikan sedang mengalami kerugian di bursa saham. Karl memandang Diane dan tersenyum “Kamu benar,” katanya. “Semua orang di seluruh negeri ini mengalami kerugian karena nmelemahnya pasar saham. Begitupun seharusnya Stewart.” Kolega lainnya, Randy, tidak setuju dengan hal ini, menyatakan bahwa kita seharusnya selalu memaafkan kesalahan semacam ini. Ia berpikir bahwa Stewarts sudah cukup mendapatkan hukuman,

Ketika Karl berkendaran pulang ke rumah dari tempat kerjanya malam itu, ia mendengar komentator berita di radio mengatakan bahwa maria Stewart adalah ikon yang disukai oleh orang Amerika untuk dibenci. Ia kini sedang menuai kebencian public yang telah menumpuk karena ia telah lama menjadi symbol kesempurnaan. Cerita radio tersebut berlanjut mengatakan bahwa Amerika Serikat sangat suka menciptakan public figure dan lebih suka lagi melihat mereka jatuh. Komentator menyatakan bahwa opini public mengenai Stewart terlihat semakin meningkat, semenjak ia megalami masa tahanannya. Tampaknya rakyat Amerika bersedia untuk memaafkannya.

Cerita itu menyimpulkan bahwa Amerika adalah bangsa yang menyukai kemunculan kembali seorang public figure. Karl tidak setuju. Ia berpikir bhawa Martha Stewart patut un

tuk tidak dimaafkan karena tindakan ilegalnya, bukan karena orang Amerika suka melihat seseorang yang berkuasa dipaksa berlutut di panggung public. Selain itu Karl tidak dapat menghargai perilaku Stewart selama investigasi mengenai penjualan sahamnya. Stewart hanya diam saja. Karl berpendapat bahwa jika Anda melakukan hal yang salah, Anda harus cukup besar hati untuk mengakuinya. Meskipun ia menjalani masa hukumannya, ia masih tetap saja mendapatkan keuntungan yang besar. Karl menganggap itru sebagai sesuatu yang memuakkan.

 

SEKILAS TEORI

Teori Burke membandingkan kehidupan dengan sebuah pertunjukkan dan menyatakan bahwa sebagaimana dalam sebuah karya teatrikal, kehidupan membutuhkan adanya seorang actor, sebuah adegan, beberapa alat untuk terjadi adegan itu, dan sebuah tujuan. Teori ini memungkinkan seorang kritikus retoris untuk menganalisis motif pembicara dengan mengidentifikasi dan mempelajari elemen-elemen ini. Selanjutnya, Burke percaya, rasa bersalah adalah motif utama bagi pembicara, dan Dramatisme menyatakan bahwa seorang pembicara akan menjadi paling sukses ketika mereka memberikan khalayaknya cara untuk menghapuskan rasa bersalah mereka.

 

LATAR BELAKANG TEORI

Beberapa ahli retorika mungkin akan menganalisis masalah Martha Stewart dan respons Karl dengan menggunakan Dramatisme (Dramatism), posisi teoretis yang berusaha untuk memahami tindakan kehidupan manusia sebagai drama. Kenneth Burke dikenal sebagai penggagas Dramatisme, meskipun ia sendiri tidak mengunakan istilah tersebut. Burke, yang meninggal pada tahun 1993 pada usia 96 tahun, merupakan orang yang hebat, dan tidak seperti teoretikus lain, Burke tidak pernah memperoleh gelar sarjana, apalagi gelar doctor. Ia adalah seorang otodidak dalam bidang

 

kritik sastra, filsafat, komunikasi, sosiologi, ekonomi, teologi, dan linguistic. Ia mengajar selama hampir 20 tahun di berbagai universitas, termasuk Harvard, Princeton, dan Universitas Chicago.

Keluasan minatnya dan mungkin kurangnya pelatihan formal pada salah satu bidang disiplin ilmu tersebut membuatnya menjadi salah seorang teoretikus yang paling interdisipliner yang kita pelajari. Ide-idenya telah diterapkan secara luas dalam berbagai area termasuk sastra, teater, komunikasi, sejarah, dan sosiologi. Tidak diragukan bahwa salah satu alas an mengapa ide-ide Burke dibaca secara luas dan sangat dapat diterapkan berkaitan dengan fokusnya pada sistem symbol-salah satu cara utama dari pertukaran intelektual dan usaha ilmiah bagi para peneliti yang bekerja dalam bidang humaniora. Dramatisme memberikan fleksibilitas pada para peneliti untuk mempelajari sebuah objek kajian dari berbagai macam sudut pandang.

1945. Tahun dimana, Kenneth Duva Burke memperkenalkan konsep dramatisme sebagai metode untuk memahami fungsi sosial dari bahasa dan drama sebagai pentas simbolik kata dan kehidupan sosial. Tujuan Dramatisme adalah memberikan penjelasan logis untuk memahami motif tindakan manusia, atau kenapa manusia melakukan apa yang mereka lakukan (Fox, 2002).Dramatisme memperlihatkan bahasa sebagai model tindakan simbolik ketimbang model pengetahuan (Burke, 1978). Pandangan Burke adalah bahwa hidup bukan seperti drama, tapi hidup itu sendiri adalah drama. 1959.

Dramatisme, sebagaimana terlihat dari namanya, mengonseptualisasikan kehidupan sebagai sebuah drama, menempatkan suatu focus kritik pada adegan yang diperlihatkan oleh berbagai pemain. Seperti di dalam sebuah drama, adegan dalam kehidupan adalah penting dalam menyingkap motivasi manusia. Dramatisme memberikan kepada kita sebuah metode yang sesuai untuk membahas tindakan komunikai antara teks (bagaimana Karl menerima dan menghubungkan dengan apa yang ia ketahui mengenai Stewart) dan khalayak untuk teks (Karl), serta tindakan di dalam teks itu sendiri (motif dan pilihan Stewart). Sebagaimana dikatakan oleh C. Ronald Kimberling (1982), “Dramatisme secara meyakinkan memberikan sebuah pandangan kritis yang tidak dapat dihasilkan oleh metode lainnya” (hal.13). ketika Karl membaca mengenai kasis Stewart dan klaim-klaimnya, Karl seperti sedang melihatnya sebagai seorang aktir. Dalam istilah Burke, Karl memahami Stewart sebagai seorang actor dalam sebuah adegan, berusaha untuk mencapai tujuannya sebagai hasil dari motif-motif tertentu. Jadi, dia memberikan komentar mengenai motifnya ketika ia mengevaluasi tindakan Stewart menjual saham ImClone-nya beberapa saat sebelum kejatuhan pasar saham serta kemampuannya untuk mendapatkan berjuta-juta dolar ketika ia ada di dalam penjara akibat perbuatannya itu. Teori Dramatisme Burke memungkinkan kita untuk menganalisis baik pilihan retoris Stewart dalam situasi ini (bagaimana ia membingkai kasusnya dalam pernyataan hukum dan bagaimana dia membela kemampuannya mendapatkan uang ketika sedang dipenjara) dan respons Karl mengenai pilihan Stewart (penolakan terhadap penjelasan Stewart).

Drama adalah metafora yang berguna bagi ide-ide Burke untuk tiga alasan:

  1. Drama mengindikasikan cakupan yang luas, dan Burke tidak membuat klaim yang terbatas; tujuannya adalah untuk berteori mengenai keseluruhan pengalaman manusia. Metafora dramatis khususnya berguna dalam menggambarkan hubungan manusia karena didasarkan pada interaksi atau dialog. Dalam dialognya, drama menjadi model hubungan dan juga memberikan penerangan pada hubungan.
  1. Drama cenderung untuk mengikuti tipe-tipe atau genre yang mudah dikenali: komedi, musical, melodrama, dan lainnya. Burke merasa bahwa cara kita membentuk dan menggunakan bahasa yang dapat berhubungan dengan cara drama manusia ini dimainkan. Sebagaimana diamati oleh Barry Brummett (1993), “Kata-kata akan terangkai menjadi wacana berpola pada tingkat makro dari keseluruhan teks atau wacana. Burke berargumen bahwa pola berulang yang menggarisbawahi suatu teks menjelaskan bagaimana teks tersebut menggerakkan kita.
  2. Drama selalu ditunjukkan pada khalayak. Dalam hal ini, drama bersifat retoris. Burke memandang sastra sebagai “peralatan untuk hidup,” artinya bahwa literatur atau teks berbicara pada pengalaman hidup orang dan masalah serta memberikan orang reaksi untuk menghadapi pengalaman ini. Dengan demikian, kajian Dramatisme mempelajari cara-cara dimana bahasa dan penggunaannya berhubungan dengan khalayak.

 

ASUMSI DRAMATISME

Asumsi memberikan sebuah makna dari ontology teoretikus. Pemikiran Kenneth Burke begitu rumit sehingga sulit untuk merduksinya menjadi sebuah seperangkat asumsi. Beberapa asumsi berikut ini menggambarkan sulitnya memberikan label kepada ontologi Burke. Peneliti seperti Brummet (1993) telah menyebut asumsi Burke sebagai ontologi simbolis dikarenakan penekanannya pada bahasa. Walaupun begitu, Brummet mengingatkan bahwa, “Hal terbaik yang dapat dilakukan seseorang, dalam mencari inti dari pemikiran Burke, adalah untuk menemukan sebagian ontologinya, dasar bagi kebanyakan bagian. Bagi Burke, orang umumnya melakukan apa yang harus mereka lakukan, dan dunia kebanyakan adalah seperti itu adanya, karena sifat dasar dari sistem symbol itu sendiri. Komentar Brummet memberikan gambaran mengenai tiga asumsi teori Dramatisme Burke berikut ini:

  • Humans are animals who use symbols.
  • Language and symbols form a critically important system for humans.
  • Humans are choise makers.

Asumsi pertama berbicara mengenai kesadaran Burke bahwa beberapa hal yang kita lakukan dimotivasi oleh sinbol-simbol. Contohnya, ketika Karl minum kopi pagi harinya, dia memuaskan rasa hausnya, sebuah bentuk naluri hewan. Ketika ia membaca surat kabar pagi dan berpikir mengenai ide-ide yang ia temukan disana, ia dipengaruhi oleh simbol. Ide bahwa manusia adalah hewan yang menggunakan symbol menggambarkan sebuah ketegangan dalam pemikiran Burke. Seperti yang diamati oleh Brummett (1993), asumsi ini, “terombang-ambing anara kesadaran bahwa beberapa dari yang kita lakukan dimotivasi oleh sifat naluriah hewan dan beberapa oleh sifat simbolik”. Dari semua symbol yang digunakan manusia, bahasa adalah yang paling penting bagi Burke, dan ini membawa kita kepada asumsi yang kedua.

Dalam asumsi kedua (mengenai pentingnya bahasa), posisi Burke cukup mirip dengan prinsip relativitas linguistic yang dikenal sebagai Hipotesis Sapir-Whorf (Sapir, 1921; Whorf, 1956). Sapir dan Whorf menyatakan bahwa sangat sulit untuk berpikir mengenai konsep atau objek tanpa adanya kata-kata bagi mereka. Jadi, orang dibatasi (dalam batasan tertentu) dalam apa yang mereka pahami oleh karena batasan bahasa meraka. Bagi Burke, seperti halnya Edward Sapir dan Benjamin Whorf, ketika orang menggunakan bahasa, mereka juga digunakan oleh bahasa tersebut. Ketika Karl mengatakan kepada Max bahwa Stewart adalah seorang pembohong yang serakah, ia memilih symbol yang ingin ia gunakan, tetapi pada saat yang bersamaan pendapat dan pemikirannya dibentuk dengan mendengar dirinya sendiri menggunakan simbol ini. Selain itu, ketika bahasa dari suatu budaya tidak mempunyai symbol untuk motif tertentu, maka pembicara yang menggunakan bahasa tersebut juga cenderung untuk tidak memiliki motif tersebut. Jadi, karena bahasa tidak mempunyai banyak symbol yang mampu mengekspresikan banyak nuansa pendapat mengenai perilaku dan motivasi Stewart, diskusi kita sering kali terpolarisasi. Ketika Karl berbicara dengan koleganya Diane dan Randy, diskusinya terfokus pada apakah Stewart bersalah atua tidak. Tidak banyak terdapat pilihan diantaranya, dan Burke berargumentasi bahwa hal ini dalah hasil langsung dari sistem symbol kita. Coba pikirkan kembali kontroversi yang pernah hangat dibicarakan (seperti implikasi moral dari cloning, penelitian pencangkokan sel, kasus Terri Schiavo, invasi ke Irak, dan lainnya). Anda mungkin mengingat diskusi tersebut sebagai proposisi hanya/atau (either/or)-posisi yang dapat dipilih hanya benar atau salah. Respons

Burke akan hal ini adalah bahwa symbol membentuk pendekatan hanya/atau kita terhadap masalah yang kompleks.

Burke menambahkan bahwa kata-kata, pemikiran, dan tindakan memiliki hubungan yang sangat dekat satu dengan lainnya. Penjelasan Burke mengenai hal ini adalah bahwa kata-kata bertindak seperti “layar terministik (terministic screens)” menuju kepada “ketidakmampuan yang terlatih (trained incapacities,” yang berartibahwa orang tidak mampu melihat di balik hal ke mana kata-kata mereka menuntun mereka (Burke, 1965). Contohnya, walaupun telah melakukan usaha-usaha pendidikan, para petugas kesehatan public Amerika Serikat tetap mengalami kesulitan untuk membujuk orang memikirkan mengenai penyalahgunaan alcohol dan obat tidur ketika menganggap “penyalahgunaan obat” sebagai penyalahgunaan obat-obatan terlarang, seperti heroin dan kokain (Brummet, 1993). Kata “penyalahgunaan obat” adalah “layar terministik,” yang menyeleksi dan membuang beberapa makna dan memasukkan yang lainnya. Untuk Burke, bahasa memiliki kehidupannya sendiri, dan “apa pun yang dapat kita lihat atau rasakan sudah ada dalam bahasa, diberikan kepada kita oleh bahasa, dan bahkan diproduksi sebagai kita oleh bahasa” (Nelson, 1989, hal. 169; penekanan seperti aslinya). Penjelasan ini sedikit berlawanan dengan asumsi terakhir Dramatisme.

Asumsi kedua menyatakan bahwa bahasa memiliki pengaruh deterministic terhadap orang (Melia, 1989), tetapi asumsi yang terakhir mengatakan bahwa manusia adalah pembuat pilihan. Burke secara gigih mengatakan bahwa ontology deterministic behaviorisme harus ditolak karena hal itu bertentangan dengan apa yang dia lihat sebagi dasar utama Dramatisme: pilihan manusia. Jadi, ketika Karl membaca mengenai Martha Stewart, dia membentuk opininya mengenai perilaku Stewart melalui kehendak bebasnya. Kebanyakan dari yang telah dibahas berpijak pada konseptualisasi akan agensi (agency), atau kemampuan aktor sosial untuk bertindak sebagai hasil dari pilihannya. Seperti yang diamati oleh Charles Conrad dan Elizabeth Macom (1995), “Esensi dari agensi adalah pilihan” (hal. 11). Tetapi, Conrad dan Macom menyatakan lebih lanjut, Burke berkutat dengan konsep agensi sepanjang kariernya, terutama karena sulitnya menegosiasikan ruang di antara kehendak benas yang sepenuhnya dan determinisme yang sepenuhnya. Pemikiran Burke terus berevolusi pada titik ini, tetapi dia tetap mempertahankan agensi sebagai konsep terdepan dalam teorinya. Untuk memahami ruang lingkup Burke mengenai teori ini, kita perlu menbahas bagaimana ia membingkai pemikirannya yang relative terhadap retorika Aristotelian.

 

DRAMATISME SEBAGAI RETORIKA BARU

Dalam bukunya A Rhetoric of Motives (1950), Burke memperhatikan mengenai persuasi, dan dia menyiapkan cukup banyak diskusi mengenai prinsip tradisional retorika yang diartikulasikan oleh Aristoteles. Burke menyatakan bahwa definisi retorika adalah, intinya, persuasi, dan tulisannya mengeksplorasi cara-cara di mana persuasi dapat terjadi. Dengan melakukan hal ini, Burke mengajukan sebuah retorika baru (Nichols, 1952) yang berfokus pada beberapa isu penting, dan yang paling penting di antara kesemuanya adalah identifikasi. Tahun 1952, Marie Nichols mengatakan hal berikut ini mengenai perbedaan antara pendekatan Burke dan Aristoteles: “Perbedaan antara retorika ‘lama’ dan retorika ‘baru’ mungkin dapat dirangkum dengan cara ini: istilah kunci untuk retorika ‘lama adalah persuasi dan menekankan pada desain yang terencana, istilah kunci untuk retorika ‘baru’ adalah identifikasi dan hal ini dapat mencakup faktor-faktor yang secara parsial ‘tidak sadar’ dalam mengajukan pernyataannya” (hal 323); penekanan sesuai dengan aslinya). Tetapi tujuan Burke tidak untuk menggantikan konseptualisasi Aristoteles, melainkan lebih kepada memberikan tambahan terhadap pendekatan tradisional.

 

Sumber:

Griffin Emory A. 2003. A First Look at Communication Theory. Singapore: McGraw-Hill.

Wood, Julia T. (1997). Communication in Our Lives. Belmont CA: Wadsworth P C.

Littlejohn, Stephen W. 2005. Theories of Human Communication. Belmont, California: Thomson Wadsworth Publishing Company.

West, Richard. Turner, Lynn. 2007. Introducing Communication Theory. NY: Mc Graw Hill.

 

by: A.C.S.

 

Ketika dua orang asing atau lebih saling bertemu, muncul ketidakpastian antara mereka berdua. Ketika seorang murid baru masuk di kelas yang baru, munculah ketidakpastian antara murid baru tersebut dengan murid-murid yang lama. Ketidakpastian itu mulai berkurang ketika murid baru tersebut mulai memperkenalkan dirinya dan murid-murid yang lama mulai berkenalan dengan dirinya. Ketika ketidakpastian mulai berkurang munculah prediksi apakah interaksi awal ini akan berkembang menjadi sebuah relasi maupun tidak. Fenomena seperti ini hampir selalu terjadi ketika seseorang berada di tempat yang baru atau bertemu dengan orang yang baru. Fenomena lainnya ketika pegawai baru mulai berkerja di sebuah kantor, ia harus melakukan adaptasi dan bergaul dengan orang lain. Penerapan teori pengurangan ketidakpastian adalah ketika pegawai ini mulai berkenalan dengan orang-orang di kantornya.

 

Deskripsi

Uncertainty Reduction Theory (URT) atau Teori Pengurangan Ketidakpastian adalah sebuah teori  yang di kemukakan oleh Charles Berger dan Richard Calabrese. Teori ini membahas tentang sebuah proses komunikasi pada dua individu yang sebelumnya saling tidak kenal, menjadi kenal sehingga dapat mengurangi ketidak pastian dalam komunikasi, dan kemudian memutuskan untuk melanjutkan komunikasi atau tidak. Dikatakan juga bahwa teori ini berhubungan dengan cara-cara kita mengumpulkan informasi tentang orang lain. Teori ini berhubungan dengan cara-cara individu memantau lingkungan sosial mereka dan menjadi tahu lebih banyak tentang diri mereka sendiri dan orang lain.

 

Uncertainty reduction theory atau teori pengurangan ketidakpastian, terkadang juga disebut Initial interaction theory. Teori ini diciptakan pada tahun 1975. Berger dan Calabrese yakin bahwa ketika orang -orang asing pertama kali bertemu, mereka mula-mula meningkatkan kemampuan untuk bisa memprediksi dalam usaha untuk mengeluarkan perasaan dari pengalaman komunikasi mereka. Prediksi dapat diartikan sebagai kemampuan untuk memperkirakan pilihan perilaku yang mungkin bisa dipilih dari kemungkinan pilihan yang tersedia bagi diri sendiri atau bagi partner relasi. Explanation (keterangan) digunakan untuk menafsirkan makna dari perbuatan masa lalu dari sebuah hubungan. Prediksi dan explanation merupakan dua konsep awal dari dua subproses utama pengurangan ketidakpastian (uncertainty reduction).

 

Versi umum dari teori ini menyatakan bahwa ada dua tipe dari ketidakpastian dalam perjumpaan pertama yaitu: Cognitive danbehavioral.

  • Cognitive uncertainty merupakan tingkatan ketidakpastian yang diasosiasikan dengan keyakinan dan sikap.
  • Behavioral uncertainty, dilain pihak berkenaan dengan luasnya perilaku yang dapat diprediksikan dalam situasi yang diberikan.

Selanjutnya Berger dan Calabrese (1975) berpendapat bahwa uncertainty reduction memiliki proses yang proaktif dan retroaktif. Uncertainty reduction yang proaktif yaitu ketika seseorang berpikir tentang pilihan komunikasi sebelum benar-benar terikat dengan orang lain. Uncertainty reduction yang retroaktif terdiri dari usaha-usaha untuk menerangkan perilaku setelah pertemuan itu sendiri.

 

Asumsi

Teori ini dibingkai oleh 7 asumsi yaitu:

  1. 1. People experience uncertainty in interpersonal setting.

Orang mengalami ketidakpastian dalam latar interpersonal.

  1. 2. Uncertainty is an aversive state, generating cognitive stress.

Ketidakpastian adalah keadaan yang tidak mengenakkan, menimbulkan stress secara kognitif.

  1. 3. When strangers meet, their primary concern is to reduce their  uncertainty or to increase predictability.

Ketika orang asing bertemu, perhatian utama mereka adalah untuk mengurangi ketidakpastian mereka atau meningkatkan predikbilitas.

  1. 4. Interpersonal Communication is a developmental process that occurs through stages.

Komunikasi interpersonal adalah sebuah proses perkembangan yang terjadi melalui tahapan-tahapan.

  1. 5. Interpersonal Communication is the primary means of uncertainty reduction. Komunikasi interpersonal adalah alat yang utama untuk mengurangi ketidakpastian.
  2. 6. The quantity and nature of information that people share change through time. Kuantitas dan sifat informasi yang dibagi oleh orang akan berubah seiiring berjalannya waktu.
  3. 7. It is possible to predict people’s behavior in a lawlike fashion.

Sangat mungkin untuk menduga perilaku orang dengan menggunakan cara seperti hukum.

Asumsi pertama menjelaskan dalam mengatur interpersonal, orang merasakan ketidakpastian karena adanya perbedaan harapan mengenai kejadian interpersonal. Pada saat ini orang akan merasakan ketidakpastian cemas untuk bertemu orang lain.

Asumsi yang kedua menyarankan bahwa ketidakpastian adalah merupakan keadaan yang tidak mengenakkan. Dengan demikian berada di dalam ketikpstian membutuhkan energi emosional dan psikologis yang tidak sedikit.

Asumsi ketiga ini menjelaskan bahwa ketika orang asing bertemu, maka terdapat dua hal yang penting :

  1. pengurangan ketidakpastian
  2. penambahan prediksi

pencarian informasi biasanya dilakukan dengan mengajukan pertanyaan dengan tujuan untuk memperoleh prediktabilitas.

Asumsi yang keempat menyatakan bahwa komunikasi interpersonal adalah proses yang melibatkan tahapan-tahapan perkembangan. Menurut Berger dan Calabrese terdapat tiga tahapan orang memulai interaksi yaitu :

  1. Entry Phase : Dalam tahap ini biasanya komunikasi hanya meliputi hal-hal umum saja seperti nama, jenis kelamin, usia, status dan hal demographis lainnya. Dalam tahap ini langkah yang ditempuh sebagianbesar bersifat normatif dan dikendalikan oleh aturan-aturan komunikasi.
  2. Personal Phase : Tahap ini komunikasi berlangsung lebih akrab dan berbagi mengenai keyakinan, pendapat, nilai dan lebih banyak data pribadi. Fase ini mulai kurang dibatasi oleh aturan dan norma komunikasi
  3. Exit Phase : Di fase ini umumnya setelah komunikator mendapatkan data-data yang ada dapat memilih untuk melanjutkan komunikasi atau memutuskan untuk menyudahinya

Asumsi kelima menyatakan bahwa komunikasi interpersonal adalah alat utama bagi pengurangan ketidakpastian. Di sini komunikasi interpersonal diidentifikasikan sebagai fokus pada URT. Komunikasi interpersonal mensyaratkan beberapa kondisi, beberapa di antaranya adalah kemampuan untuk mendengar, tanda respon nonverbal, dan bahsa yang sama. Menurut Berger (1995) ada sejumlah situasi di mana kondisi prasyarat pertemuan tatap muka ini tidak terpenuhi. Kondisi seperti ini memengaruhi proses pengurangan ketidakpastian dan pengembangan hubungan.

Asumsi keenam ini fokus pada fakta komunikasi interpersonal yang berkembang. URT mempercayai interaksi bermula dari kunci elemen di proses pengembangan.

Asumsi terakhir ini menunjukan tingkah laku orang-orang dapat memprediksi sebuah penampilan. Dalam ontologi cakupan hukum, beramsumsi bahwa perilaku manusia diatur oleh prinsip-prinsip umum yang berfungsi dengan cara seperti hukum.

 

Aksioma

Uncertainty Reduction Theory adalah teori yang dianggap paling benar. Aksioma merupakan jantung dari sebuah teori. Aksioma-aksioma ini disebut juga proposisi oleh peneliti lainnya. Tiap Aksioma menggambarkan hubungan antara ketidakpastian (konsep teoretis sentral) dan satu konsep lainnya. URT mengemukakan adanya tujuh aksioma.

Axiom 1

Given the high level of uncertainty present at the onset of the entry phase, as the amount of verbal communication between strangers increases, the level of uncertainty for each interactant in the relationship decreases. As uncertainty is futher reduced, the amount of verbal communication increases. This asserts an inverse or negative relationship between uncertainty and verbal communication.

Dengan adanya tingkat ketidakpastian yang tinggi pada permulaan fase awal, ketika jumlah komunikasi verbal antara dua asing meningkat, ketidakpastian menurun, jumlah komunikasi verbal meningkat. Hal ini menyatakan adanya kebalikan atau hubungan negatif antara ketidakpastian dan komunikasi verbal.

Jika kedua orang asing bertemu dan mereka berbicara lebih banyak dengan satu sama lain, mereka akan menjadi lebih pasti mengenai satu sama lain. Selanjutnya, ketika mereka berusaha untuk mengenal satu sama lain dengan lebih baik, mereka akan berbicara lebih banyak satu sama lain.

Axiom 2

As nonverbal affiliative expressiveness increases, uncertainty levels decrease in an initial interaction situation. In addition, decreases in uncertainty level will cause increases in nonverbal affiliative expressiveness. This is another negative relationship.

Ketika ekspresi afiliatif nonverbal meningkat, tingkat ketidakpastian menurun dalam situasi interaksi awal. Selain itu, penurunan tingkat ketidakpastian akan menyebabkan peningkatan keekspresifan afiliatif nonverbal. Hal ini merupakan salah satu hubungan yang bersifat negatif.

Ketika dua orang asing bertemu dan saling mengekspresikan diri dengan cara yang nonverbal yang hangat, mereka akan menjadi lebih pasti mengenai satu sama lain, dan ketika mereka melakukan ini, mereka akan meningkatkan afiliasi nonverbal satu dengan yang lainnya. Mereka mungkin akan lebih banyak menggunakan ekspresi wajah, melakukan kontak mata yang lebih lama, atau mungkin saling menyentuh dengan cara bersahabat ketika mereka sudah mulain nyaman.

Axiom 3

High levels of uncertainty cause increases information seeking behavior. As uncertainty levels decline, information-seeking behavior decreases. This axiom sets forth a positive relationship between the two concept.

Tingkat ketidakpastian yang tinggi menyebabkan meningkatkan perilaku pencarian informasi. Ketika tingkat ketidakpastian menurun, perilaku pencarian informasi juga menurun. Aksioma ini menunjukkan hubungan yang positif antara dua konsep tersebut.

Makin sedikit ketidakpastian yang ada, maka makin sedikit pencarian informasi yang dilakukan, begitupun sebaliknya.

Axiom 4

High levels of uncertainty in a relationship cause decreases in the intimacy level of communication content. Low levels of uncertainty produce high levels of intimacy. This axiom poses a negative relationship between uncertainty and levels of intimacy.

Tingkat ketidakpastian yang tinggi dalam sebuah hubungan menyebabkan penurunan tingkat keintiman dari isi komunikasi. Tingkat ketidakpastian yang rendah menghasilkan tingkat keintiman yang tinggi. Aksioma ini memperlihatkan hubungan yang negatif antara ketidakpastian dan tingkat keintiman.

Oleh karena ketidakpastian yang cukup tinggi antara dua orang asing yang mengobrol, maka mereka mulai dengan pembicaraan yang ringan dan tidak secara nyata membuka diri. Keintiman dari isi komunikasi mereka sangat rendah, maka ketidakpastian mereka akan sangat tinggi. Aksioma keempat ini menyatakan bahwa jika mereka terus mengurangi ketidakpastian maka derajat tingkat keintiman akan menjadi lebih tinggi. Berger (1979) menyatakan bahwa selama proses pembukaan diri ini, para partisipan harus menilai integritas dari keterbukaan itu.

Axiom 5

High levels of uncertainty produce high rates of reciprocity. Low levels of uncertainty produce low levels of reciprocity. A positive relationship is advanced here.

Ketidakpastian yang tingkat tinggi menghasilkan tingkat resiprositas yang tinggi. Tingkat ketidakpastian yang rendah menghasilkan tingkat resiprositas yang rendah pula. Hubungan yang positif terjadi di sini.

Selama dua orang asing atau lebih bertemu merasakan ketidakpastian mengenai satu sama lain, mereka akan cenderung untuk menerima perilaku masing-masing. Resiprositas (reciprocity) menyatakan bahwa jika seseorang memberikan sedikit detail personal, lainnya akan melakukan hal yang sama. Makin banyak orang berbicara satu sama lain dan mengembangkan hubungan mereka, makin mereka percaya bahwa resiprositas akan terjadi suatu titik tertentu.

Axiom 6

Similarities between people reduce uncertainty, whereas dissimilarities increase uncertainty. This axiom asserts a negative relationship.

Kemiripan di antara orang akan mengurangi ketidakpastian, sementara ketidakmiripan akan meningkatkan ketidakpastian. Aksioma ini menyatakan sebuah hubungan yang negatif.

Ketika orang asing saling bertemu dan ternyata mereka satu tempat kerja, mereka mungkin mempunyai kesamaan yang mengurangi beberapa ketidakpastian mengenai satu sama lain secara cepat. Akan tetapi, ketidakmiripan yang mereka miliki akan memengaruhi tingkat ketidakpastian mereka.

Axiom 7

Increases in uncertainty level produce decreases in liking; decreases in uncertainty produce increases in liking. Another negative relationship is posited in this axiom.

Peningkatan tingkat ketidakpastian akan menghasilkan penurunan dalam kesukaan; penurunan dalam ketidakpastian menghasilkan peningkatan dalam kesukaan. Lagi-lagi hubungan negatif diperlihatkan oleh aksioma ini.

Ketika dua orang berusaha menghilangkan ketidakpastian, mereka akan meningkatkan kesukaan mereka satu dengan yang lainnya. Jika terus merasakan ketidakpastian yang tinggi kemungkinan mereka tidak saling menyukai.

 

KONSEP UTAMA                HUBUNGAN                        KONSEP YANG BERHUBUNGAN

Ketidakpastian                 Negatif                           Komunikasi verbal

Ketidakpastian                 Negatif                           Ekspresi afiliatif nonverbal

Ketidakpastian                 Positif                             Pencarian informasi

Ketidakpastian                 Negatif                           Tingkat keintiman komunikasi

Ketidakpastian                 Positif                             Resiprositas

Ketidakpastian                 Negatif                           Kesamaan

Ketidakpastian                 Negatif                           Kesukaan

 

Teorema

Berdasarkan aksioma-aksioma di atas, Berger dan Calabrese menawarkan sejumlah teorema (theorems), atau perrnyataanbteoritis. Teorema itu berjumlah 21 yaitu :

 

  • Theorem 1: The amount of talking and nonverbal communicative expressions are positively related. (Jumlah berbicara dan komunikatif ekspresi nonverbal secara positif terkait)
  • Theorem 2: The amount of communication and its intimacy level is positively related. (Jumlah komunikasi dan tingkat keintiman positif terkait)
  • Theorem 3: Time spent in interaction and questions posed are inversely related. (Jumlah komunikasi dan tingkat keintiman positif terkait).
  • Theorem 4: Time spent communicating and instance of symmetric exchanges are inversely related. (Komunikasi verbal dan Resiprositas secara positif terkait)
  • Theorem 5: The amount of communication and liking are positively related. (Komunikasi verbal dan kemiripan secara positif terkait)
  • Theorem 6: The amount of communication and personal similarity are positively related. (Komunikasi verbal dan kesukaan secara positif terkait)
  • Theorem 7: Nonverbal expressions and intimacy level of conversation are positively related. (Ekspresi afiliatif nonverbal secara positif terkait dengan pencarian informasi)
  • Theorem 8: Nonverbal expressions and information seeking are inversely related. (Ekspresi afiliatif nonverbal secara positif terkait dengan tingkat keintiman komunikasi)
  • Theorem 9: Nonverbal expressions and instance of symmetrical exchange are inversely related. (Ekspresi afiliatif nonverbal secara positif terkait dengan resiprositas)
  • Theorem 10: Nonverbal expressions and liking are positively related. (Ekspresi afiliatif nonverbal secara positif terkait dengan kemiripan)
  • Theorem 11: Nonverbal expressions and similarity are positively related. (Ekspresi afiliatif nonverbal secara positif terkait dengan kesukaan)
  • Theorem 12: The level of communication intimacy and information seeking are inversely related. (Pencarian informasi secara positif terkait dengan tingkat keintiman komunikasi)
  • Theorem 13: The level of communication intimacy and instance of symmetrical exchange are inversely related. (Pencarian informasi secara positif terkait dengan resiprositas)
  • Theorem 14: The level of communication intimacy and liking are positively related.( Pencarian informasi secara positif terkait dengan kemiripan)
  • Theorem 15: The level of communication intimacy and similarity are positively related. (Pencarian informasi secara positif terkait dengan kesukaan)
  • Theorem 16: Posing questions and symmetrical exchanges are positively related. (Tingkat keintiman secara positif terkait dengan resiprosita)
  • Theorem 17: Posing questions and liking are negatively related. (Tingkat keintiman secara positif terkait dengan kemiripan)
  • Theorem 18: Posing questions and similarity are negatively related. (Tingkat keintiman secara positif terkait dengan kesukaan)
  • Theorem 19: Instance of symmetrical exchange and liking are negatively related. (Resiprositas dan kemiripan secara positif terkait)
  • Theorem 20: Instance of symmetrical exchange and similarity are negatively related. (Resiprositas dan kesukaan secara positif terkait)
  • Theorem 21: Similarity and liking are positively related. (Kemiripan dan kesukaan secara positif terkait)

 

Model

Uncertainty Reduction Model

Conseptual Model

 

Menurut Berger dan Calabrese terdapat tiga tahapan orang memulai interaksi yaitu :

  1. Entry Phase : Dalam tahap ini biasanya komunikasi hanya meliputi hal-hal umum saja seperti nama, jenis kelamin, usia, status dan hal demographis lainnya. Dalam tahap ini langkah yang ditempuh sebagian besar bersifat normatif dan dikendalikan oleh aturan-aturan komunikasi.
  2. Personal Phase : Tahap ini komunikasi berlangsung lebih akrab dan berbagi mengenai keyakinan, pendapat, nilai dan lebih banyak data pribadi. Fase ini mulai kurang dibatasi oleh aturan dan norma komunikasi
  3. Exit Phase : Di fase ini umumnya setelah komunikator mendapatkan data-data yang ada dapat memilih untuk melanjutkan komunikasi atau memutuskan untuk menyudahinya

 

Sumber:

Griffin Emory A. 2003. A First Look at Communication Theory. Singapore: McGraw-Hill.

Wood, Julia T. (1997). Communication in Our Lives. Belmont CA: Wadsworth P C.

Littlejohn, Stephen W. 2005. Theories of Human Communication. Belmont, California: Thomson Wadsworth Publishing Company.

 

by: A.C.S.

 

Asumsi dasar

Fundamental Interpersonal Relationship Orientation mengasumsikan bahwa ada tiga kebutuhan penting yang menyebabkan (orientasi) adanya interaksi dalam suatu kelompok. Ketiga aspek itu adalah keikutsertaan (inclusion), pengendali (control) dan kasih sayang (affection).

Diutarakan oleh William Schutz (1958) dengan Postulat Schutz-nya yang berbunyi bahwa setiap manusia memiliki tiga kebutuhan antarpribadi yang disebut dengan inklusif, kontrol dan afeksi. Asumsi dasar teori ini adalah bahwa manusia dalam hidupnya membutuhkan manusia lain (manusia sebagai makhluk sosial).
Konsep antarpribadi menjelaskan tentang adanya suatu hubungan yang terjadi antara manusia. Sedangkan konsep kebutuhan menjelaskan tentang suatu keadaan atau kondisi dari individu, apabila tidak dihadirkan atau ditampilkan akan menghasilkan suatu akibat yang tidak menyenangkan bagi individu. Ada tiga macam kebutuhan antarpribadi, yaitu kebutuhan antarpribadi untuk inklusi, kebutuhan antarpribadi untuk kontrol, dan kebutuhan antarpribadi untuk afeksi.

NCLUSION / KEIKUTSERTAAN

Kebutuhan Inklusi adalah kebutuhan yang berdasarkan pada kesadaran pribadi yang ingin mendapatkan kepuasan dengan cara berkontribusi penuh/berguna bagi kelompok atas dasar kesadaran sendiri setelah berinteraksi dalam kelompok. Kebutuhan inklusi berorientasi pada keinginan untuk pengakuan sebagai seseorang yang berkemampuan dalam suatu kondisi. Pada dimensi ini ada kecenderungan orang untuk ingin dijadikan “sandaran” untuk berkonsultasi, bertanya dan dimintai pendapat dan sarannya. Intensitas kebutuhan pemenuhan dimensi ini bagi tiap individu tidaklah sama. Kebutuhan inklusi yang terlalu tinggi akan mengakibatkan seseorang di posisi oversocial. Sedangkan kebutuhan inklusi yang terlalu rendah mengakibatkan seseorang dikategorikan dalam kelompok undersocial.

Kebutuhan Antarpribadi untuk Inklusi

Yaitu kebutuhan untuk mengadakan dan mempertahankan komunikasi antarpribadi yang memuaskan dengan orang lain, sehubungan dengan interaksi dan asosiasi. Tingkah laku inklusi adalah tingkah laku yang ditujukan untuk mencapai kepuasan individu. Misalnya keinginan untuk asosiasi, bergabung dengan sesama manusia, berkelompok.

Tingkah laku inklusi yang positif memiliki ciri-ciri: ada persamaan dengan orang lain, saling berhubungan dengan orang lain, ada rasa menjadi satu bagian kelompok dimana ia berada, berkelompok atau bergabung.

 

Tingkah laku inklusi yang negatif misalnya menyendiri dan menarik diri.

Beberapa tipe dari Inklusi, yaitu:

  1. Tipe Sosial; seseorang yang mendapatkan pemuasan kebutuhan antarpribadi secara ideal.
  2. Tipe Undersosial; tipe yang dimiliki oleh seseorang yang mengalami kekurangan dalam derajat pemuasan kebutuhan antarpribadinya. Karakteristiknya adalah selalu menghindar dari situasi antar kesempatan berkelompok atau bergabung dengan orang lain. Ia kurang suka berhubungan atau bersama dengan orang lain.
  3. Tipe Oversosial; seseorang mengalami derajat pemuasan kebutuhan antarpribadinya cenderung berlebihan dalam hal inklusi. Ia cenderung ekstrovert. Ia selalu ingin menghubungi orang lain dan berharap orang lain juga menghubunginya.

Ada juga tipe inklusi yang patologis yaitu seseorang yang mengalami pemuasan kebutuhan antarpribadi secara patologis. Jika hal ini terjadi maka orang tersebut terbilang gagal dalam usahanya untuk berkelompok.

Undersocial

Dalam berinteraksi, individu ini cenderung menolak dalam kelompok. Di sisi lain jika sudah bergabung dalam kelompok, individu undersocial lebih memilih menghindar dari interaksi interpersonal. Individu undersocial lebih memilih “membangun” dunia sendiri dibanding menanggung risiko ditolak dalam berinteraksi dalam kelompok.

 

Oversocial

Sikap oversocial merupakan kebalikan sikap dari undersocial. Sikap oversocial merupakan kecenderungan sikap yang diakibatkan oleh berlebihannya tingkat kebutuhan inklusi seseorang. Individu demikian adalah individu yang memiliki keinginan besar untuk “eksis” dalam kelompok. Namun, dengan tingkat yang berlebihan tersebut, membuat individu tersebut kehilangan kredibilitas. Hal ini disebabkan karena selalu ingin “eksis” individu tersebut tidak memahami suatu kegiatan/interaksi dalam kelompok. Secara umum, baik undersocial maupun oversocial dilatarbelakangi oleh kegelisahan/ketakutan yang sama walaupun mereka menghadapi dua keadaan yang berbeda. Kegelisahan tersebut adalah ketakutan jika mereka tidak bermanfaat bagi kelompok.

CONTROL/MENGENDALIKAN

Kebutuhan Kontrol adalah kebutuhan yang berdasarkan pada kesadaran pribadi yang ingin mendapatkan kepuasan dengan cara mengendalikan dalam artian memimpin interaksi dalam kelompok. Kontrol pada dasarnya merepresentasikan keinginan pribadi untuk mempengaruhi dan memiliki “suara” dalam penentuan sikap/keputusan dalam kelompok.

Kebutuhan kontrol akan sangat terlihat ketika kelompok tengah mengerjakan suatu proposal. Ketika gagasan individu diterima, dan individu tersebut merasa berpengaruh dalam kelompok disanalah kebutuhan kontrol seorang individu terpenuhi. Kepuasan yang dihasilkan terwujud karena individu yang berkompetensi dalam kepemimpinan bisa mengasah kemampuannya dengan bergabung dalam pengambilan keputusan kelompok. Sama halnya dengan kebutuhan inklusi, intensitas kebutuhan pemenuhan dimensi ini bagi tiap individu tidaklah sama.

Kebutuhan kontrol yang terlalu tinggi akan mengakibatkan seseorang di posisi autocrat. Sedangkan kebutuhan kontrol yang terlalu rendah mengakibatkan seseorang dikategorikan dalam kelompok abdicrat.

Kebutuhan Antar Pribadi untuk Kontrol

Adalah kebutuhan untuk mengadakan serta mempertahankan komunikasi yang memuaskan dengan orang lain berhubungan dengan kontrol dan kekuasaan. Proses pengambilan keputusan menyangkut boleh atau tidaknya seseorang untuk melakukan sesuatu perlu ada suatu kontrol dan kekuasaan. Tingkah laku kontrol yang positif, yaitu: mempengaruhi, mendominasi, memimpin, mengatur. Sedangkan tingkah laku kontrol yang negatif, yaitu: memberontak, mengikut, menurut.

Beberapa tipe dari kontrol, yaitu:

  1. Tipe kontrol yang ideal (democrat); seseorang akan mengalami pemuasan secara ideal dari kebutuhan antarpribadi kontrolnya. Ia mampu memberi perintah maupun diperintah oleh orang lain. Ia mampu bertanggung jawab dan memberikan tanggung jawab kepada orang lain.
  2. Tipe kontrol yang kekurangan (abdicrat); seseorang memiliki kecenderungan untuk bersikap merendahkan diri dalam tingkah laku antarpribadinya. Seseorang cenderung untuk selalu mengambil posisi sebagai bawahan (terlepas dari tanggungjawab untuk membuat keputusan).

 

  1. Tipe kontrol yang berlebihan (authocrat); seseorang menunjukkan kecenderungan untuk bersikap dominan terhadap orang lain dalam tingkah laku antarpribadinya. Karakteristiknya adalah seseorang selalu mencoba untuk mendominasi orang lain dan berkeras hati untuk mendudukkan dirinya dalam suatu hirarki yang tinggi.

Tipe kontrol yang patologis; seseorang yang tidak mampu atau tidak dapat menerima control dalam bentuk apapun dari orang lain.

Autocrat

Autocrat merupakan penggolongan individu yang membutuhkan keinginan control terlalu tinggi. Keberadaan individu seperti ini cenderung mendominasi interaksi dalam kelompok, baik interaksi interpersonal maupun dalam interaksi pengambilan keputusan. Kecenderungan dominasi ini membuat seseorang terkesankan sebagai orang yang otoriter dan pemaksaan keinginan,gagasan maupun ide individu tersebut.

Abdicrat

Abdicrat sama sekali kebalikan dari autocrat. Individu abdicrat tidak ingin turut campur dalam pengambilan keputusan. Pribadi abdicrat masuk dalam kelompok karena adanya individu lain yang akan mengemban tanggung jawab.

 

AFFECTION / KASIH SAYANG

Kebutuhan kasih sayang ini dimaksudkan akan kebutuhan seseorang dengan lingkungan sosial. Sehingga seorang individu membutuhkan kasih sayang dan cinta (kedekatan dalam berinteraksi) sebagai pemuas kebutuhannya dalam kelompok. Dalam ketegori ini, kebutuhan inilah yang menyebabkan seseorang ikut dan berperan aktif dalam kelompok.

Kebutuhan afeksi pada posisi paling dasar merupakan kebutuhan untuk disukai, kesempatan untuk membangun hubungan pribadi yang dekat (intim) dengan individu lain. Kebutuhan ini adalah bagian dari keinginan untuk dekat dengan orang lain dan juga bagian dari keinginan individu lain untuk dekat dengan seorang individu. Kedua pribadi sangat membutuhkan pengakuan dan keramahan emosional dengan individu lainnya.

Kebutuhan Antarpribadi untuk Afeksi

Yaitu kebutuhan untuk mengadakan serta mempertahankan komunikasi antarpribadi yang memuaskan dengan orang lain sehubungan dengan cinta dan kasih sayang. Afeksi selalu menunjukkan hubungan antara dua orang atau dua pihak.

Tingkah laku afeksi adalah tingkah laku yang ditujukan untuk mencapai kebutuhan antarpribadi akan afeksi. Tingkah laku afeksi menunjukkan akan adanya hubungan yang intim antara dua orang dan saling melibatkan diri secara emosional.

Afeksi hanya akan terjadi dalam hubungan antara dua orang (diadic – Frits Heider, 1958)). Tingkah laku afeksi yang positif: cinta, intim/akrab, persahabatan, saling menyukai. Tingkah laku afeksi yang negatif: kebencian, dingin/tidak akrab, tidak menyukai, mengambil mengambil jarak emosional.

 

Beberapa tipe dari Afeksi:

  1. Tipe afeksi yang ideal (personal); seseorang yang mendapat kepuasan dalam memenuhi kebutuhan antarpribadi untuk afeksinya.
  2. Tipe afeksi yang kekurangan (underpersonal); seseorang dengan tipe ini memiliki kecenderungan untuk selalu menghindari setiap keterikatan yang sifatnya intim dan mempertahankan hubungan dengan orang lain secara dangkal dan berjarak.
  3. Tipe afeksi yang berlebihan (overpersonal); seseorang yang cenderung berhubungan erat dengan orang lain dalam tingkah laku antarpribadinya.

Tipe afeksi yang patologis; seseorang yaang mengalami kesukaran dan hambatan dalam memenuhi kebutuhan antarpribadi afeksinya, besar kemungkinan akan jatuh dalam keadaan neorosis.

Sama dengan dua dimensi sebelumnya, tingkat afeksi dari tiap pribadi berbeda. Kebutuhan afeksi yang terlalu tinggi akan mengakibatkan seseorang di posisi overpersonal. Sedangkan kebutuhan inklusi yang terlalu rendah mengakibatkan seseorang dikategorikan dalam kelompok underpersonal.

Overpersonal

Overpersonal merupakan penggolongan individu yang membutuhkan keinginan afeksi terlalu tinggi. Individu overpersonal selalu menginginkan kedekatan yang sangat personal dalam berinteraksi dengan individu lain. Selalu ingin mengetahui personal individu lain secara mendalam, terlalu mendalam. Individu ini dalam menjalin hubungan cenderung terlalu terbuka, sehingga hampir tidak ada rahasia dan di lain kata, bisa dikatakan individu ini tidak mengenal adanya kawasan bersama dan kawasan privasi dalam berhubungan.

Underpersonal

Sebaliknya, pribadi underpersonal sangat memperhatikan batasan antara kawasan pribadi dan bersama. Individu underpersonal tidak menyukai apabila terjadi interaksi antarpersonal yang sudah memasuki kawasan yang menurutnya merupakan wilayah pribadi. Individu ini cenderung menolak bahkan marah dan kesal jika interaksi yang terjadi sudah memasuki wilayah personal.

 

Kesimpulan

Teori FIRO (Fundamental Interpersonal Relationship Orientation) mengasumsikan bahwa keberlangsungan interaksi interpersonal akan berjalan dengan baik dan lancar jika tiap individu sudah bisa memenuhi kebutuhan-kebutuhan pribadinya yang terbagi atas tiga dimensi. Dalam berinteraksi, jika tiap individu saling mengizinkan satu sama lain untuk memenuhi kebutuhannya maka, interaksi tiap dan masing-masing individu akan semakin lancar. Jika interaksi interpersonal antar-individu sudah lancar maka komunikasi interpersonal yang efektif bisa dicapai.

 

Sumber:

  • Rakhmat, Djalaluddin, 2008. Psikologi Komunikasi, Bandung: PT Remaja Rosdakarya.
  • Prof. Sarlito. 2004. Teori-toeri Psikologi Sosial. Jakarta: Rajawali Pers.
  • Miller, Katherine. 2001. Communication Theories, Perspectives, Processes and Context. Texas: McGraw Hill.

by: A.C.S.

 

Teori ini sangat membantu kita dalam memahami psikologi diri kita sendiri dan oranglain melalui transaksi komunikasi antarindividu. Perilaku komunikasi akan menjadi cerminan kepribadian seseorang. Berbagai bentuk kenyataan psikologis terbentuk dari berbagai memori-memori khas yang mewakili kenyataan psikologis tersebut. Dan kenyataan psikologis inilah mendasari segala perilaku dan perbuatan manusia. Dengan teori ini pula kita dapat mempelajari bagaimana seharusnya menghadari seseorang dengan kepribadian tertentu sehingga tercipta hubungan yang harmonis serta berbagai tujuan komunikasi lainnya.

 

ASUMSI DASAR

1. People are OK

AT memandang semua orang adalah OK. Semua orang dianggap mempunyai dasar yang sama sebagai pribadi yang menyenangkan dan berkeinginan untuk mengaktualisasikan dirinya. Ini lebih merupakan pemyataan kualitas atau potensial ketimbang keadaan aktual. Masing-masing manusia selalu bernilai, berguna dan memiliki kemampuan-kemampuan tertentu, sehingga layak diperlakukan secara patut.

2. Semua orang memiliki kapasitas untuk berfikir

Memikirkan keputusan untuk bersikap dan berperilaku untuk mencapai kehidupan yang memuaskan. Setiap individu berkeinginan untuk menciptakan sebuah hubungan yang saling mendorong ke arah yang positif. Membantu, mengayomi, mendengarkan, dan kegiatan-kegiatan lainnya.

3. Manusia memutuskan sendiri jalan hidup mereka sendiri dengan membuat keputusan pada naskah awal kehidupan mereka, dan keputusan itu dapat diubah.

Karena manusia memiliki kemampuan berfikir tersebut, maka manusia pun memiliki kemampan untuk melakukan sesuatu yang berpengaruh kepada jalan hidup mereka, terlepas dari negatif atau positif perilaku dan jalan hidup yang dijalani. Kemampuan manusia pun tidak sebatas hanya menentukan lalu menjalaninya. Namun pada prosesnya, perubahan jalan pikiran atau perilaku akan terjadi seiring dengan kemampuan manusia untuk terus berusaha mencapai tujuan hidup.

 

ASUMSI TEORI

AT menyatakan bahwa setiap manusia, tua-muda, wanita-pria, memiliki 3 kenyataan psikologis yang mendasari segala perbuatannya. Ketiga kenyataan psikologis ini dinamakan status ego. Status ego ini berasal dari hasil rekaman-rekaman/memori yang disimpan didalam otak yang kedepannya rekaman tersebut akan menjadi acuan dalam bertindak atau saat menghadapi suatu transaksi komunikasi. Status ego ini pun dibagi menjadi 3 bagian dan bagian-bagian tersebut akan diisi dengan berbagai memori yang nantinya memori tersebut akan membentuk karakter masing-masing status ego tersebut.

  1. Status Ego Orangtua

Status ego orangtua ini dibentuk disetiap masing-masing individu berdasarkan apa yang mereka terima sebagai perlakuan dari orangtuanya, apa yang mereka lihat dari orangtuanya, dan berbagai macam kejadian luar biasa yang dipaksakan masuk sebagai memori berlabel “status ego orang tua”. Pada status ego orangtua terekamlah berbagai macam nasehat-nasehat. Segala sesuatu yang kita terima dari orangtua akan kita telan mentah-mentah sebagai suatu kebenaran, terlepas hal tersebut baik atau buruk. Status ego orangtua ini dicirikan dengan berbagai macam norma dan aturan yang akan memproteksi diri kita maupun upaya kita memproteksi orang-orang sekitar kita.

Status ego orangtua terdiri dari 2 sisi, nurturning parent (orangtua pembimbing) dan critical parent (orangtua pengkritik). Orang tua pembimbing lebih menekankan pada posisinya sebagai orangtua yang lembut, penuh kasih sayang, pengertian, selalu mendengarkan anaknya, dan mempunyai aturan-aturan yang masuk diakal. Sedangkan orangtua pengkritik adalah orangtua yang lebih menekankan dirinya sebagai orangtua yang menghakimi. Ketidak-konsistenan hidup kita juga merupakan akibat dari status ego orangtua kita yang saat kecil sempat merekam ketidakkonsistenan orangtua saat memberikan aturan namun orangtua malah melanggar aturan tersebut.

  1. Status Ego Anak

Saat status ego orangtua berorientasi merekam kejadian-kejadian yang berasal dari luar, status ego kanak-kanak merekam peristiwa-peristiwa yang terjadi dalam diri kita sendiri. ini merupakan tanggapan atas sensasi-sensasi yang diterima, yang dilihat dan didengar atas kejadian dari luar. Hal ini menyangkut perasaan atas tanggapan yang ia terima.

Status ego kanak-kanak lebih menekankan pada bagaimana seorang individu dalam mengungkapkan perasaannya. Status ego seseorang sedang beraksi jika ia secara jujur mengungkapkan perasaan dan pendapatnya, secara verbal maupun non verbal.

Status ego kanak-kanak dapat dibagi dua, yaitu anak bebas/alamiah (Free/Natural Child) dan anak yang menyesuaikan diri (Adapted Child). Free child adalah bagian status ego kanak-kanak yang digunakan untuk mengungkapkan segala perasaannya, apa yang ia inginkan, apa yang ia butuhkan. Free child adalah perilaku dan perasaan yang spontan. Perasaannya terungkap dari kata-kata, nada suara, dan ekspresi wajah. Lalu adapted child adalah sisi kepribadian kita dalam merespon apa yang diperintahkan orangtua. Satu lagi, ada sisi status ego kanak-kanak yang dinamakan the little proffesor, dimana saat anak-anak memiliki keingintahuan yang sangat tinggi, daya imajinasi yang tinggi, serta keinginan bereksperimen terhadap sesuatu yang baru juga sangat tinggi.

  1. Status Ego Dewasa

Menurut Eric Berne dalam Transactional Analysis in Psychotherapy, Status Ego dewasa pada prinsipnya adalah mengubah ransangan-ransangan menjadi bagian-bagian informasi, mengolah dan menyimpan informasi tersebut atas dasar pengalaman yang telah dihayati (Thomas A Harris, 1969. 25).

Status ego dewasa bagaikan komputer yang digunakan untuk mengolah data dan membuat keputusan setelah menerima informasi dari tiga sumber: status ego orangtua, kanak-kanak, dan informasi yang didapatkan sendiri. status ego dewasa memeriksa apakah dalam rekaman status ego orangtua masih sesuai dengan keadaan zaman sekarang atau tidak. Dengan mengkolaborasikan dengan data yang didapatkannya sendiri, status ego dewasa dapat menentukan sebuah rekaman masih layak dipertahankan dimemori kita, atau jika sudah “kadaluarsa” data status ego orangtua itu dibuang. Status ego dewasa bukan bertindak sebagai penghapus status ego lainnya, tapi disini status ego dewasa bertindak menyaring data dari bagian orangtua dan kanak-kanak tersebut adalah baik atau tidak. Status ego dewasa itu terkenal dengan daya nalar yang baik, sesuai fakta, tidak emosional, dan komunikasi dua arah. Status ego dewasa selalu masuk diakal.

 

Sikap Hidup

SAYA TIDAK OKE, KAMU OKE

Ini merupakan sikap dasar yang dibentuk saat masa kecil kita. Sebenarnya dalam sikap ini terdapat rasa OKE. Seorang bayi bisa hidup jika ia dirawat. Sikap ini juga menunjukkan rasa TIDAK OKE, yaitu kesimpulan atas diri sendiri. Namun, kanak-kanak adalah mahluk yang lemah, tidak mempunyai referensi apapun untuk melakukan sesuatu. Satu-satunya cara adalah menolongnya. Ditolong oleh orang lain. Pertentangan antara Freud dan Adler adalah: bukan seks yang merupakan perjuangan dasar manusia dalam hidupnya, melainkan perasaan rendah diri, rasa TDAK OKE, yang nampak jelas dalam diri manusia. Adler mengatakan bahwa seorang anak kecil menganggap dirinya kecil dan tak berdaya karena ia membandingkan dirinya dengan orang lain yang dewasa di lingkungannya. SAYA TIDAK OKE artinya, saya pendek, saya kecil, saya bodoh. KAMU OKE maksudnya kamu tinggi, kamu besar, kamu pintar.

SAYA TIDAK OKE, KAMUPUN TIDAK OKE

Pada awalanya kita memiliki sikap hidup Saya tidak oke, kamu oke. Namun, mengapa tiba-tiba “kamu oke” itu berubah menjadi “kamu tidak oke”?. Disaat kita masih bayi kita diberikan berbagai perhatian dan manjaan dari orangtua kita. Kita merasa ringkih tanpa kehadiran rasa manja tersebut. Semua apa yang kita lakukan selalu diperhatikan dan dibantu. Namun, ditahun-tahun kehidupan kita selanjutnya, orang-orang yang anak kecil beri label “kamu oke” tersebut makin lama makin berkurang perhatiannya. Sehingga ekspektasi anak-anak yang tinggi akan perhatian pada orang-orang tersebut kandas karena berkurangnya perhatian tersebut. Hal ini mengakibatkan bergesernya persepsi anak-anak dari “kamu oke” ke “kamu tidak oke”.

SAYA OKE KAMU TIDAK OKE

Orang dengan sikap SAYA OKE KAMU TIDAK OKE mengalami kekurangan dorongan. Disaat orang-orang terdekatnya melakukan berbagai tindakan yang tidak menyenangkan, akan timbul rasa “kamu tidak oke” tersebut. Ia tidak memiliki tempat pelarian dalam membantu dirinya mengobati “luka” tersebut. Hal ini malah makin menegaskan dirinya bahwa tidak ada yang peduli kepadanya. Sehingga secara natural, seseorang yang mengalami kondisi seperti ini akan berusaha mengobati dirinya sendiri. Ia akan berdiam sendiri, merenungi setiap perbuatan yang diterimanya, secar verbal maupun nonverbal. Setelah ia sembuh dari sakitnya sendiri, akan timbul rasa bahwa “tanpa orang lain saya masih bisa bertahan hidup. Saya tidak butuh orang lain”.

Walaupun ada dorongan yang baik maupun tidak, semua orang dianggap tidak oke. Karena orang dengan sikap ini menganggap hanya dirinya sendirilah yang dapat memberikan dorongan pada dirinya. dari status ego orangtuanya untuk berlaku kejam. Semuanya berlandaskan rasa benci.

Untuk seorang anak dengan sikap SAYA OKE KAMU TIDAK OKE merupakan keputusan terbaik untuk melindungi dirinya sendiri. Dia menjadi tidak objektif. Dia selalu menyalahkan oranglain. Mereka menjadi tidak mempunyai ‘suara hati’. Mereka berpendapat mereka OKE dengan apapun yang mereka lakukan. Ini disebut kebebalan moril.

SAYA OKE KAMU OKE

Namun sikap keempat ini didasari pada pikiran, kepercayaan, dan untung-rugi perbuatan. Keputusan untuk menetapkan suatu sikap merupakan tugas pertama status ego dewasa pada anak dalam usahanya mengartikan makna hidupnya. Sikap sikap ini diputuskan atas dasar status ego orangtua dan kanak-kanaknya. Sikap ini didasarkan pada emosi atau kesan-kesan, tanpa dipengaruhi atau dipengaruhi data-data dari luar.Sikap hidup seperti sangatlah optimistik sifatnya. Sebab dari sikap yang kita ambil ini, tidak hanya diri kita yang terpengaruh oleh sikap SAYA OKE KAMUPUN OKE, namun seluruh orang disekitar kita juga bisa merasakan kekuatan positif sikap ini. Sikap seperti ini sangat dibutuhkan untuk orang yang bertindak sebagai motivator, para terapis, psikolog, psikiater, dan lainnya. Sebab dengan sikap hidup seperti ini kita bisa menyebarkan energi positif dan bisa merubah sikap hidup oranglain pula.

Bentuk Bentuk Transaksi

Complementary Transaction

Ini merupakan transaksi yang saling melengkapi, artinya komunikator dengan status egonya menerima respon dari komunikannya dengan status ego yang diinginkan oleh komunikator.

Contoh komunikasi yang sifatnya melengkapi

Status ego orangtua – status ego orang tua

Ransangan: Benar-benar keterlaluan para pejabat di negeri ini!

Tanggapan: Mereka memang goblok! Tak tahu diri!

Disini terjadi kepuasan setelah mencela orang lain. Karena pada rekaman status ego orangtua, mengkritik dan menyalahkan orang lain adalah OKE. Terdapat rasa puas jika kita menyalahi oranglain dan didukung oleh orang sekitar kita.

Dalam transaksi komplementer pada status ego kanak-kanak terjadi pengawasan yang dilakukan oleh status ego dewasa. Apabila tidak terjadi pengawasan maka yang akan timbul adalah transaksi silang.

Crossed Transaction

Transaksi jenis ini berisi bahwa komunikator tidak menerima tanggapan seperti apa yang iinginkan. Terjadinya kesalahpahaman dalam jenis transaksi bersilang ini sehingga mengalami kesulitan dalam hubungan.

Contoh dari transaksi bersilang

A: Ma, besok aku mau pergi main.

B: Tidak boleh! Lebih baik baca buku saja di rumah

 

A                           B

Ulterior Transaction

Adalah transaksi tersembunyi. Transaksi ini sangat menghambat kelancaran komunikasi. Misalnya seseorang mengatakn sesuatu yang menurut dirinya memperlihatkan status ego dewasanya. Sedangkan penerima menganggapnya sebahai status ego orangtua atau sebaliknya. Transaksi ini sulit terindentifikasi karena menyangkut pikiran terdalam seseorang.

 

Daftar Pustaka

Harris, Thomas A. 1987. Saya Oke Kamu Oke (I’m OK – You’re OK). Jakarta: Penerbit Erlangga.

Berne, Eric. Games People Play: The psychology of human relationships

 

Media Richness Theory

(Teori Kesempurnaan Media)

by: A.C.S.

Latar Belakang Teori

Media Richness Theory atau teori kesempurnaan media muncul berdasarkan teori yang ada sebelumnya yaitu Contingency Theory.

 

Latar Belakang Tokoh

Tokoh yang merumuskan teori ini adalah dua orang yang ahli dalam organisasi yaitu Richard. L. Daft dan Robert. H. Lengel. Daft telah mengarang lebih dari 12 judul buku dan bukunya yang paling laris adalah Organization Theory and Design. Sedangkan Rpbert. H. Lengel adalah seorang konsultan organisasi yang telah mengangani konsultasi berbagai macam organisasi.

 

Asumsi Teori

Teori ini berasumsi bahwa jika  tingkat kerancuan pesan dalam organisasi cukup tinggi, kita harus memilih jenis media komunikasi mana yang sesuai dengan hal tersebut.

Teori kesempurnaan media menempatkan media paada suatu rangkaian berdasar pada “kesempurnaan” mereka. Kesempurnaan digambarkan sebagai potensi media tersebut dalam menyampaikan informassi (Daft dan Lengel, 1984:196). Sebagai contoh, percaakaapan face to face adalah media yang paling kaya. Pengirim menerima umpan balik segera atas seberapa baik penerima dalam mendengar dan memahami pesan tersebut. Ketika bahasa tubuh, ekspresi wajah, atau isyarat lisan penerima menandakan adanya kebingungan atau merasa tidak tertarik dengan pembicaraan yang memperjelas pesan, atau meminta umpan balik pada si penerima.

 

Tingkat kesempurnaan media ini, ditentukan oleh beberapa faktor berikut..

  • Kemampuan feedback (feedback capability)

Kemampuan untuk memfasilitasi feedback yang segera

  • Macam isyarat komunikasi yang dimanfaatkan

Tidak hanya informasi yang secara verbal saja yang disampaikan. Namun juga informasi yang bersifat non-verbal (ekspresi wajah, gerak tubuh, dll).

  • Variasi Bahasa

Kemampuan untuk memfasilitasi pembicaraan termasuk beberapa bahasa yang natural.

  • Fokus personal pada sumber

Kemampuan media untuk mengantarkan perasaan personal dan emosi dari pihak-pihak yang berkomunkasi.

 

Menurut tori kesempurnaan media ini, jika tingkat kerancuan pesaan tinggi (sulit dipahami) dalam organisasi, makqa gunakanlah media komunikasi yang paling kaya yaitu komunikasi face to face. Komunikasi face to face disebut kaya karena dapat memungkinkan terjadinya feedback yang segera, selain itu informasi yang disampaikan pun tidak hanya informasi yang bersifat verbal, namun juga non-verbal. Berbeda dengan media komunikiasi yang disebut miskin seperti e-mail atau surat-menyurat yang tidak menghasilkan feedback dengan segera dan informasi yang disampaikannya pun hanya bersifat verbal (tulisan) saja.

Pesan yang memiliki tingkat kerancuan rendah (dapat dengan mudah dipahami) dapat dikomunikasikan dengan media yang miskin atau tidak sempurna seperti surat menyurat yang bersifat tertulis. Teori ini juga mengatakan jika menggunakan media komunikasi yang miskin akan membawa organisasi ke arah penurunan mutu keluarannya (output).

 

Aplikasi Teori

Teori ini mmasih banyak dipakai dalam organisasi. Misalnya, dalam menyampaikan sebuah pesan dalam sebuah organisasi antara manajer dengan anak buahnya. Jika tingkat kerancuan pesan, atau tingkat kepentingan pesan yang tinggi, tidak mungkin seorang manajer menginformasikan hal tersbut pada anak buahnya dengan menggunakan media komunikasi yang miskin seperti e-mail atau sms. Tentunya, manajer tersebut akan menyampaiakn hal tersebut secara faxce to face misalnya pada sebuah rapat agar semua anak buahnya dapat mengetahui informasi ini secara lebih dalam dan tidak akan terjadi salah persepsi karena bila jika ada hal yang tidak dimengerti atau kurang jelas, mereka dapat dengan segera menanyakannya pada manajer mereka (karena terjadi feedback yang segera).

 

Evaluais dan Keterkaitan Teori

Teori ini diciptkan taahub 1986. Jauh sebelum teknologi canggih seperti sekarang ada. Jika dikaitkan dengan hal tersebut, mungkin teori ini sudah tidak relevan. Karena, ada beberapa orang yang ternyata dapat beradptasi menggunakan media yang disebut miskin seperti e-mail atau sms untuk dapat berkomunikasi juga secara efektif. Begitu juga dalam berkomunikasi dalam organisasi. Beberapa orang yang saya taanyai, ternyata lebih senang mengirim e-mail daripada harus berkomunikasi secara face to face karena e-mail jauh lebih mudah dan praktis. Apakah mutu organisasi mereka menurun? Ternyata tidak. Karena mereka memang sudah terbiasa menggunakan tersebut. Padahal, dalam media richness theory, e-mail adalah salah satu media yang termasuk media yang miskin.

Tetapi jiak merujuk hakikat komunikasi yaitu kesamaan makana atau kesamaan persepsi antara orang yang berkomunikasi, maka teori ini masih cukup relevan dnegan keadaan sekarang. Karena, media richness theory dapat membuat kesamaan persepsi antara orang yang berkomuniikasi dengan adanya feedback yang segera.

Media Richness Theory berkaitan dengan contingency theory. Karena, media richness theory merupakan teori yang dibuat berdasarkan contingency theory. Contingency Theory berasumsi bahwa tidak ada cara yang terbaik dalam memimpin suatu organisasi. Karena, banyak faktor yang mempengaruhinya. Media Richness Theory membantu contingency Theory untuk membuat kepemimnpinan seseorang lebih baik jika memilih media komunikasi yang tepaat dalam menyampaikan suatu pesan. Tentu saja dengan melihat tingkat kerancuan pesan tersebut.

Selain contingency Theory, Media rIchness juga berhubungan dengan Social Presnce Theory atau teori kehadiran sosial. Seperti Media Richness, teori ini juga memilik rangkaina tingkat kehadiran social tinggi hingga rendah. Face to face communiacation merupakan dengan tingkat kehadiran social yang tertinggi dan media cetak adalah media cetak adalah media dengan tingkat kehadiran sosial terendah.

 

Sumber:

Griffin Emory A. 2003. A First Look at Communication Theory. Singapore: McGraw-Hill.

 

Wood, Julia T. (1997). Communication in Our Lives. Belmont CA: Wadsworth P C.

 

by: A.C.S.

 

SEJARAH

1945:Tahun dimana, Kenneth Duva Burke(May 5, 1897 – November 19, 1993) seorang teoritis literatur Amerika dan filosof memperkenalkan konsep dramatisme sebagai metode untuk memahami fungsi sosial dari bahasa dan drama sebagai pentas simbolik kata dan kehidupan sosial. Tujuan Dramatisme adalah memberikan penjelasan logis untuk memahami motif tindakan manusia, atau kenapa manusia melakukan apa yang mereka lakukan (Fox, 2002).Dramatisme memperlihatkan bahasa sebagai model tindakan simbolik ketimbang model pengetahuan (Burke, 1978). Pandangan Burke adalah bahwa hidup bukan seperti drama, tapi hidup itu sendiri adalah drama. 1959: The Presentation of Self in Everyday Life Tertarik dengan teori dramatisme Burke, Erving Goffman (11 Juni 1922 – 19 November 1982), seorang sosiolog interaksionis dan penulis, memperdalam kajian dramatisme tersebut dan menyempurnakannya dalam bukunya yang kemudian terkenal sebagai salah satu sumbangan terbesar bagi teori ilmu sosial The Presentation of Self in Everyday Life. Dalam buku ini Goffman yang mendalami fenomena interaksi simbolik mengemukakan kajian mendalam mengenai konsep Dramaturgi.

INI BUKAN DRAMATURGI ARISTOTELES

Istilah Dramaturgi kental dengan pengaruh drama atau teater atau pertunjukan fiksi diatas panggung dimana seorang aktor memainkan karakter manusia-manusia yang lain sehingga penonton dapat memperoleh gambaran kehidupan dari tokoh tersebut dan mampu mengikuti alur cerita dari drama yang disajikan. Meski benar, dramaturgi juga digunakan dalam istilah teater namun term dan karakteristiknya berbeda dengan dramaturgi yang akan kita pelajari. Dramaturgi dari istilah teater dipopulerkan oleh  Aristoteles. Sekitar tahun 350 SM, Aristoteles, seorang filosof asal Yunani, menelurkan, Poetics, hasil pemikirannya yang sampai sekarang masih dianggap sebagai buku acuan bagi dunia teater. Dalam Poetics, Aristoteles menjabarkan penelitiannya tentang penampilan/drama-drama berakhir tragedi/tragis ataupun kisah-kisah komedi. Untuk menghasilkan Poetics Aristoteles meneliti hampir seluruh karya penulis Yunani pada masanya. Kisah tragis merupakan obyek penelitian utamanya dan dalam Poetic juga Aristoteles menyanjung Kisah Oedipus Rex, sebagai kisah drama yang paling dapat diperhitungkan. Meskipun Aristoteles mengatakan bahwa drama merupakan bagian dari puisi, namun Aristoteles bekerja secara utuh menganalisa drama secara keseluruhan. Bukan hanya dari segi naskahnya saja tapi juga menganalisa hubungan antara karakter dan akting, dialog, plot dan cerita. Ia memberikan contoh-contoh plot yang baik dan meneliti reaksi drama terhadap penonton. Nilai-nilai yang dikemukakan oleh Aristoteles dalam maha karyanya ini kemudian dikenal dengan “aristotelian drama” atau drama ala aristoteles, dimana deus ex machina[1] adalah suatu kelemahan dan dimana sebuah akting harus tersusun secara efisien. Banyak konsep kunci drama, seperti anagnorisis[2] dan katharsis[3], dibahas dalam Poetica. Sampai sekarang “aristotelian drama” sangat terlihat aplikasinya pada tayangan-tayangan tv, buku-buku panduan perfilman dan bahkan kursus-kursus singkat perfilman (dramaturgi dasar) biasanya sangat bergantung kepada dasar pemikiran yang dikemukakan oleh Aristoteles.


DRAMATURGI: BENTUK LAIN DARI KOMUNIKASI

Bila Aristoteles mengungkapkan Dramaturgi dalam artian seni. Maka, Goffman mendalami dramaturgi dari segi sosiologi.  Seperti yang kita ketahui, Goffman memperkenalkan dramaturgi pertama kali dalam kajian sosial psikologis dan sosiologi melalui bukunya, The Presentation of Self In Everyday Life. Buku tersebut menggali segala macam perilaku interaksi yang kita lakukan dalam pertunjukan kehidupan kita sehari-hari yang menampilkan diri kita sendiri dalam cara yang sama dengan cara seorang aktor menampilkan karakter orang lain dalam sebuah pertunjukan drama. Cara yang sama ini berarti mengacu kepada kesamaan yang berarti ada pertunjukan yang ditampilkan. Bila Aristoteles mengacu kepada teater maka Goffman mengacu pada pertunjukan sosiologi. Pertunjukan yang terjadi di masyarakat untuk memberi kesan yang baik untuk mencapai tujuan.  Tujuan dari presentasi dari Diri – Goffman ini adalah penerimaan penonton akan manipulasi. Bila seorang aktor berhasil, maka penonton akan melihat aktor sesuai sudut yang memang ingin diperlihatkan oleh aktor tersebut. Aktor akan semakin mudah untuk membawa penonton untuk mencapai tujuan dari pertunjukan tersebut. Ini dapat dikatakan sebagai bentuk lain dari komunikasi. Kenapa komunikasi? Karena komunikasi sebenarnya adalah alat untuk mencapai tujuan.  Bila dalam komunikasi konvensional manusia berbicara tentang bagaimana memaksimalkan indera verbal dan non-verbal untuk mencapai tujuan akhir komunikasi, agar orang lain mengikuti kemauan kita. Maka dalam dramaturgis, yang diperhitungkan adalah konsep menyeluruh bagaimana kita menghayati peran sehingga dapat memberikan feedback sesuai yang kita mau.   Perlu diingat, dramatugis mempelajari konteks dari perilaku manusia dalam mencapai tujuannya dan bukan untuk mempelajari hasil dari perilakunya tersebut. Dramaturgi memahami bahwa dalam interaksi antar manusia ada “kesepakatan” perilaku yang disetujui yang dapat mengantarkan kepada tujuan akhir dari maksud interaksi sosial tersebut. Bermain peran merupakan salah satu alat yang dapat mengacu kepada tercapainya kesepakatan tersebut.    Bukti nyata bahwa terjadi permainan peran dalam kehidupan manusia dapat dilihat pada masyarakat kita sendiri. Manusia menciptakan sebuah mekanisme tersendiri, dimana dengan permainan peran tersebut ia bisa tampil sebagai sosok-sosok tertentu.  Hal ini setara dengan yang dikatakan oleh Yenrizal (IAIN Raden Fatah, Palembang), dalam makalahnya “Transformasi Etos Kerja Masyarakat Muslim: Tinjauan Dramaturgis di Masyarakat Pedesaan Sumatera Selatan” pada Annual Conference on Islamic Studies, Bandung, 26 – 30 November 2006: 

“Dengan konsep dramaturgis dan permainan peran yang dilakukan oleh manusia, terciptalah suasana-suasana dan kondisi interaksi yang kemudian memberikan makna tersendiri. Munculnya pemaknaan ini sangat tergantung pada latar belakang sosial masyarakat itu sendiri. Terbentuklah kemudian masyarakat yang mampu beradaptasi dengan berbagai suasana dan corak kehidupan. Masyarakat yang tinggal dalam komunitas heterogen perkotaan, menciptakan panggung-panggung sendiri yang membuatnya bisa tampil sebagai komunitas yang bisa bertahan hidup dengan keheterogenannya. Begitu juga dengan masyarakat homogen pedesaan, menciptakan panggung-panggung sendiri melalui interaksinya, yang terkadang justru membentuk proteksi sendiri dengan komunitas lainnya.”

DRAMATURGIS : KITA SEBENARNYA HIDUP DI ATAS PANGGUNG

Teori dramaturgi menjelaskan bahwa identitas manusia adalah tidak stabil dan merupakan setiap identitas tersebut merupakan bagian kejiwaan psikologi yang mandiri. Identitas manusia bisa saja berubah-ubah tergantung dari interaksi dengan orang lain. Disinilah dramaturgis masuk, bagaimana kita menguasai interaksi tersebut.  Dalam dramaturgis, interaksi sosial dimaknai sama dengan pertunjukan teater. Manusia adalah aktor yang berusaha untuk menggabungkan karakteristik personal dan tujuan kepada orang lain melalui “pertunjukan dramanya sendiri”.   Dalam mencapai tujuannya tersebut, menurut konsep dramaturgis, manusia akan mengembangkan perilaku-perilaku yang mendukung perannya tersebut.  Selayaknya pertunjukan drama, seorang aktor drama kehidupan juga harus mempersiapkan kelengkapan pertunjukan. Kelengkapan ini antara lain memperhitungkan setting, kostum, penggunakan kata (dialog) dan tindakan non verbal lain, hal ini tentunya bertujuan untuk meninggalkan kesan yang baik pada lawan interaksi dan memuluskan jalan mencapai tujuan. Oleh Goffman, tindakan diatas disebut dalam istilah  “impression management”. Goffman juga melihat bahwa ada perbedaan akting yang besar saat aktor berada di atas panggung (“front stage”) dan di belakang panggung (“back stage”) drama kehidupan.  Kondisi akting di front stage adalah adanya penonton (yang melihat kita) dan kita sedang berada dalam bagian pertunjukan. Saat itu kita berusaha untuk memainkan peran kita sebaik-baiknya agar penonton memahami tujuan dari perilaku kita. Perilaku kita dibatasi oleh oleh konsep-konsep drama yang bertujuan untuk membuat drama yang berhasil (lihat unsur-unsur tersebut pada impression management diatas).  Sedangkan back stage adalah keadaan dimana kita berada di belakang panggung, dengan kondisi bahwa tidak ada penonton. Sehingga kita dapat berperilaku bebas tanpa mempedulikan plot perilaku bagaimana yang harus kita bawakan. Contohnya, seorang front liner hotel senantiasa berpakaian rapi menyambut tamu hotel dengan ramah, santun, bersikap formil dan perkataan yang diatur. Tetapi, saat istirahat siang, sang front liner bisa bersikap lebih santai, bersenda gurau dengan bahasa gaul dengan temannya atau bersikap tidak formil lainnya (merokok, dsb).  Saat front liner menyambut tamu hotel, merupakan saat front stage baginya (saat pertunjukan). Tanggung jawabnya adalah menyambut tamu hotel dan memberikan kesan baik hotel kepada tamu tersebut. Oleh karenanya, perilaku sang front liner juga adalah perilaku yang sudah digariskan skenarionya oleh pihak manajemen hotel.  Saat istirahat makan siang, front liner bebas untuk mempersiapkan dirinya menuju babak ke dua dari pertunjukan tersebut. Karenanya, skenario yang disiapkan oleh manajemen hotel adalah bagaimana sang front liner tersebut dapat refresh untuk menjalankan perannya di babak selanjutnya.  Sebelum berinteraksi dengan orang lain, seseorang pasti akan mempersiapkan perannya dulu, atau kesan yang ingin ditangkap oleh orang lain. Kondisi ini sama dengan apa yang dunia teater katakan sebagai “breaking character”.  Dengan konsep dramaturgis dan permainan peran yang dilakukan oleh manusia, terciptalah suasana-suasana dan kondisi interaksi yang kemudian memberikan makna tersendiri. Munculnya pemaknaan ini sangat tergantung pada latar belakang sosial masyarakat itu sendiri. Terbentuklah kemudian masyarakat yang mampu beradaptasi dengan berbagai suasana dan corak kehidupan. Masyarakat yang tinggal dalam komunitas heterogen perkotaan, menciptakan panggung-panggung sendiri yang membuatnya bisa tampil sebagai komunitas yang bisa bertahan hidup dengan keheterogenannya. Begitu juga dengan masyarakat homogen pedesaan, menciptakan panggung-panggung sendiri melalui interaksinya, yang terkadang justru membentuk proteksi sendiri dengan komunitas lainnya. Apa yang dilakukan masyarakat melalui konsep permainan peran adalah realitas yang terjadi secara alamiah dan berkembang sesuai perubahan yang berlangsung dalam diri mereka. Permainan peran ini akan berubah-rubah sesuai kondisi dan waktu berlangsungnya. Banyak pula faktor yang berpengaruh dalam permainan peran ini, terutama aspek sosial psikologis yang melingkupinya.

KRITIK TERHADAP DRAMATURGI

Dramarturgi hanya dapat berlaku di institusi total

Institusi total maksudnya adalah institusi yang memiliki karakter dihambakan oleh sebagian kehidupan atau keseluruhan kehidupan dari individual yang terkait dengan institusi tersebut, dimana individu ini berlaku sebagai sub-ordinat yang mana sangat tergantung kepada organisasi dan orang yang berwenang atasnya. Ciri-ciri institusi total antara lain dikendalikan oleh kekuasan (hegemoni) dan memiliki hierarki yang jelas.  Contohnya, sekolah asrama yang masih menganut paham pengajaran kuno (disiplin tinggi), kamp konsentrasi (barak militer), institusi pendidikan, penjara, pusat rehabilitasi (termasuk didalamnya rumah sakit jiwa, biara, institusi pemerintah, dan lainnya.  Dramaturgi dianggap dapat berperan baik pada instansi-instansi yang menuntut pengabdian tinggi dan tidak menghendaki adanya “pemberontakan”. Karena di dalam institusi-institusi ini peran-peran sosial akan lebih mudah untuk diidentifikasi. Orang akan lebih memahami skenario semacam apa yang ingin dimainkan.   Bahkan beberapa ahli percaya bahwa teori ini harus dibuktikan dahulu sebelum diaplikasikan.

Menihilkan “kemasyarakatan”

Teori ini juga dianggap tidak mendukung pemahaman bahwa dalam tujuan sosiologi ada satu kata yang seharusnya diperhitungkan, yakni kekuatan “kemasyarakatan”. Bahwa tuntutan peran individual menimbulkan clash bila berhadapan dengan peran kemasyarakatan. Ini yang sebaiknya dapat disinkronkan.

Dianggap condong kepada Positifisme

Dramaturgi dianggap terlalu condong kepada positifisme[4]. Penganut paham ini menyatakan adanya kesamaan antara ilmu sosial dan ilmu alam, yakni aturan. Aturan adalah pakem yang mengatur dunia sehingga tindakan nyeleneh atau tidak dapat dijelaskan secara logis merupakan hal yang tidak patut.

ANALISIS DRAMATURGI

Dramaturgis masuk dalam Perspektif Obyektif

Dramaturgis dianggap masuk ke dalam perspektif obyektif karena teori ini cenderung melihat manusia sebagai makhluk pasif (berserah). Meskipun, pada awal ingin memasuki peran tertentu manusia memiliki kemampuan untuk menjadi subyektif (kemampuan untuk memilih) namun pada saat menjalankan peran tersebut manusia berlaku objektif, berlaku natural, mengikuti alur. Misalnya, pada kasus Kekerasan pada Rumah Tangga (“KDRT”), saat perilaku kekerasan itu hendak terjadi, korban sebenarnya memiliki pilihan, berserah diri atau melakukan perlawanan. Bila ia memberontak maka konsekuensinya adalah ini dan bila ia pasrah maka akibatnya seperti itu. Proses subyektif ini akan beralih menjadi obyektif saat ia menjalani peran yang dipilihnya tersebut. Misalnya yang ia ambil adalah pasrah karena ia takut kalau ia melarikan diri konsekuensinya lebih parah, atau ia merasa terlalu tergantung kepada tersangka dan mengkhawatirkan nasih anaknya bila ia melawan. Maka, setelah itu ia akan menjalani perannya sebagai korban. Secara naluriah ia akan menutupi bagian tubuhnya yang mungkin menjadi sasaran kekerasan. Atau ia berusaha untuk menutupi telinganya untuk melindungi mental dan psikologisnya. Itulah mengapa dramaturgi di sebut memiliki muatan objektif. Karena pelakunya, menjalankan perannya secara natural, alamiah mengetahui langkah-langkah yang harus dijalani.

Pendekatan Keilmuan Little John – Pendekatan Scientific (ilmiah – empiris)

Seperti telah dijabarkan diatas, Dramaturgis merupakan teori yang mempelajari  proses dari perilaku dan bukan hasil dari perilaku. Ini merupakan asas dasar dari penelitian-penelitian yang menggunakan pendekatan scientific[5]. Obyektifitas yang digunakan disini adalah karena institusi tempat dramaturgi berperan adalah memang institusi yang terukur dan membutuhkan peran-peran yang sesuai dengan semangat institusi tersebut. Institusi ini kemudian yang diklaim sebagai institusi total sebagaimana telah dijabarkan sebelumnya. Bahwa hasil dari peranan itu sesungguhnya, bila proses (rumusnya) dijalankan sesuai dengan standar observasi dan konsistensi maka bentuk akhirnya adalah sama. Contohnya, bila seorang pengajar mempraktekkan cara mengajar sesuai dengan template perguruan tinggi maka kualitas keluaran perguruan tinggi tersebut akan menghasilkan kualitas yang bisa dikatakan relatif sama. Atau untuk contoh front liner hotel diatas, bila front liner dapat memainkan skenario penyambutan tamu manajemen hotel, niscaya tamu akan merasa dihargai, dihormati, senang dan bersedia untuk datang menginap kembali di hotel tersebut.   


[1] Frase ini berasal dari bahasa Latin yang secara bahsa berarti Tuhan keluar membantu. Hal ini menunjuk pada karakter buatan, imajiner, alat ataupun peristiwa yang tiba-tiba saja terjadi atau ada dalam sebuah pertunjukan fiksi atau drama sebagai jalan keluar dari sebuah situasi atau plot yang sulit (contohnya, tiba-tiba ada ibu peri yang muncul untuk menolong Cinderella supaya bisa datang ke pesta dansa di istana).

[2] Aristoteles mengartikan kata ini sebagai “perubahan perilaku dari acuh menjadi butuh karena perkembangan cerita (mengetahui yang sesungguhnnya), tumbuhnya rasa cinta atau benci yang timbul antar karakter yang ditakdirkan oleh alur cerita”. Contohnya, pangeran dalam cerita Cinderella sebelum tidak peduli pada gadis-gadis yang memiliki sepatu kaca, tapi begitu ia mengetahui bahwa gadis misteriusnya memakai sepatu kaca, maka ia mencari gadis-gadis yang muat dengan sepatu kacanya.

[3] Kata ini mengacu kepada sensasi, atau efek turut terbawanya alur cerita ke dalam hati. Perasaan ini seyogyanya muncul di hati para penonton seusai menonton drama yang mengena. (contohnya, turut menangis,tertawa, atau perasaan iba terhadap karakter drama).

[4] Positifisme dirunut dari asalnya berasal dari pemikiran Auguste Comte pada abad ke 19. Comte berpendapat, positivisme adalah cara pandang dalam memahami dunia dengan berdasarkan sains.

[5] Menurut pandangan ini ilmu diasosiasikan dengan objektivitas. Objektivitas yang dimaksudkan di sini adalah objektivitas yang menekankan prinsip standardisasu observasi dan kosistensi. Landasan philosofisnya adalah bahwa dunia ini pada dasarnya mempunyai bentuk dan struktur.

Sumber:

Griffin , Em,2003, A First Look at Communication Theory, McGraw Hill


by: A.C.S.


1. Pengertian dan Arti Penting

1.1 Pemimpin (Leader)

Peran kepemimpinan dan pemimpin itu sendiri merupakan satu dari sekian banyak peran dengan posisinya dalam suatu kelompok (Shaw, 1979;272). Peran yang dimainkan oleh seorang pemimpin merupakan peran sentra, oleh sebab itu keberadaan pemimpin, merupakan faktor terpenting dalam suatu kelompok. Maju mundurnya suatu kelompok sangat tergantung atas kemampuan sang pemimpin mengelola dan menggembleng para anggotanya untuk mencapai tujuan kelompoknya.

Sebelum melangkah lebih jauh, dalam melihat segi pemimpin ini, terlebih dahulu diajukan pemikiran yang berkaitan dengan pengertian pemimpin itu sendiri dan kepemimpinannya. Masalah untuk mendefinisikan pemimpin dan kepemimpinan telah diajukan jauh sebelumnya oleh Carter (1953) yang mengidentifikasikan berbagai pandangan dan tinjauan mengenai leadership atas beberapa literature. Ia menemukan lima pola pendefinisian yang dilakukan oleh para author (pakar) di bidang ini. Pola Pertama, pemimpin didefinisikan sebagai seorang yang menjadi focus dalam tingkah laku kelompok. Definisi ini menekankan polarisasi para anggota kelompok di sekitar pemimpin. Kedua, pendekatan ini mendefinisikan kepemimpinan dari terminologi tujuan kelompok (Group goals). Pemimpin dalam konteks ini didefinisikan adalah orang (seorang) yang memiliki kemampuan memimpin kelompok yang mengarah ke tujuan-tujuan kelompok. Kebanyakan orang menyetujui definisi ini, akan tetapi Carter, mengatakan ditemukan suatu kesulitan untuk mengidentifikasikan group goals (tujuan-tujuan kelompok tersebut).

Pendekatan ketiga, mendefinisikan pemimpin adalah seorang yang dipilih oleh anggota-anggota kelompok. Pendefinisian ini menimbulknan kepemimpinan dan pemimpin tergantung atas pilihan sosiometrik para anggota kelompok.

Pendekatan keempat, yang diajukan Cattell (1951) dalam hubungan dengan teorinya yang dikenal dengan “Group syntality theory”. Sesuai dengan itu, ia mendefinisikan pemimpin adalah sebagai seorang yang mampu mendemonstrasikan pengaruhnya atas sintalitas kelompok (group syntality). Sedangkan pendekatan kelima yang disenangi Carter sendiri, mengatakan bahwa pemimpin adalah seseorang yang berusaha dalam perilaku kepemimpinan, atau seseorang yang terikat dengan perilaku kepemimpinan.

Dari kelima pendekatan yang diajukan diatas, suatu kesimpulan umum yang dapat diberikan sehubungan dengan pengertian pemimpin tersebut, bahwa pengertian pemimpin mengacu pada orang (individu bersangkutan) dengan segala kemampuannya, sedangkan pengertian kepemimpinan mengacu pada gambaran personal seorang pemimpin, atau tingkah laku, sifat dan sebagainya. Atau, kalau boleh dipertegas, pemimpin itu adalah kata benda, sedangkan kepemiminan adalah kata sifat.

 

1.2 Kepemimpinan

1.2.1. Batasan (umum) Kepemimpinan

 

Sebagaimana diketahui bahwa antara istilah pemimpin dan kepemimpinan itu tidak dapat dipisahkan, karena setiap pemimpin dengan sendirinya pula (baik sadar maupun tidak sadar) membawa kepemimpinan itu sendiri dalam tindakan kesehariannya. Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, bahwa pengertian pemimpin mengacu kepada kemampuan individu tersebut. Suatu usaha yang dilakukan seorang pemimpin, tidaklah akan efektif jika tidak diikuti dengan kepemimpinan tersebut.

Jika dilihat dari pola-pola pendekatan yang dilakukan parapakar tentang pengertian kepemimpinan tersebut, sebagaimana juga dengan usaha membatasi pengertian pemimpin, dapat dilihat. Pendekatan pertama memandangnya dari seorang yang dijadikan focus dalam tingkah laku dalam kelompok, di situlah kepemimpinan itu muncul. Pendekatan kedua mengutamakan dari seseorang yang mengarahkan dan mengerahkan kemampuannya ke tujuan0tujuan kelompok, dalam hal ini kepemimpinan itu tumbuh dan berkembang. Pendekatan ketiga kepemimpinan yang dikukuhkan oleh anggota kelompok, melalui pilihan sosiometrik dan sebagainya. Pendekatan keempat dari sudut sintalitas kelompok dan pendekatan kelima mengacu kepada seseorang yang terikat dengan perilaku kepemimpinan itu sendiri.

Jika kita ambil sari semua pendekatan dan definisi yang diajukan para pakart dalam bidang ini dapatlah ditetapkan definisi kepemimpinan tersebut sebagai berikut, Kepemimpinan adalah “suatu usaha yang dilakukan seserang dalam hubungan antar manusia untuk mempengaruhi orang lain, melalui proses komunikasi yang diarahkan ke pencapaian tujuan.” Dari batasan ini factor-faktor terpenting yang terkandung dalam pengertian tersebut adalah:

 

(a). Pendayagunaan pengaruh

(b). Hubungan antar manusia

(c). Proses komunikasi, dan

(d). Pencapaian suatu tujuan.

 

Dalam menjalankan fungsi kepemimpinan, seorang pemimpin tidak dapat begitu saja      menjalankannya tanpa kekuasaan dan wewenang (otoritas) yang dimiliki pemimpin tersebut. Dan dapat disebutkan kepemimpinan tersebut belumlah efektif sebagaimana dikehendaki. Hal ini disebabkan, karena kekuasaan merupakan sumber untuk mempengaruhi orang lain. Dan kekuasaan tersebut merupakan kapasitas atau kesanggupan untuk mempengaruhi. Sedangkan otoritas atau wewenang merupakan hak untuk mempengaruhi para pengikut.

Kembali kepada pengertian kepemimpinan, sebagaimana dijelaskan sebelumnya, jika dikembangkan lagi dalam pembagian unsur-unsur tersebut dapat dikembangkan sebagai berikut.

1 .Perilaku seseorang pada waktu mengarahkan kegiatan-kegiatan kelompok ke suatu tujuan  bersama.

2. Suatu tipe huungan khusus kekuasaan yang dicirikan oleh pengamatan anggota kelompok bahwa, anggota keelompok yang lain mempunyai hak untuk menentukan pola-pola perilaku anggota kelompok yag disebutkan pertama dalam hubungannya dengan kegiatannya selaku anggota kelompok.

3. Pengaruh antar personal yang dilakukan dalam suatu situasi melalui proses komunikasi ke arah pencapaian suatu tujuan yang sudah ditetapkan (disepakati).

4. Pemrakarsa dan pemeliharaan struktur pengharapan (ekspektasi) dan interaksi.

 

Berikut ini dipaparkan beberapa persamaan tentang konsep kepemimpinan dari berbagai literature. Adapun persamaan-persamaan tersebut, antara lain;

 

  • Suatu gejala kelompok yang mencakup interaksi antara tiga atau lebih individu.
  • Prosses pengaruh sebagai akibat upaya pemimpin untuk mempengaruhi para pengikutnya.

 

Jika dalam bagian ini pembicaraan kepemimpinan mengaitkan diri dengan pemimpin, hal ini merupakan perwujudan dari keterkaitan antara kedua pengertian tersebut. Apabila kita tarik unsure-unsur dari definisi di atas mengenai kepemimpinan, unsure-unsur tersebut adalah

  • Hubungan antar manusia
  • Penggunaan pengaruh
  • Proses komunikasi
  • Pencapaian suatu tujuan

 

Hubungan antar manusia erjadi apabila dua orang atau lebih berinteraksi hingga berlangsung proses saling mempengaruhi. Seorang pemimpin mendasarkan pengaruhnya pada beberapa sumber kekuasaan, yaitu:

  • Kekuasaan sah
  • Kekuasaan imbalan
  • Kekuasaan paksaan
  • Kekuasaan informasi
  • Kekuasaan koneksi
  • Kekuasaan ahli
  • Kekuasaan “referent” (teladan)

 

Suatu interaksi yang saling mempengaruhi antar para anggota kelompok (pengikut-pengikut), akan menghasilkan tingkah laku. Dan tingkah laku ini akan mengarahkan ke tujuan yang telah ditetapkan bersama, sehingga memungkinkan tujuan tersebut dicapai. Dengan demikian, setiap pemimpin dengan kepemimpinannya menggunakan kekuasaan dan wewenangnya sebagaimana mestinya, adalah bertujuan untuk mempengaruhi para anggota untuk bertingkah laku guna tercapainya tujuan kelompok.

 

1.2.2. Pendekatan Berdasarkan Tingkah Laku

Dari penelitian-penelitian yang dilakukan oleh para pakar psikologi industri tentang pendekatan berdasarkan tingkah laku pemimpin, ditemukan bahwa tingkah laku pemimpin dapat dibagi ke dalam gaya utama. Kedua gaya tersebut adalah sebagai berikut:

 

a.         Berorientasi pada tugas

Disini, pemimpin menekankan pentingnya penyelesaian tugas dengan cara mengatur penugasan kerja, pengambilan keputusan dan penilaian hasil kerja. Pengawasan merupakan factor penting dalam gaya ini, oleh karena itu pengawasan dilakukan dengan ketat. Penggunaan kekuasaan lebih dipentingkan oleh sang pemimpin dengan menggunakan kekuasaan yang bersumber pada imbalan, paksaan dan keabahan dalam usahamempengaruhi tingkah laku dan hasil karya para anggotanya.

 

b.         Berorientasi pada pengikut

Indikasi orientasi ini antara lain sikap terbuka, ramah dari sang pemimpin serta usaha untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan para anggota. Pemimpin yang bergaya dan orientasi demikian itu, berusaha mendelegaskan pengambilan keputusan, serta b erusaha membantu para anggota untuk memuaskan kebutuhan mereka dengan menciptakan iklim dan lingkungan yang supportif. Sumber kekuasaan yang banyak (sering) digunakan dalam orientasi ini, adalah sumber kekuasaan referent dan ahli atau axpert.

 

Ditampilkannya kedua orientasi di atas, dengan asumsi, bahwa kedua bentuk oriientasi tersebut, akan menentukan gaya kepemimpinan seorang pemimpin dalam mempengaruhi para anggotanya untuk mencapai tujuan kelompok.

2. Fungsi Kepemimpinan Dalam Kelompok

Sebagian ahli komunikasi kelompok terdahulu berasumsi bahwa diskusi mau tidak mau harus dilakukan di bawah pengaraan seorang pemimpin yang terampil dapat membantu para anggota kelompok dalam usaha memecahkan masalah.

Menurut Covey dalam (Kris Yuliani H 2002: 6) ada tiga peranan pemimpin dalam kelompok/organisasi antara lain:

  • Pathfinding (pencarian alur), mengandung sistem nilai dan visi dengan kebutuhan pelanggan melalui suatu perencanaan strategis yang disebut the strategic pathway (jalur strategi).
  • Aligning (penyelarasan), upaya memastikan bahwa struktur, sistem dan operasional organisasi atau kelompok memberi dukungan pada pencapaian visi dan misi dalam memenuhi kebutuhan pelanggan dan pemegang saham lain yang terlibat.
  • Empowerment (pemberdayaan), suatu semangat yang digerakkan dalam diri orang-orang yang mengungkapkan bakat, kecerdikan dan kreativitas laten, untuk mampu mengerjakan apapun dan konsisten dengan prinsip-prinsip yang disepakati untuk mencapai nilai, visi dan misi bersama dalam melayani kebutuhan pelanggan dan pemegang saham lain yang terlibat.

 

Menurut Sondang (1999: 47-48), lima fungsi kepemimpinan yang dibahas secara singkat adalah sebagai berikut:

(1) pimpinan selaku penentu arah yang akan ditempuh dalam usaha pencapaian tujuan,

(2) wakil dan juru bicara organisasi dalam hubungan dengan pihak-pihak di luar organisasi,

(3) pimpinan selaku komunikator yang efektif,

(4) mediator yang handal, khususnya dalam hubungan ke dalam, terutama dalam menangani situasi konflik,

(5) pimpinan selaku integrator yang efektif, rasional, objektif dan netral.

 

Menurut William R. Lassey dalam bukunya Dimension of Leadership, menyebutkan dua macam fungsi kepemimpinan, yaitu kepemimpinan, yaitu :

 

1. Fungsi menjalankan tugas

Fungsi ini harus dilakukan untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Yang tergolong fungsi ini adalah :

  • Kegiatan berinisiatif, antara lain usul pemecahan masalah, menyarankan gagasan – gagasan baru, dan sebagainya.
  • Mencari informasi, antara lain mencari klasifikasi terhadap usul – usul atau saran serta mencari tambahan informasi yang diperlukan.
  • Menyampaikan data atau informasi yang sekiranya ada kaitannya dengan pengalamannya sendiri dalam menghadapi masalah yang serupa.
  • Menyampaikan pendapat atau penilaian atas saran – saran yang diterima.
  • Memeberikan penjelasan dengan contoh – contoh yang lebih dapat mengembangkan pengertian.
  • Menunjukkan kaitan antara berbagai gagasan atau saran-saran dan mencoba mengusulkan rangkuman gagasan atau saran menjadi satu kesatuan.
  • Merangkum gagasan-gagasan yang ada kaitannya satu sama lain menjadi satu dan mengungkapkan kembali gagasan tersebut setelah didiskusikan dalam kelompok.
  • Menguji apakah gagasan-gagasan tersebut dapat dilaksanakan dan menilai keputusan-keputusan yang akan dilaksanakan.
  • Membandingkan keputusan kelompok dengan standar yang telah ditetapkan dan mengukur pelaksanaannya dengan tujuan yangb telah ditetapkan.
  • Menentukan sumber-sumber kesulitan, menyiapkan langkah-langkah selanjutnya yang diperlukan, dan mengatasi rintangan yang dihadapi untuk mencapai kemajuan yang diharapkan.

 

2. Fungsi pemeliharaan.

Fungsi ini mengusahakan kepuasan, baik bagi pemeliharaan dan pengembangan kelompok untuk kelangsungan hidupnya. Yang termasuk fungsi ini antara lain :

  • Bersikap ramah, hangat dan tanggap terhadap orang lain, mau dan dapat memujiorang lain atau idenya, serta dapat menerima dan menyetujui sumbangan fikiran orang lain.
  • Mengusahakan kepada kelompok, mengusahakan setiap anggota berbicara dengan waktu yang dibatasi, sehingga anggota kelompok lain berkesempatan untuk mendengar.
  • Menentukan penggunaan standar dalam pemilihan isi, prosedur dan penilaian keputusan serta mengingatkan kelompok untuk meniadakan keputusann yang bertentangan dengan pedoman kelompok.
  • Mengikuti keputusan kelompok, menerima ide orang lain, bersikap sebagai pengikut/pendengar sewaktu kelompok sedang berdiskusi dan mengambil keputusan
  • Menyelesaikan perbedaan-perbedaan pendapat dan bertindak sebagai penengah untuk mengkompirmasikan pemecahan masalah.

 

Disamping kedua pendapat tersebut tentang fungsi kepemimpinan, pendapat lain mengemukakan bahwa fungsi kepemimpinan adalah memberikan pendapat yang terakhir mengatakan bahwa fungsi kepemimpinan adalah menciptakan struktur untuk pencapaian tujuan, mempertahankan dan mengamankan integritas organisasi dan medamaikan perbedaan yang terjadi dalam kelompok menuju ke arah kesepakatan bersama.

 

Robinson dalam (Ginting 1999: 26-27). Para ahli mengemukakan bahwa peranan yang perlu ditampilkan pemimpin adalah:

(1) mencetuskan ide atau sebagai seorang kepala,

(2) memberi informasi,

(3) sebagai seorang perencana,

(4) member sugesti,

(5) mengaktifkan anggota,

(6) mengawasi kegiatan,

(7) memberi semangat untuk mencapai tujuan,

(8) sebagai katalisator,

(9) mewakili kelompok,

(10) member tanggung jawab,

(11) menciptakan rasa aman dan

(12) sebagai ahli dalam bidang yang dipimpinnya.

 

Sebagai pemimpin kelompok, seseorang harus berperan mendorong anggota beraktivitas sambil memberi sugesti dan semangat agar tujuan dapat tercapai. Peranan pemimpin kelompok yang sangat perlu dilaksanakan oleh seorang pemimpin kelompok yaitu:

(1). Membantu kelompok dalam mencapai tujuannya

(2). Memungkinkan para anggota memenuhi kebutuhan

(3). Mewujudkan nilai kelompok

(4). Merupakan pilihan para anggota kelompok untuk mewakili pendapat mereka dalam   I       interaksi dengan pemimpin kelompok lain

(5) Merupakan seorang fasilitator yang dapat menyelesaikan konflik.

 

3.  Berbagai Perspektif Tentang Kepemimpinan

3.1 Perspektif Bakat

Dalam sebuah kelompok, sekecil apapun, yang anggotanya hanya 3 orang saja, pasti memiliki ketua atau pemimpin dalam kelompok tersebut. Kalaupun bukan  disebut  pemimpin, tapi orang tersebut adalah orang yang berpengaruh dalam hal perkataan ataupun tindakannya yang mampu menggerakan kemana arah dan tujuan kelompok tersebut.

Dalam kelompok bermain, biasanya pemimpin ini hanya akan tampil saat kelompok tersebut akan melakukan sesuatu, misal: geng anak smp yang bingung menentukan kemana mereka akan pergi hang out di akhir minggu, lalu biasanya salah satu dari mereka akan mengajukan saran dan bahkan membuat semua anggota tersebut menyetujui akan saran dia, dan akhirnya kelompok tersebut menyetujui tempat yang akan mereka kunjungi di akhir pekan ini.

Itu hanya sebagian kecil bahkan atau contoh sederhana sebuah kepemimpinan dalam sebuah kelompok, berbeda dengan pemimpin sebuah kelompk yang sifatnya formal, seperti seorang ketua OSIS, tugasnya tidak semudah pemimpin kelompok di contoh sebelumnya, seorang ketua osis memiliki agenda kerja selama setahun masa ya dengan tetap berjalan dalam rambu-rambu Ad dan ART yang ditetapkan serta tanggap dengan situasi dan keadaan sekolahnya, jikalau ia harus mengambil tindakan insidentil yang bertujuan untuk memepertahankan kelangsungan organisasi yang dipimpinnya.

Beberapa pemimpin lahir karena sudah dianugerahi oleh bakat sejak kecil yang kemudian diasah dan akhirnya menjadi seorang pemimpin yang baik. Ada juga maeupakan hasil dari pembelajaran terus menerus dan juga karena adanya kesempatan yang diberikan.

Jika dijabarkan dalam pengertian bahasa atau dalam pengertian yang umum kita pahami, adalah kelebihan / keunggulan alamiah yang melekat pada diri kita dan menjadi pembeda antara kita dengan orang lain. Kamus Advance, misalnya, mengartikan talent dengan “natural power to do something well.” Dalam kamus Marriam-Webster’s, dikatakan “natural endowments of person.” Dalam percakapan sehari-hari kita sering mengatakan si anu berbakat di nyanyi, di bisnis, di IT dan seterusnya.

Sedangkan kepemimpinan adalah proses mempengaruhi dalam menentukan tujuan organisasi, memotivasi perilaku pengikut untuk mencapai tujuan, mempengaruhi untuk memperbaiki kelompok dan budayanya. Kepemimpinan mempunyai kaitan yang erat dengan motivasi. Hal tersebut dapat dilihat dari keberhasilan seorang pemimpin dalam menggerakkan orang lain dalam mencapai tujuan yang telah ditetapkan sangat tergantung kepada kewibawaan, dan juga pimpinan itu dalam menciptakan motivasi dalam diri setiap orang bawahan, kolega, maupun atasan pimpinan itu sendiri.

3.2 Perspektif Gaya

Para ahli yang berkecimpung dalam psikologi sosial, seperti Lewin, Lippit dan White, dalam hubungan ini tertarik untuk menentukan gaya-gaya kepemimpinan yang erat kaitannya dengan tingkah laku pemimpinnya dalam hubungannya (interaksi) dengan para anggota kelompok. Dengan melihat gaya-gaya kepemimpinan ketiga author di atas, melihat akibat dari gaya-gaya yag berlainan tersebut terhadap iklim sosial dan produktivitas. Ketiga gaya tersebut, sebagaimana sudah umum diketahui, adalah gaya kepemimpinan otoriter, gaya kepemimpinan demokratis, dan gaya kepemimpinan Laissez Fraire. Berikut ini akan dipaparkan penjelasan satu persatu dari gaya-gaya kepemimpinan yang disebutkan diatas.

 

1. Gaya Kepemimpinan Otoriter / Authoritarian

Adalah gaya pemimpin yang memusatkan segala keputusan dan kebijakan yang diambil dari dirinya sendiri secara penuh. Mencerminkan gambaran  manusia yang negative, pesimis dan mengecilkan hati. Pemimpin tipe ini mengeksploitir ketergantungan pengikutnya dengan cara menentukan kebijaksanaan kelompok tanpa mengkonsultasikan dahulu pada anggota kelompok. Segala pembagian tugas dan tanggung jawab dipegang oleh si pemimpin yang otoriter tersebut, sedangkan para bawahan hanya melaksanakan tugas yang telah diberikan. Lebih kepada mendikte tugas pada kelompok, menetapkan prosedur dalam mencapainya, menguji dan mengkritik anggota secara subjektif serta menganut sikap yang mngambil jarak dan formal. Perjalanan komunikasi dalam kelompok pada dasarnya dilakukan melalui pemim pin; para anggota tidak dianjurkan untuk berkomunikasi secara langsung satu sama lain

2. Gaya Kepemimpinan Demokratis / Democratic

Gaya kepemimpinan demokratis adalah gaya pemimpin yang memberikan wewenang secara luas kepada para bawahan. Pandangan seorang pemimpin yang demokratis terhdap orang lain lebih optimis dan positif dibanding pemimpin otoriter. Setiap ada permasalahan selalu mengikutsertakan bawahan sebagai suatu tim yang utuh. Dalam gaya kepemimpinan demokratis pemimpin memberikan banyak informasi tentang tugas serta tanggung jawab para bawahannya.

3. Gaya Kepemimpinan Bebas / Laissez Faire

Pemimpin jenis ini hanya terlibat delam kuantitas yang kecil di mana para bawahannya yang secara aktif menentukan tujuan dan penyelesaian masalah yang dihadapi. Pemimpin non-direktif menjauhi usaha mendominasi kelompok dan mendorong anggota-anggota kelompok untuk lebih bertanggung jawab. Namun, pemimpin non-direktif melakukan hal ini dengan cara berkomunikasi dengan anggota kelompok. Bisa dikatakan, kemana arah kelompok ini akan berjalan ditentukan oleh anggotanya, bukan oleh pemimpinnya.

Berikut ini akan disajikan sebuah bagan yang memperlihatkan rentang gaya kepemimpinan di atas, dengan mengetengahkan indikasi masing-masing gaya tersebut.

Perhatian pokok dari ahli komunikasi kelompok adalah penyelidikan, bukan dukungan, meskipin adakalanya gaya kepemimpinan atau prosedur harus ditentukan peringkatnya sehingga suatu sikap mau tidak mau harus diambil. Salah satu bahaya dalam mendukung suatu strategi kepemimpinan tertentu adalah kemunkinan bahwa hal tersebut tidak akan bekerja sebagaimana mestinya dalam situasi yang telah ditetapkan untuk itu. Adanya kesadaran yang semakin berkembang tentang fakta ini mengakibatkan terjadinya pengembangan pendekatan situasi terhadap kepemimpinan.

 

3.3 Perspektif Fungsional

Pendekatan fungsional terhadap kepemimpinan menyadari kesukaran untuk mengidentifikasi seorang anggota kelompok tertentu sebagai pemimpin kelompok. Oleh sebab itu pendekatan fungsional membahas masalah tersebut dengan mengalihkan perhatian dari individu yang disebut pemimipin kea rah tingkah laku yang ditunjukkan oleh semua anggota kelompok. Tingkah laku yang membimbing, mempengaruhi, mengarahkan atau mengendalikan orang lain, dianggap merupakan fungsi-fungsi kepemimpinan, dan fungsi-fungsi kepemimpinan dapat dan seringkali dikemukakan oleh banyak anggota kelompok, jadi bukan hanya pada mereka yang mendapat predikat sebagai “pemimpin”.

Pendekatan fungsional terhadap kepemimpinan lebih menarik perhatian banyak ahli ilmu sosial daripada pendekatan pembawaan, karena dalam hal tertentu, lebih empiris. Di antara berbagai hal lain, pendekatan tersebut lebih memungkinkan para ahli ilmu sosial untuk menangani tingkah laku dalam kelompok yang sebenarnya telah berperan dalam mempengaruhi orang lain, terlepas dari apakah dilakukan atau tidak oleh pemimpin yang diangkat, pendekatan tersebut juga menyajikan kepada peneliti suatu definisi yang lebih operasional tentang kepemimpinana.

Mengingat bahwa pendekatan fungsional menuntut identifikasi dari kegiatan-kegiatan atau tingkah laku kepemimpinan yang berpengaruh dalam suatu kelompok, si peneliti diharuskan mengembangkna sistem-sistem klasifikasi yang akan memungkinkan mereka membedakan antara tindakan yang berpengaruh dalam suatu kelompok dengan yang tidak berpengaruh. Sejumlah kategori tingkah laku yang pada umumnya berpengaruh kemudian dikenal sebagai fungsi-fugsi kepemimpinan.

3.4 Perspektif Situasional

Karya Lewin dan kawan-kawannya selama ini telah menarik sejumlah besar perhatian terhadap gaya kepemimpinan. Penelitian yang dilakukan Preston dan Heintz, Gordon, Selvin, Likert, dan lain-lain dalam bidang ilmu ini cenderung menegaskan suatu seneralisasi bahwa anggota-anggota kelompok akan lebih puas dan produktif di bawah kondisi yang melibatkan tingkah laku kepemimpinan yang lebih dekat dengan pola demokratis daripada dengan pola otoriter atau laissez faire. Walaupun demikia, Lewin juga telah mempengaruhi perlkembangan dari pendekatan yang selama kurang 10 tahun terakhir memerlukan suatu penelitian dan interpretasi ulang terhadap literature mengenai gaya kepemimpinan.

Pendekatan situasional terhadap kepemimpinan mengemukakan bahwa efektivitas dari seperangkat cirri pembawaan dalam kepemimpinan, maupun dari suatu gaya kepemimpinan, atau dari suatu tingkah laku atau fungsi kepemimpinan tertentu dapat dipahami secara baik dengan cara hati-hati meneliti konteks dari kejadian tersebut. Pendekatan situasional tumbuh dari semakin meningkatnya kesadaran bahwa posisi kepemimpinan dalam suatu kelompok tidak dapat diihat sebagai suatu peranan yang homogeny, yang memotong silang berbagai situasi kelompok yang terlepas dari factor-faktor seperti persepsi-persepsi dan pola hubungan pemimpin dengan pengikut. Sudut pandang ini diperkuat oleh studi-studi yang jelas-jelas mengungkapkan bahwa yang menjadi pemimpin di dalam kelompok sering tergantung pada sifat dari tugas kelompok. Selanjutnya, gaya kepemimpinan yang dipilih oleh seseorang untuk dianutnya, sangat dipengaruhi oleh persepsinya tentang kredibilitas bawahannya. Pilihan ini juga didukung oleh penemuan bahwa kepribadian para anggota kelompok mempengaruhi gaya kepemimpinan yang diinginkan para anggota kelompok maupun kepuasan anggota terhadap pengalaman kelompok mereka.

Menurut kaum “situasionalis”, untuk memahami gejala kepemimpinan seseorang harus memperhitungkan hubungan yang ada di antara pemimpin atau pemimpin-pemimpin kelompok para pengikutnya, serta situasi dimana mereka berada. Situasi sehubungan dengan ini termasuk juga factor-faktor seperti besarnya kelompok, tugas kelompok, cara kelompok terstruktur, norma-norma kelompok, sumber daya dari setiap anggota kelompok serta latar belakang sejarah kelompok.

Pentingnya situasi dalam menentukan tingkah laku dan efektivitas kepemimpinan lebih lanjut didukung oleh hasil-hasil penelitian yang berhubungan dengan akibat-akibat terhadap produktivitas dan pengambilan keputusaan dari berbagai jaringan atau jaringan kerja komunikasi.

3.5 Perspektif Kontingensi

Studi kepemimpinan jenis ini memfokuskan perhatiannya pada kecocokan antara karakteristis watak pribadi pemimpin, tingkah lakunya dan fariabel-fariabel situasional.

Kalau model kepemimpinan situasional berasumsi bahwa situasi yang berbeda membutuhkan tipe kepemimpinan yang berbeda, maka model kepemimpinan kontingensi memfokuskan perhatian yang lebih luas, yakni pada aspek-aspek keterkaitan antara kondisi / variable situasional dengan watak atau tingkah laku dan criteria kinerja pemimpin (Hoy and Miskel 1987).

Fiedler (1967) beranggapan bahwa kontribusi pemimpin terhadap efektifitas kinerja kelompok tergantung pada cara atau gaya kepemimpinan dan sesuai situasi yang dihadapinya. Menurutnya ada tiga factor utama yang mempengaruhi kesesuaian situasi dan ketiganya ini selanjutnya mempengaruhi keefektifan pemimpin, ketiga faktor tersebut adalah:

  • Hubungan antara pemimpin dan bawahan, yaitu sampai sejauh mana pemimpin itu dipercaya dan disukai oleh bawahan untk mengikuti petunjuk pemimpin.
  • Struktur tugas yaitu sampai sejauh mana tugas-tugas dalam organisasi didefinisikan secara jelas dan sampai sejauh mana tugas-tugas tersebut dilengkapi dengan petunjuk yang rinci dan prosedur yang baku.
  • Kekuatan posisi, yaitu sampai sejauh mana kekuatan atau kekuasaan yang dimiliki oleh pemimpin, karena posisinya diterapkan dalam organisasi untuk menanamkan rasa memiliki akan arti penting dan nilai dari tugas-tugas mereka masing-masing. Kekuatan posisi juga menjelaskan sampai sejauh mana pemimpin menggunakan otoritasnya dalam memberikan hukuman dan penghargaan, promosi dan penurunan pangkat.

Walaupun model kepemimpinan kontingensi dianggap lebih sempurna dibandingkan model-model sebelumnya dalam memahami aspek kepemimpinan dalam organisasi, namun demikian model ini belum dapat menghasilkan klarifikasi yang jelas tentang kombinasi yang paling efektif antara karakteristik pribadi, tingkah laku pemimpin dan variable situasional.

Saat ini, gaya kepemimpinan kontingensi (situasional) sangat populer karena lebih rasional, fleksibel dan bisa dipelajari serta diterapkan pada hampir segala situasi. Namun, akhir-akhir ini ada kecenderungan untuk menengok kembali pada “trait” atau karakter istimewa yang harus dimiliki oleh seseorang, misalkan kharisma.

4. Kepemimpinan dan Kredibilitas

Bagaimanapun juga figure seorang pemimpin dalam melaksanakan kewajibannya selaku pemimpin, sangat berpengaruh terhadap bawahannya. Pengaruh ini mencuat pada setiap anggota kelompok dengan menempatkan kredibilitas kepemimpinan seorang pemimpin. Banyak kajian-kajian yang menelaah mengenai kredibilitas pemimpin yang menjadi karakteristik yang mesti dipenuhi dan dituntut oleh para anggotanya, seperti yang diajukan oleh aristoteles sebagaimana yang ditransfer oleh Cooper, 1932; menekankan segi etos seorang pemimpin. Kredibilitas seorang pemimpin sangat ditentukan oleh etos yang dimiliki pemimpin tersebut. Begitu juga dengan kejujuran (Griffin, 1968;Griffin dan Barnes, 1976), juga menekankan segi kharisma, citra, dan prestise. Masing-asing istilah ini mengacu pada pengertian sikap yang biasa dari Parson kepada orang lain yang sangat berarti pada persepsi masing-masing anggota kelompok  terhadap pemimpinnya.

Ada tiga karakteristik yang ikut menentukan seorang pemimpin mendapat penghargaan dari anggotanya, yaitu:

  • Keahlian
  • Reabilitas dan dependenbilitas
  • Dinamis

Keahlian, mengacu pada intelegensi dan kekuatan yang bersifat keahlian yang dimiliki seorang pemimpin.

Reabilitas dan depenbilitas, berhubungan dengan kehendak baik seorang pemimpin dalam mempengaruhi anggota kelompoknya.

Dinamis, berhubungan dengan seseorang yang beraktivitas, terbuka dan berantusias yang tinggi.

Sejalan dengan itu, suatu penelitian yang dilakukan Hovland, Jannis, dan Kelley (1953), mereka tertarik pada penerimaan masyarakat terhadap seseorang sebagai sumber kredibilitas. Dalam hal ini ia menemukan kredibilitas tersebut termasuk dalam tiga pengertian, yaitu:

  • Kualifikasi
  • Rasa aman
  • Dinamis

Sedangkan McCrosky (1966) mengidentifikasikan lima dimensi sikap para audiens terhadap tukang pidato (orator), yaitu:

  • Kompeten
  • Karakter
  • Intense
  • Kepribadian
  • Dinamis

Dengan melihat pembahasan mengenai kredibilitas ini, dapatlah ditarik suatu garis tegas, bahwa kredibilitas berkaitan dengan kewibawaan seorang pemimpin. Sebagian besar hasil penelitian di bidang ini yang mengidentifikasikasn beberapa dimensi kredibilitas dapat dijadikan sandaran untuk penelaahan teori-teori kepemimpinan.

Seorang pemimpin yang diakui memiliki kredibiloitas tinggi dalam kelompok tersebut akan dengan mudah mempengaruhi para anggota kelompoknya untuk bertingkah laku guna mencapai tujuan yang telah ditetapkan bersama. Dengan kredibilitas yang diakui pula seorang pemimpin dapat menggunakan sumber kekuasaan yang tidak menonjolkan ke”aku”annya untuk mengatur hubungan atau interaksi dengan para anggota atau sesame anggota kelomppok.

5. Karakteristik Kepemimpinan Yang Efektif Dalam Kelompok

Efektivitas kepemimpinan berdasarkan konsekuensi tindakan pemimpin sebagai pengikut dan komponen lainnya dalam kelompok. Berbagai jenis hasil yang digunakan kinerja dan pertumbuhan kelompok tersebut, kesiapannya untuk menghadapi tantangan, kepuasan pengikut terhadap pemimpin, komitmen pengikut terhadap tujuan kelompok, kesejahteraan dan perkembangan psikologis para pengikutnya, bertambahnya status pemimpin dalam kelompok dan kemajuan pemimpin ke posisi wewenang yang lebih tinggi dalam organisasi. Untuk mengukur efektivitas pemimpin adalah seberapa jauh unit organisasi tersebut berhasil mencapai tugas pencapaian sasarannya. Contoh ukuran kinerja yang objektif mengenai pencapaian kinerja adalah keuntungan, margin keuntungan, peningkatan penjualan, pangsa pasar, biaya yang bekaitan dengan anggaran pengeluaran dan sebagainya. Sedangkan ukuran subyektifnya adalah tingkat efektifitas yang dihasilkan oleh pemimpin tertinggi, para pekerja atau bawahan.

Sikap para pengikut terhadap pemimpin adalah indikator umum lainnya dari pemimpin yang efektif. Seberapa baik pemimpin memenuhi kebutuhan pengikut? Apakah pengikut menyukai menghormati dan menghargai pemimpinnya? Sikap pengikut biasanya diukur dengan kuesioner atau wawancara. Perilaku pengikut juga indikator tidak langsung dari ketidakpuasan terhadap pemimpin.

Efektivitas pemimpin biasanya diukur berdasarkan kontribusi pemimpin pada kualitas proses kelompok yang dirasakan oleh para pengikut atau pengamat dari luar. Apakah pemimpin mampu meningkatkan efektifitas kohesivitas kelompok, kerjasama anggota? Apakah pemimpin dapat memperbaiki kualitas kerja? Dan perkembangan psikologis para pengikutnya?

Sangat sulit untuk mengevaluasi pemimpin yang efektif karena terdapat banyak alternatif ukuran efektifitas dan tidak jelas ukuran mana yang paling relevan. Beberapa peneliti berusaha mengkombinasikan beberapa ukuran menjadi satu kriteria gabungan, tapi pendekatan ini membutuhkan penilaian subyektif tentang bagaimana memberikan bobot pada penilaian ke setiap ukuran. Kriteria ganda biasanya menyulitkan ketika ukuran tersebut memiliki korelasi negatif yang artinya terdapat pertukaran antar kriteria. Dimana bila yang satu naik maka yang lainnya menurun. Namun ada satu kriteria yang bisa kita gunakan untuk mengukur efektivitas pola kepemimpinan seseorang, terutama dalam menciptakan suasana yang positif psikologi dalam sebuah perusahaan, sehingga akan meningkatkan kinerja karyawan yaitu emosi positif seorang pemimpin.

 

DAFTAR PUSTAKA

 

Yusuf, Yusmar. 1989. Dinamika Kelompok. Bandung: CV. ARMICO

Goldberg, Alvin. 1895. Komunikasi Kelompok. Jakarta: UI-PRESS

Mar’at. 1985. Pemimpin dan Kepemimpinan.jakarta: GHALIA INDONESIA

Hopper, Robert. 1976. Human Massage Systems. New York: HARPER & ROW

West, Richard. 2007. Communication Theory. New York: McGraw-Hill

Rakhmat, Jalaluddin. Psikologi Komunikasi.


by: A.C.S.

ABSTRACT

In an organization, human resources and other sources are combined. Here there is a coordination among leaders, members and physical facilities. Beside, correction and organization function and also adaptation to any changes, are activities conducted by the organization to reach desirable objectives.

The form of an organization is marked by distribution of job, power, responsibility and communication that purposely designed to increase its efforts in realization of certain objectives. The existence of one or some centers that are functioning to watch organization efforts control and to direct organization in reaching its objectives. Staff replacement, in this case, its members who are not working as expected might be replaced by other members. (Etzioni, 1985”4)

According to Margono Slamet (1944), to find out and to measure organization effectiveness, one can see from organization anatomy (organization system), organization structure, organization process, and individuals in the organization.

PENDAHULUAN

Manusia dilahirkan di dalam organisasi, di didik melalui organisasi, dan hamper semua manusia melewati masa hidupnya dengan bekerja untuk kepentingan organisasi. Manusia hidup dan mati di dalam organisasi (Etzioni, 1985:1).

Dalam kehidupannya, manusia terus menerus berinteraksi. Melalui proses ini, manusia menginterpretasikan lingkungannya, saling menginterpretasikan, serta berembuk tentang arti-arti bersama atau definisi tentang situasi yang dimiliki besama (Johnson, 1990:37). Blumer dalam kaitannya dengan hal tersebut menyatakan bahwa:

“Orang … tidak bertindak terhadap kebudayaan, struktur sosial atau semacamnya. Mereka bertindak terhadap situasi. Organisasi sosial masuk dalam tindakan hanya karena dalam hal dimana dia membentuk situasi dimana orang itu bertindak …” (Rose, 1962).

Selanjutnya Blumer mengatakan:

“Organisasi sosial adalah suatu kerangka dimana satuan-satuan yang bertindak itu mengembangkan tindakan-tindakannya. Segi-segi struktural seperti ‘kebudayaan’, ‘sistem-sistem sosial’, ‘stratifikasi sosial’ atau ‘peran-peran sosial’, membentuk kondisi-kondisi bagi tindakan mereka, tetapi tidak menentukan tindakan mereka.”

Berdasarkan penjelasan Blumer di atas, maka organisasi sosial cenderung relevan dengan perilaku karena diperhitungkan oleh individu dalam interpretasi subjektif mereka mengenai berbagai situasi sosial. Jadi, suatu organisasi tidak dapat bertahan dengan sendirinya, terlepas dari definisi subjektif individu. Apabila definisi seubjektif individu. Apabila definisi subjektif individu dan interpretasinya berubah dalam ukuran yang besar, hal ini akan menciptakan perubahan dalam organisasi tersebut.

Dalam pandangan George Herbert Mead (1934), tidak ada bentuk organisasi sosial yang final. Organisasi sosial memperlihatkan intelegensi manusia dan pilihannya. Dengan adanya kemampuan untuk menciptakan dan menggunakan symbol-simbol, maka individu dapat melampaui banyak batas yang muncul dari sifat biologisnya atau lingkungan fisiknya. (Johnson, 1990).

Sebagaimana halnya Weber, Mead mengemukakan bahwa organisasi-organisasi sosial dapat di dasarkan pada, baik hubungan-hubungan pribadi, maupun pada suatu komitmen terhadap suatu tujuan yang bersifat impersonal.

Suatu organisasi sosial yangdapat di dasarkan atau suatu komitmen terhadap suatu tujuan, otoritas serta hak-hak lain dan tanggung jawabnya, dialokasikan kepada individu-individu atas dasar keterampilan tekniknya yang relevan dengan tujuan bersama. Tipe organisasi inilah yang menurut yang lebih tinggi.

Berkaitan dengan Weber dan Mead, Etzioni mengatakan bahwa masyarakat modern, lebih mengutamakan rasionalitas, efektivitas dan efesiensi sebagai nilai-nilai moral yang tinggi. Peradaban modern, pada hakekatnya sangatbergantung pada organisasi-organisasi sebagai bentuk pengelompokkan sosial yang paling rasional dan efisien.

Dengan cara mengkoordinasikan sejumlah besar tindakan manusia, organisasi mampu menciptakan suatu alat sosial yang ampuh dan dapat diandalkan. Dalam suatu organisasi, terjadi penggabungan sumberdaya manusia dengan sumberdaya yang lainnya. Disini terjadi kepaduan antara pemimpin, anggota dan sarana fisik. Selain itu, koreksi atas fungsi organisasi, dan juga adaptasi terhadap berbagai perubahan, merupakan aktivitas yang dilakukan organisasi tersebut untuk mencapai tujuan yang diinginkan.

Bentuk dari suatu organisasi, ditandai dengan:

  1. Adanya pembagian dalam pekerjaan, kekuasaan, dan tanggungjawab komunikasi, yang sengaja direncanakan untuk lebih meningkatkan usaha dalam mewujudkan tujuan tertentu.
  2. Adanya satu atau beberapa pusat yang berfungsi mengawasi pengendalian usaha-usaha organisasi serta mengarahkan organisasi mencapai tujuannya.
  3. Penggantian tenaga; dalam hal ini tenaga atau anggota yang dianggap tidak bekerja sebagaimana yang diharapkan dapat diganti oleh tenaga atau anggota yang lain (Etzioni, 1985:4)

KOMUNIKASI DALAM ORGANISASI

Komunikasi adalah sebuah tindakan untuk berbagi informasi, gagasan atau pun pendapat dari setiap partisipan komunikasi yang terlibat didalamnya guna mencapai kesamaan makna.  Tindak komunikasi tersebut dapat dilakukan dalam berbagai konteks.  Salah satunya dalam konteks organisasi.

Komunikasi merupakan suatu peruses yang vital dalam kehidupan organisasi. Komunikasi merupakan “motor” yang menggerakkan kehidupan suatu organisasi, sehingga dengan adanya komunikasi yang baik adanya orang-orang yang berada dalam suatu organisasi, efektivitas organisasi bisa dijaga dan ditingkatkan. Komunikasi merupakan syarat untuk terjadinya kerjasama dan interaksi sosial antara orang perorang atau kelompok-kelompok manusia (Soekanto, 1976). Adanya komunikasi yang baik antara orang-orang dalam organisasi, merupakan hal yang mutlak dalam menjaga dan meningkatkan efektivitas organisasi. Denyer (1972) mengemukakan bahwa komunikasi dalam organisasi merupakan proses penyampaian informasi, seperti pesan, ide, perintah, saran,dan perasaan dari seseorang kepada orang lain yang memerlukan atau dipandang perlu untuk mengetahui. Loomis (1964) mengemukakan bahwa proses komunikasi adalah proses terjadinya penyampaian informasi, keputusan, perintah, diantara para pelaku dan cara dimana pengetahuan, pendapat dan sikap dibentuk ataun diperbaiki melalui interaksi.

Untuk mengukur efektif tidaknya proses komunikasi yang terjadi didalam suatu organisasi, maka dapat diketahui indikator-indikator:

  1. Tingkat keefektifan proses komunikasi yang terjadi,
  2. Tingkat keakuratan proses komunikasi yang terjadi,
  3. Tingkat ketepatan komunikasi dalam konteks waktu,
  4. Tingkat ketersediaan saluran-saluran untuk berlangsungnya komunikasi,
  5. Tingkat kelancaran komunikasi yang terjadi dari atas ke bawah,
  6. Tingkat kelancaran komunikasi yang terjadi dari bawah ke atas..

Tindak komunikasi dalam suatu organisasi berkaitan dengan pemahaman mengenai peristiwa komunikasi yang terjadi didalamnya, seperti apakah instruksi pimpinan sudah dilaksanakan dengan benar oleh karyawan atau pun bagaimana karyawan/bawahan mencoba menyampaikan keluhan kepada atasan, memungkinkan tujuan organisasi yang telah ditetapkan dapat tercapai sesuai dengan hasil yang diharapkan. Ini hanya satu contoh sederhana untuk memperlihatkan bahwa komunikasi merupakan aspek penting dalam suatu organisasi, baik organisasi yang mencari keuntungan ekonomi maupun organisasi yang bersifat sosial kemasyarakatan

TEORI KOMUNIKASI ORGANISASI

Griffin (2003) dalam A First Look at Communication Theory, membahas komunikasi organisasi mengikuti teori management klasik, yang menempatkan suatu bayaran pada daya produksi, presisi, dan efisiensi. Adapun prinsip-prinsip dari teori management klasikal adalah sebagai berikut:

  • Kesatuan komando– suatu karyawan hanya menerima pesan dari satu atasan
  • Rantai skalar– garis otoritas dari atasan ke bawahan, yang bergerak dari atas sampai ke bawah untuk organisasi; rantai ini, yang diakibatkan oleh prinsip kesatuan komando, harus digunakan sebagai suatu saluran untuk pengambilan keputusan dan komunikasi.
  • Divisi pekerjaan– manegement perlu arahan untuk mencapai suatu derajat tingkat spesialisasi yang dirancang untuk mencapai sasaran organisasi dengan suatu cara efisien.
  • Tanggung jawab dan otoritas– perhatian harus dibayarkan kepada hak untuk memberi order dan ke ketaatan seksama; suatu ketepatan keseimbangan antara tanggung jawab dan otoritas harus dicapai.
  • Disiplin– ketaatan, aplikasi, energi, perilaku, dan tanda rasa hormat yang keluar seturut kebiasaan dan aturan disetujui.
  • Mengebawahkan kepentingan individu dari kepentingan umum– melalui contoh peneguhan, persetujuan adil, dan pengawasan terus-menerus.

Selanjutnya, untuk lebih memahami organisasi, Griffin menyadur pendekatan perspektif teori yang mendasari komunikasi organisasi. Setidaknya ada lima perspektif pendekatan ada organisasi yaitu perspektif teori Scientific Management School (SMS), Teori Human Relations School (HRS), Teori Sistem, Teori Mutakhir, dan Teori Kultural. Yang menjadi fokus pembahasan disini adalah Teori Mutakhir dan Teori Kultural.

TEORI ORGANISASI MUTAKHIR

Teori ini memberikan perhatian penting pada aspek adaptasi terhadap lingkungan atau dinamika ‘dunia luar’. Teori ini beranggapan bahwa human relation saja tidak cukup, tapi organisasi juga harus bersifat adaptif. Organisasi tidak bisa eksis jika tidak memperhatikan perkembangan lingkungan di mana organisasi itu tumbuh. Bagaimana mungkin di zaman teknologi informasi yang demikian pesat dewasa ini, organisasi masih seperti ‘katak dalam tempurung’? Bagaimana mungkin kita berpikir paling hebat dan maju sementara di sekeliling kita tumbuh pesat organisasi atau perusahaan-perusahan sejenis yang tak kalah hebat?

Orang-orang dihadapkan pada banyak pilihan, sehingga kompetisi tak terhindarkan. Ketika Wings Group berpikir bahwa hanya dengan ‘bermain harga’ maka mereka bisa memenangkan persaingan pasar consumer goods, maka pesaingnya sudah berpikir jangka panjang bahwa perceived quality lebih penting untuk membangun loyalitas konsumen. Terbukti, ketika masyarakat mulai merasakan ‘akibat’ dari membeli produk murah, mereka mulai ‘pintar’ dengan tidak cuma menuntut harga murah, tapi juga kualitas. Karena itu, Wings Group mengubah strateginya dengan membangun brand relationship dan tidak Cuma ‘menyogok’ konsumen dengan harga murah semurah-murahnya. Perceived quality dibangun, brand activation digencarkan, sehingga kini Wings Group bertransformasi dari ‘perusahaan murahan’ menjadi ‘perusahaan yang patut diperhitungkan’.

Transformasi perusahaan atau organisasi merupakan muara dari adaptasi. Dan transformasi dimulai dari mengubah persepsi organisasi terhadap organisasi itu sendiri. Di sini, teori-teori mutakhir sangat relevan, antara lain Teori Pengorganisasian Weick.

Karl Weick (pelopor pendekatan sistem informasi) menganggap struktur hirarkhi, garis rantai komando komunikasi, prosedur operasi standar merupakan mungsuh dari inovasi. Ia melihat organisasi sebagai kehidupan organis yang harus terus menerus beradaptasi kepada suatu perubahan lingkungan dalam orde untuk mempertahankan hidup. Pengorganisasian merupakan proses memahami informasi yang samar-samar melalui pembuatan, pemilihan, dan penyimpanan informasi. Weick meyakini organisasi akan bertahan dan tumbuh subur hanya ketika anggota-anggotanya mengikutsertakan banyak kebebasan (free-flowing) dan komunikasi interaktif. Untuk itu, ketika dihadapkan pada situasi yang mengacaukan, manajer harus bertumpu pada komunikasi dari pada aturan-aturan.

  • TEORI WEICK TENTANG PENGORGANISASIAN

Teori Weick tentang pengorganisasian mempunyai arti penting dalam bidang komunikasi karena ia menggunakan komunikasi sebagai basis pengorganisasian manusia dan memberikan dasar logika untuk memahami bagaimana orang berorganisasi. Menurutnya, kegiatan-kegiatan pengorganisasian memenuhi fungsi pengurangan ketidakpastian dari informasi yang diterima dari lingkungan atau wilayah sekeliling. Ia menggunakan istilah ketidakjelasan untuk mengatakan ketidakpastian, atau keruwetan, kerancuan, dan kurangnya predictability. Semua informasi dari lingkungan sedikit banyak sifatnya tidak jelas, dan aktivitas-aktivitas pengorganisasian dirancang untuk mengurangi ketidakpastian atau ketidakjelasan.

Teori komunikasi organisasi yang sifanya paling subyektif adalah teori-teori yang digolongkan dalam teori mutakhir. Ketika berbicara tentang teori mutakhir ini kita berbicara tentang teori pengorganisasian. Kita akan membahas dua teori mutakhir yang mencermikan perubahan dalam pemikiran yang selama ini dianut oleh teori organisasi. Namun sebelumnya, seperti apakah organisasi dipandang dari perspektif yang berubah ini?

  1. Organisasi dipandang lebih rumit, dan usaha-usaha untuk mereduksi organisasi menjadi unsur-unsur dan proses-proses yang sederhana dipertanyakan. Organisasi cenderung mengembangkan suatu kultur yang rumit, dan memiliki karakteristik yang khas.
  2. Gagasan mengenai suatu keteraturan hukum alamiah dan hukum sosial diganti dengan gagasan mengenai banyak perangkat keteraturan dan interaksi di antara keteraturan-keteraturan tersebut. Organisasi terdiri dari beberapa perangkat keteraturan, dengan dinamika interaksi yang timbal balik dan terjadi pada saat yang sama.
  3. Organisasi dipandang kurang meyerupai istilah mesin dan lebih mirip metafora holograf untuk menemukan dinamika organisasi yang rumit. (Lincoln, 1985) mengatakan kekuatan metafora ini (holograf) mencakup setiap bagian kecil yang memuat informasi lengkap mengenai keseluruhan.
  4. Organisasi dan keadaan masa depannya dipandang lebih sulit diperkirakan dan dikendalikan dibandingkan dengan yang dinyatakan model-model teoritis terdahulu.
  5. Perilaku organisasi lebih cocok digambarkan dengan model sebab akibat  yang rumit (complex casual model) daripada model yang menekankan hubungan sebab akibat yang sederhana.
  6. Para pemerhati organisasi menunjukkan peningkatan minat dalam memikirkan berbagai cara memandang perilaku organisasi, dan penjelasan tentang hukum-dan-contoh menjadi dasar bagi mereka yang mementingkan interpretasi-dan-kasus.

ASUMSI TEORI WEICK

Teori Weick ini mengulas tentang pengorganisasian. Konsep Organisasi menurut Weick : “organisasi adalah kata benda, kata ini juga merupakan suatu mitos. Bila anda mencari organisasi, anda tidak akan menemukannya. Yang akan anda temukan adalah sejumlah peristiwa yang terjalin bersama-sama, yang berlangsung dalam kawasan nyata, urutan-urutan peristiwa tersebut, jalur-jalurnya dan pengaturan temponya merupakan bentuk-bentuk yang seringkali kita nyatakan secara tidak tepat jika kita membicarakan organisasi”.

Jelas fokusnya adalah pengorganisasian bukannya organisasi.  Proses pengorganisasian menghasilkan apa yang dinamakan organisasi. Jadi penekanannya terletak pada aktivitas dan proses.

Lantas dalam pandangan ini apakah organisasi punya struktur? Jika dalam perspektif obyektif, struktur organisasi terberikan atau sudah ada sejak awal, maka menurut teori ini (yang notabene berperspektif subyektif) organisasi tetap punya struktur. Tapi bagaimana organisasi bertindak dan bagaimana organisasi tersebut tampil, ditentukan oleh struktur yang ditetapkan oleh pola reguler dan perilaku yang saling bertautan.

Organisasi adalah suatu sistem penyesuaian dan menopang dirinya dengan mengurangi ketidakpastian yang dihadapinya. Ini merupakan suatu sistem mengenai ”perilaku-perilaku yang bertautan”. Perilaku-perilaku ini merupakan kunci bagi berfungsinya organisasi tersebut. Perilaku dikatakan saling bertautan bila perilaku seseorang bergantung kepada perilaku orang lain.

CIRI-CIRI PENTING PENGORGANISASIAN

Bila dalam teori terdahulu struktur dipandang sebagai hierarkhi, kebijakan dan rangcangan organisasi. Sedangkan Weick memandang struktur sebagai aktivitas dan lebih spesifik lagi, sebagai aktivitas komunikasi. Struktur organisasi ditentukan oleh perilaku yang saling bertautan.

Weick mengemukakan bahwa struktur ditandai oleh perilaku pengorganisasian. Komunikasi  tidak mencerminkan proses-proses penting. komunikasilah yang merupakan proses penting. Proses ini akan menghasilkan struktur.

Sehingga suatu sistem jelas bersifat manusiawi. Manusia tidak hanya menjalankan organisasi. Manusia merupakan organisasi tersebut. Manusia menghadapi lingkungan yang rumit dan seringkali tidak menentu, yang menurut Weick dijadikan alasan untuk pengorganisasian.

Anggota organisasi tidak hanya bereaksi terhadap sesuatu, tapi juga berkreasi, menciptakan. Mereka ”membuat” lingkungan tersebut dibangun oleh masyarakat melalui interaksi dan penciptaan makna.

Pengorganisasian menurut Weick adalah suatu gramatikal yang disahkan secara mufakat untuk mengurangi ketidakjelasan dengan menggunakan perilaku-perilaku bijaksana yang bertahan. Gramatikal dapat diartikan kesesuaian atas sejumlah aturan dan konvensi atau kesepakatan. Konvensi ini membuat dasar untuk menafsirkan apa yang akan atau telah dilaksanakan organisasi. Konvensi ini membuat mereka memiliki panduan untuk melakukan tugas mereka.

Pengorganisasian membantu mengurangi ketidakpastian tentang informasi yang diperoleh para anggota organisasi ketika mereka mencoba membuat keputusan untuk keselamatan dan keberhasilan organisasi. Organisasi hadir ditengah-tengah kita karena kegiatan pengorganisasian penting untuk mencegah kerancuan dan ketidakpastian yang dihadapi manusia. Organisasilah yang harus menangani ketidakjelasan dengan memberikan makna-makna pada peristiwa-peristiwa yang terjadi.

Ciri yang lain dalam perngorganisasian adalah perilaku pengorganisasian. Weick memberikan istilah ”interaksi ganda”. A berkomunikasi dengan B, dan B memberikan respon pada A dan A-B melakukan penyesuaian atau saling memberikan respon. Jenis kegiatan komunikasi yang khas ini membentuk basis pengorganisasian. Perilaku komunikasi yang saling bertautan ini menyebabkan organisasi mampu memproses informasi. Organisasi menggunakan sejumlah aturan dalam sistem, sehingga mempermudah memproses informasi. Sehingga dengan Siklus komunikasi ini (interaksi ganda) membantu mengurangi ketidakpastian yang dihadapi anggota organisasi.

PROSES PENGORGANISASIAN

Ada 3 tahap utama dalam proses pengorganisasian:

  1. 1. Tahap pemeranan

Pemeranan menghimpun sesuatu bagian dari sejumlah pengalaman untuk diperhatikan lebih lanjut. Atau tahap pemeranan secara sederhana berarti bahwa para anggota organisasi menciptakan ulang lingkungan mereka dengan menentukan dan merundingkan makna khusus bagi suatu peristiwa

  1. 2. Tahap seleksi

Seleksi memasukkan seperangkat penafsiran ke bagian yang dihimpun. Aturan-aturan atau siklus komunikasi yang digunakan untuk menentukan pengurangan yang sesuai dalam ketidakjelasan)

  1. 3. Tahap retensi

Penyimpanan segmen-segmen yang sudah diinterpretasikan untuk pemakaian masa mendatangkan. Memungkinkan organisasi untuk menyimpan informasi mengenai cara organisasi memberi respon dalam berbagai situasi. Strategi-strategi yang berhasil menjadi peraturan yang dapat diterapkan pada masa mendatang

Berbagai tahap tersebut saling mempengaruhi satu sama lainnya. Misalnya pengetahuan retensi dapat memandu organisasi dalam proses-proses pemeranana dan seleksi organisasi tersebut.

Dalam sistem yang dipahami Weick, benda-benda dalam keadaan berubah terus menerus (evolusi). Perubahan lebih merupakan norma dibandingkan dengan stabilitas. Proses pengorganisasian pun mengalami proses adaptasi tersebut.

Mempelajari organsisasi adalah mempelajari pengorgansisasian, dan inti perilaku tersebut adalah komunikasi. Organisasi berbicara agar menjadi tahu. Untuk mengetahui apa yang difikirkan organisasi, penting sekali memeriksa perilaku yang saling bertautan (interaksi ganda) diantara para anggota organsisasi.

Teori Weick mengenai pengorganisasian menentang cara berfikir yang diterima apa adanya dan memungkinkan kita untuk melihat pentingnya pandangan subyektif tentang dunia.

SIFAT ORGANISASI

Pandangan Weick mengenai organisasi menimbulkan pentanyaan mengenai eksistensi dan bahkan hasrat atas hadirnya suatu sistem yang rasional, tujuannya terarah, dan sistematis (berurut seacara tepat).

Menurut teori-teori terdahulu, dalam suatu organisasi yang rasional, suatu masalah dapat dilihat dan didefinisikan, pemcahannya yang dapat dibuat lebih cermat, dan pemilihan terbaik dapat dipilih. Asumsi dasarnya adalah pikiran mendahului tindakan.

Weick menegaskan bahwa organisasi berbicara pada diri mereka sendiri dengan tujuan menjernihkan lingkungan mereka dan mempelajarinya lebih jauh lagi. Organisasi memeriksa ulang langkah-langkah awal mereka yang semula dibuat sebagai pengantar agar dapat dipahami.  Weick menambahkan bahwa dalam diskusi-diskusi mutahir mengenai organisasi ”rasionalitas” dipandang:

  1. Sebagai sebuah himpunan resep yang berupa bila isu berubah
  2. Sebagai dalih untuk menarik minat sumber daya dan legitimasi
  3. Sebagai suatu proses pascatindakan yang digunakan secara retrospektif untuk menentukan alasan atas tindakan tersebut.

Weick menyajikan analogi  yang menggambarkan nilai perilaku yang mungkin tidak sesuai dengan teori-teori tradisional. Bayangkan sebuah wadah tembus pandang yang di dalamnya terdapat sejumlah lalat dan lebah. Bila wadah diletakkan di depan jendela dan seberkas sinar matahari menerpanya, perilaku lalat dan lebah berbeda. Lebah mengumpul (bergerak secara berpola) kearah sinar matahari meskipun matahari semakin terik. Sementara itu, lalat-lalat mendengung berputar-putar menabrak dinding wadah, bahkan akhirnya melarikan diri dari sengatan matahari melalui mulut wadah. Lebah-lebah tersebut kurang beruntung, mereka gagal melakukanberbagai pencarian atau berperilaku sembarangan (tidak berpola) yang sebenarnya amat diperlukan dalam kasus ini.

Kemampuan organisasi untuk bervariasi, yang dapat disebut perilaku sembarang, seringkali amat berguna untuk mempertahankan kelangsungannya. Ini tidak berarti bahwa tidak ada keteraturan. ”organisasi dapat berupa anarki, tapi anarki yang diorganisasikan. Organisasi dapat berupa rangkaian longgar, tapi longgar ada dalam suatu sistem. Organisasi dapat melakukan pengambilan keputusan sembarangan, tetapi berdasarkan batas-batas yang membentuk suatu struktur’ (Weick,1985).

IMPLIKASI BAGI KOMUNIKASI ORGANISASI

Mempelajari organisasi adalah mempelajari perilaku pengorganisasian, dan inti perilaku tersebut adalah komunikasi. Organisasi berbicara agar menjadi tahu; pembicaraan merupakan intelegensi dan kemampuan penyesuaian organisasi. Untuk mengetahui apa yang dipikirkan organisasi, penting sekali memeriksa perilaku-perilaku yang bertautan (interaksi ganda) di antara para anggota organisasi tersebut. Apa yang dibicarakan orang-orang dan yang disahkan di antara sesama mereka menghasilkan suatu lingkungan yang mengorganisasikan aktivitas mereka, terutama pikiran mereka.

Menurut Weick, orang-orang memahami sesuatu melalui pengalaman dengan bantuan pemutusan (punctuation) dan penyatuan (connection). Pemutusan berarti memotong kumpulan pengalaman menjadi satuan-satuan yang pantas, dapat dinamai dan tindakan penyatuan meliputi menentukan hubungan-hubungan, khususnya hubungan-hubungan kausal di antara komponen-komponen yang terputus.

Weick memandang pengorganisasian sebagai proses evolusioner yang bersandar pada sebuah rangkaian tiga proses:

  • Penentuan (enachment)
  • Seleksi (selection)
  • Penyimpanan (retention)

Penentuan adalah pendefinisian situasi, atau mengumpulkan informasi yang tidak jelas dari luar. Ini merupakan perhatian pada rangsangan dan pengakuan bahwa ada ketidakjelasan. Seleksi, proses ini memungkinkan kelompok untuk menerima aspek-aspek tertentu dan menolak aspek-aspek lainnya dari informasi. Ini mempersempit bidang, dengan menghilangkan alternatif-alternatif yang tidak ingin dihadapi oleh organisasi. Proses ini akan menghilangkan lebih banyak ketidakjelasan dari informasi awal. Penyimpanan yaitu proses menyimpan aspek-aspek tertentu yang akan digunakan pada masa mendatang. Informasi yang dipertahankan diintegrasikan ke dalam kumpulan informasi yang sudah ada yang menjadi dasar bagi beroperasinya organisasinya.

Setelah dilakukan penyimpanan, para anggota organisasi menghadapi sebuah masalah pemilihan. Yaitu menjawab pertanyaan-pertanyaan berkenaan dengan kebijakan organisasi. Misal, ”haruskah kami mengambil tindakan berbeda dari apa yang telah kami lakukan sebelumnya?”

Teori ini membuat kita mempercayai bahwa organisasi bergerak dari proses pengorganisasian ke proses lain dengan cara yang sudah tertentu: penentuan; seleksi; penyimpanan; dan pemilihan. Bukan begitu halnya. Sub-subkelompok individual dalam organisasi terus menerus melakukan kegiatan di dalam proses-proses ini untuk menemukan aspek-aspek lainnya dari lingkungan. Meskipun segmen-segmen tertentu dari organisasi mungkin mengkhususkan pada satu atau lebih dari proses-proses organisasi, hampir semua orang terlibat dalam setiap bagian setiap saat. Pendek kata di dalam organisasi terdapat siklus perilaku.

Siklus perilaku adalah kumpulan-kumpulan perilaku yang saling bersambungan yang memungkinkan kelompok untuk mencapai pemahaman tentang pengertian-pengertian apa yang harus dimasukkan dan apa yang ditolak. Di dalam siklus perilaku, tindakan-tindakan anggota dikendalikan oleh aturan-aturan berkumpul yang memandu pilihan-pilihan rutinitas yang digunakan untuk menyelesaikan proses yang tengah dilaksanakan (penentuan, seleksi, atau penyimpanan).

Contoh dari implikasi teori ini adalah misalnya transformasi perusahaan atau organisasi yang merupakan muara dari adaptasi. Dan transformasi dimulai dari mengubah persepsi organisasi terhadap organisasi itu sendiri. Di sini, teori-teori mutakhir sangat relevan, antara lain Teori Pengorganisasian Wick. Contoh penerapan teori ini adalah perusahaan-perusahaan go public bahkan go internasional. Lenovo, sebuah perusahaan komputer China, Lenovo hanya sebuah liliput dengan kultur perusahaan keluarga yang kental. Ketika Lenovo mengubah kultur perusahaan menjadi lebih terbuka, perusahaan ini bertransformasi menjadi perusahaan raksasa, bahkan sanggup ’melahap’ perusahaan raksasa lain pesaingnya dari Amerika, yakni IBM. Kini Lenovo bukan lagi ’milik China’ apalagi cuma sekadar perusahaan kecil milik keluarga. Lenovo telah menjadi ’milik dunia’ yang mampu bersaing di kancah internasional.

Demikianlah pembahasan tentang konsep-konsep dasar dari teori Weick, yaitu: lingkungan; ketidakjelasan; penentuan; seleksi; penyimpanan; masalah pemilihan; siklus perilaku; dan aturan-aturan berkumpul, yang semuanya memberi kontribusi pada pengurangan ketidakjelasan.

TEORI KULTURAL ORGANISASI

Asumsi interaksi simbolik mengatakan bahwa manusia bertindak tentang sesuatu berdasarkan pada pemaknaan yang mereka miliki tentang sesuatu itu. Mendapat dorongan besar dari antropolog Clifford Geertz, ahli teori dan ethnografi, peneliti budaya yang melihat makna bersama yang unik adalah ditentukan organisasi. Organisasi dipandang sebagai budaya. Suatu organisasi merupakan sebuah cara hidup (way of live) bagi para anggotanya, membentuk sebuah realita bersama yang membedakannya dari budaya-budaya lainnya.

Pacanowsky dan para teoris interpretatif lainnya menganggap bahwa budaya bukan sesuatu yang dipunyai oleh sebuah organisasi, tetapi budaya adalah sesuatu suatu organisasi. budaya organisasi dihasilkan melalui interaksi dari anggota-anggotanya. Tindakan-tindakan yang berorientasi tugas tidak hanya mencapai sasaran-sasaran jangka pendek tetapi juga menciptakan atau memperkuat cara-cara yang lain selain perilaku tugas ”resmi” dari para karyawan, karena aktivitas-aktivitas sehari-hari yang paling membumi juga memberi kontribusi bagi budaya tersebut.

Pendekatan ini mengkaji cara individu-individu menggunakan cerita-cerita, ritual, simbol-simbol, dan tipe-tipe aktivitas lainnya untuk memproduksi dan mereproduksi seperangkat pemahaman.

Corporate culture (Deal & Kennedy, 1982) membahas bagaimana kandungan budaya—nilai-nilai, lambang, dan ritual—dapat berpengaruh terhadap kinerja keseluruhan perusahaan.  Masih pada 1982, Peters & Waterman menyajikan In Search of Excellent; di dalamnya mereka membahas sifat-sifat organisasi yang telah mencapai keunggulan. Mereka mengidentifikasi tema-tema utama yang dapat diterapkan pada organisasi yang sedang dikaji. Tema-tema ini dapat dipandang bersifat kultural dalam arti mewakili nilai-nilai organisasi. Memasuki 1990an, perusahaan-perusahaan menghadapi persaingan global dan kemungkinan perubahan nilai para anggota dan client.

KONSEP BUDAYA ORGANISASI

Perspektif budaya secara luas yang diterapkan pada situasi organisasi meliputi:

  1. Perspektif holistik, memandang budaya sebagai cara-cara terpola mengenai berpikir, menggunakan perasaan, dan bereaksi.
  1. Perspektif variabel, berpusat pada pengekspresian budaya. Menurut Smircich  dan Calas (1987) menyatakan bahwa budaya dapat diujui sebagai sebuah variabel atau suatu metafora dasar (root metaphor). Bila dipandang sebagai sautu variabel eksternal, budaya adalah sesuatu yang dibawa masuk ke dalam organisasi. Bila dibatasi sebagai suatu variabel internal, penekanannya diletakkan pada wujud-wujud budaya (ritual, kisah, dll) yang dikembangkan dalam organisasi.
  1. Perspektif kognitif, memberi penekanan pada gagasan konsep, keyakinan, nilai-nilai, dan norma-norma, ’pengetahuan yang diorganisasikan’ yang ada dalam pikiran orang-orang untuk memahami realitas. Sackmann (1991) mengikuti tradisi perspektif kognitif dalam konsepnya sendiri mengenai budaya dalam organisasi. Ia menggabungkan perangkat-perangkat pembangun kognitif yang mempengaruhi persepsi, pikiran, perasaan, dan tindakan dengan suatu perspektif pengembangan yang memperhatikan pembentukan dan perubahan kognisi-kognisi budaya. Kognisi menjadi pegangan bersama dalam proses interaksi sosial.

Secara umum, bila orang-orang berinteraksi selama beberapa waktu, mereka membentuk suatu budaya. Setiap budaya mengembangkan harapan-harapan yang tertulis maupun yang tidak tertulis tentang perilaku (aturan dan norma-norma) yang mempengaruhi anggota-aggota budaya itu.

Tetapi orang tidak hanya dipengaruhi budaya tersebut, mereka menciptakan budaya. Setiap organisasi memiliki satu atau lebih budaya yang memuat perilaku-perilaku yang diharapkan—tertulis atau tidak tertulis–.

Implisit dalam konsep budaya adalah suatu apresiasi tentang cara organisasi dibentuk oleh perangkat-perangkat khas nilai, ritus, dan kepribadian. Louis (1985) menyatakan bahwa budaya suatu kelompok dapat digolongkan sebagai ”seperangkat pemahaman atau makna yang dimiliki bersama oleh kelompok orang. Makna tersebut pada dasarnya diakui secara diam-diam oleh para anggotanya, jelas relevan bagi kelompok tertentu, dan khusus untuk kelompok tersebut”. Dengan demikian, budaya meliputi interaksi selama beberapa waktu, harapan-harapan perilaku, membentuk dan dibentuk, sifat-sifat khas yang memisahkan sebuah budaya dengan budaya lainnya, dan seperangkat makna/logika yang memungkinkan aksi kelompok.

Bagaimana budaya organisasi didefinisikan? Salah satu caranya adalah dengan menganggap organisasi itu terbuat dari ”benda”, atau artifak-artifak budaya (cultural artifacts), kisah-kisah, dan ritual. Bila budaya organisasi dianggap sebagai suatu pembentukan pemahaman, maka budaya organisasi ini diidentifikasi melalui proses pembentukan pemahaman, dan perlaku-perilaku simbolik menjadi fokus perhatian.

Mendengarkan apa yang dikatakan orang menjadi sesuatu yang perlu agar dapat melihat apa makna pengalaman mereka. Dalam hal ini Smircich berpendapat bahwa budaya bukan sekedar sesuatu yang dimiliki organisasi (artifak, struktur), tetapi juga sesuatu yang merupakan organisasi (proses, pemahaman).

Budaya organisasi bukan milik manajemen tapi milik semua anggota organisasi. Analisis budaya tidak menekankan pada apa yang harus terjadi dari perspektif manajemen tapi apa yang benar-benar terjadi. Budaya organisasi dapat eksis dalam setiap organisasi yang dapat berarti berbagai kelompok. Besar kecilnya organisasi tidak dipersoalkan, yang penting aktivitas pengorganisasian. Budaya bukan anugerah yang harus diterima begitu saja. Budaya harus ditemukan melalui pandanganorang-orang yang membentuknya. Budaya bukan sesuatu yang konkrit, tapi merupakan perilaku-perilaku yang muncul—yang mebentuk dan menyokong pola-pola yang dapat disebut budaya.

Dapatkah budaya dikelola? Jawabannya sangat tergantung pada definisi seseorang mengenai budaya, sifat proses atau perubahannya, dan kondisi yang mendasari perubahan atau proses pengelolaannya. Kaum pragmatis budaya umumnya memandang budaya sebagai suatu kunci ke arah komitmen, produktivitas, dan kemampuan memperoleh manfaat. Mereka menyatakan bahwa budaya dapat–seharusnya dan pernah–di kelola.

Adapula yang tergabung dalam para pencinta budaya menganggap budaya tidak dapat dikelola, budaya muncul begitu saja. Para pemimpin tidak menghasilkan budaya, para anggota budayalah yang menciptakan budaya. Budaya adalah suatu ekspresi kebutuhan manusia yang paling mendalam, suatu alat pencerahan pengalaman manusia dengan makna (Martin, 1985).

IMPLIKASI BAGI KOMUNIKASI ORGANISASI

Peranan komunikasi dalam budaya organisasi dapat dilihat secara berlainan bergantung pada bagaimana budaya dikonsepsikan.

Bila budaya dianggap sebagai sebuah himpunan artifak simbolik yang dikomunikasikan kepada anggota organisasi untuk pengendalian organisasi, maka komunikasi dapat diartikan sebagai sebuah sarana yang memungkinkan perolehan hasilnya.

Bila budaya ditafsirkan sebagai pembentukan pemahaman, proses komunikasi itu sendiri menjadi pusat perhatian utama karena proses inilah yang merupakan pembentukan makna tersebut.

DAFTAR PUSTAKA

Griffin Emory A. 2003. A First Look at Communication Theory. Singapore: McGraw-Hill.

Devito, A. Joseph. 1997. Komunikasi Antarmanusia Kuliah Dasar ed.5. Jakarta: Professional Books.

Uchjana, Onong. 2007. Ilmu Komunikasi: Teori dan Praktek. Bandung: PT Remaja Rosda Karya.


by: A.C.S.

 

A. Pengertian

Ditelik dari asal katanya, kata manajemen atau management dalam Bahasa Inggris berasal dari kata Italia, maneggiare yang kurang lebih berarti menangani atau to handle. Dalam bahasa latin ada kata yang punya pengertian hampir sama yakni manus yang artinya tangan atau menangani.
Sementara berbicara tentang definisi, layaknya istilah-istilah lain dalam kajian Ilmu Sosial,

Manajemen juga memiliki sejumlah definisi yang diberikan para ahli

Berikut dikemukakan satu definisi yang diungkapkan oleh GR Terry:
Manajemen merupakan sebuah proses yang khas, yang terdiri dari tindakan-tindakan: Perencanaan, Pengorganisasian, Penggiatan dan Pengawasan yang dilakukan untuk menentukan serta mencapai sasaran-sasaran yang telah ditetapkan melalui pemanfaatan sumber daya manusia dan sumber-sumber lainnya.

Pengertian lain manajemen adalah sebuah proses yang dilakukan untuk mewujudkan tujuan organisasi melalui serangkaian kegiatan berupa Perencanaan, Pengorganisasian, Pengarahan dan Pengendalian orang-orang serta sumber daya organisasi lainnya.
3 faktor yang terlibat dalam proses penyelesaian:
1.Adanya penggunaan sumber daya organisasi (SDM, SDA, SDD, SDI)
2.Adanya proses yang bertahap (perencanaan, pengorganisasian, pengarahan dan pengendalian)
3.Adanya seni dalam menyelesaikan pekerjaan

Peran Manajer Dalam Organisasi adalah Efektif dan Efisien
Manajemen diperlukan agar tujuan organisasi dapat dicapai secara efektif dan efisien. Efektif menurut Peter F. Drucker adalah “mengerjakan pekerjaan yang benar”. Sedangkan Efisien adalah “mengerjakan pekerjaan dengan benar”.
Agar manajemen yang dilakukan mengarah kepada kegiatan bisnis secara efektif dan efisien, maka manajemen perlu dijelaskan berdasarkan fungsi fungsinya/dikenal sebagai fungsi-fungsi manajemen (fungsi perencanaan, pengorganisasian pengimplementasian, serta pengendalian dan pengawasan).

Disamping pengertian dan definisi manajemen yang sudah diuraikan tadi, McFarland, 1979 juga mengemukakan empat pengertian manajemen yang biasa digunakan dalam kehidupan sehari-hari:
1.proses-proses pengorganisasian; yakni perencanaan, pengorganisasian, pengarahan, penggiatan dan pengevaluasian.
2.Kata manajemen juga berarti karir atau jabatan
3.Kata manajemen juga dapat berarti kelompok orang yang bertanggungjawab dalam menjalankan sebuah organisasi.
4.Kata manajemen juga dapat merupakan sebuah ilmu atau seni untuk mengatur orang lain.

 

B. Fungsi-fungsi Dasar Manajemen

Pada intinya fungsi-fungsi manajemen meliputi fungsi Perencanaan, Pelaksanaan dan Evaluasi. Namun dalam pelaksanaannya fungsi-fungsi dasar tersebut bisa dikembangkan secara fleksibel sesuai kebutuhan organisasi.

Berikut adalah fungsi-fungsi manajemen yang dikemukakan oleh Dessler, 1996:
1.Planning. Meliputi penentuan tujuan, tindakan, pengembangan aturan dan prosedur-prosedur, pengembangan rencana dan melakukan prediksi.
2.Organizing. Meliputi pemberian tugas, bagian-bagian, pendelegasian wewenang, mengkoordinir pekerjaan
3.Staffing, meliputi rekruitmen karyawan, pelatihan dan pengembangan
4.Leading, mencakup pemberian perintah, menjaga motivasi dan semangat kerja karyawan
5.Controlling, menentukan standar, melakukan perbaikan bila diperlukan.

Fungsi-fungsi manajemen diperlukan agar keseluruhan sumber daya organisasi dapat dikelola dan dipergunakan secara efektif dan efisien sehingga tujuan organisasi dapat tercapai.

Kegiatan-kegiatan dalam fungsi Manajemen

A.  Fungsi Perencanaan (Planning)
1.Menetapkan tujuan dan target bisnis
2.Merumusakan strategi untuk mencapai tujuan dan target bisnis tersebut
3.Menentukan sumber-sumber daya yang diperlukan
4.Menetapkan standar atau indikator keberhasilan dalam pencapaian tujuan dan target bisnis.

B.  Fungsi Pengorganisasian (Organizing)
1.Mengalokasikan sumber daya, merumuskan dan menetapkan tugas dan menetapkan prosedur yang diperlukan
2.Menetapkan struktur organisasi yang menunjukkan adanya garis kewenangan dan tanggung jawab
3. Kegiatan penempatan SDM pada posisi yang tepat.

C.  Fungsi Pengimplementasian (Directing)
1.Mengimplementasikan proses kepemimpinan, pembimbingan dan pemberian motivasi kepada tenaga kerja agar dapat bekerja secara efektif dan efisien dalam pencapaian tujuan
2.Memberikan tugas dan penjelasan rutin mengenai pekerjaan
3. Menjelaskan kebijakan yang ditetapkan.

D.  Fungsi Pengawasan (Controlling)
Mengevaluasi keberhasilan dalam pencapaian tujuan dan target bisnis sesuai dengan indikator yang telah ditetapkan
Mengambil langkah klarifikasi dan koreksi atas penyimpangan yang mungkin ditemukan
Melakukan berbagai alternatif solusi atas berbagai masalah yang terkait dengan pencapaian tujuan dan target bisnis.

 

Fungsi Operasional dari Manajemen:
Pada pelaksanaannya, fungsi-fungsi manajemen yang dijalankan menurut tahapan tertentu akan sangat berbeda-beda jika didasarkan pada fungsi operasionalnya, belum lagi dilihat dari jenis organisasinya.
Berdasarkan operasionalnya, manajemen organisasi bisnis dapat dibedakan secara garis besar menjadi fungsi-fungsi:

  1. 1. Manajemen Sumber Daya Manusia
    Adalah penerapan manajemen berdasarkan fungsinya untuk memperoleh SDM yang kita jalankan & bagaimana SDM yang terbaik tersebut dapat terpelihara & tetap bekerja bersama kita dengan baik.
    2.Manajemen produksi
    Adalah penerapan manajemen berdasarkan fungsinya untuk menghasilkan produk yang sesuai dengan standar yang ditetapkan berdasarkan keinginan konsumen, dengan teknik produksi yang se-efesien mungkin.
    3. Manajemen pemasaran
    Adalah kegiatan manajemen berdasarkan fungsinya yang pada intinya berusaha untuk mengidentifikasi apa yang sesungguhnya dibutuhkan oleh konsumen, & bagaimana cara pemenuhannya dapat diwujudkan.
    4. Manajemen keuangan
    Adalah kegiatan manajemen berdasarkan fungsinya yang pada intinya memastikan bahwa kegiatan bisnis yang dilakukan mampu mencapai tujuannya secara ekonomis, yaitu diukur secarra profit.
    5. Manajemen informasi
    Adalah kegiatan manajemen berdasarkan fungsinya yang pada intinya berusaha memastikan bahwa bisnis yang berjalan tetap mampu untuk terus bertahan dalam jangka panjang.

 

PERAN MANAGER DALAM PROSES MANAGEMENT

Setiap perusahaan memiliki manajemen yang memegang berbagai peranan penting yang menentukan keberhasilan dalam mencapai tujuan yang telah ditetapkan untuk diwujudkan bersama. Ada banyak peran yang harus dimainkan / diperankan para manajer secara seimbang sehingga diperlukan orang-orang yang tepat untuk menjalankan peran-peran tersebut.
Manajemen yang baik haruslah berperan sesuai dengan situasi dan kondisi pada perusahaan atau organisasi. Menajemen yang tidak bisa menjalankan peran sesuai tuntutan perusahaan dapat membawa kegagalan.

Berikut ini adalah Peranan Manajemen yang harus diperankan para Manajer :

1. Peran Interpersonal
Yaitu hubungan antara manajer dengan orang yang ada di sekelilingnya, meliputi ;
– Figurehead / Pemimpin Simbol : Sebagai simbol dalam acara-acara perusahaan.
– Leader / Pemimpin : Menjadi pemimpin yag memberi motivasi para karyawan / bawahan  serta mengatasi permasalahan yang muncul.
– Liaison / Penghubung : Menjadi penghubung dengan pihak internal maupun eksternal.

2. Peran Informasi
Adalah peran dalam mengatur informasi yang dimiliki baik yang berasal dari dalam maupun luar organisasi, meliputi ;
– Monitor / Pemantau : Mengawasi, memantau, mengikuti, mengumpulkan dan merekam kejadian atau peristiwa yang terjadi baik didapat secara langsung maupun tidak langsung.
– Disseminator / Penyebar : Menyebar informasi yang didapat kepada para orang-orang dalam organisasi.
– Spokeperson / Juru Bicara : Mewakili unit yang dipimpinnya kepada pihak luar.

3. Peran Pengambil Keputusan
Adalah peran dalam membuat keputusan baik yang ditentukan sendiri maupun yang dihasilkan bersama pihak lain, meliputi ;
– Entrepreneur / Kewirausahaan : Membuat ide dan kreasi yang kreatif dan inovatif untuk meningkatkan kinerja unit kerja.
– Disturbance Handler / Penyelesai Permasalahan : Mencari jalan keluar dan solusi terbaik dari setiap persoalan yang timbul.
– Resource Allicator / Pengalokasi Sumber Daya : Menentukan siapa yang menerima sumber daya serta besar sumber dayanya.
– Negotiator / Negosiator : Melakukan negosiasi dengan pihak dalam dan luar untuk kepentingan unit kerja atau perusahaan.

 

DASAR KETERAMPILAN MANAJER
Seorang manajer harus memiliki dan mampu mengembangkan ketrampilan Teknis, Hubungan Manusia, Konseptual dan Pengambilan Keputusan serta Pengelolaan Waktu.
1. Ketrampilan Teknis
Ketrampilan yang diperlukan untuk melakukan tugas khusus.
2. Ketrampilan Hubungan Manusia
Ketrampilan untuk memahami dan bekerjasama dengan orang lain
3. Ketrampilan Konseptual
Ketrampilan terkait dengan kemampuan untuk berpikir pada hal-hal yang abstrak, mendiagnosis dan menganalisis situasi yang berbeda dan memandang jauh kedepan.
4. Ketrampilan Pengambilan Keputusan
Kemampuan dalam identifikasi masalah, dan menentukan langkah terbaik untuk menyelesaikan masalah.
5. Ketrampilan Pengelolaan Waktu
Ketrampilan yang berkaitan dengan pemanfaatan waktu secara produktif.

 

TIPE-TIPE MANAJER

Tingkatan Manajer:

  • Top Manager

Manajer yang bertanggung jawab pada dewan direksi dan pemegang saham atas keseluruhan kinerja dan aktivitas perusahaan.

  • Middle Manager

Manajer yang bertanggung jawab pada pengimplementasian strategi kebijakan dan keputusan yang dibuat oleh manajer puncak.

  • Low Manager

Manajer yang bertanggung jawab langsung atas pekerjaan karyawan (supervisi)

  • Bidang-Bidang Manajemen
  • Non-managerial Employees

 

Source

F.Drucker’s, Peter  Practice and Principles (New York, 1990);

Magretta, Joan What Is Management (New York 2002);

Griffin, R W & Elbert, R J  Bussines Essential 6th Edition (New Jersey 2002);

Hellriegel, Don & Jackson, Susan E., Slocum, John W. Management-A Competency-based approach 10th Edition (2005)


PEMIKIRAN

by: A.C.S.


Pengertian Pemikiran

Pemikiran adalah aksi (act) yang menyebabkan pikiran mendapatkan pengertian baru dengan perantara hal yang sudah diketahui. Yang beraksi dalam pemikiran, bukan hanya pikiran atau akal budi saja tetapi sesungguhnya manusia secara keseluruhan. Proses pemikiran adalah suatu pergerakan mental dari satu hal menuju hal lain, dari proposisi satu ke proposisi ke proposisi lainnya dari apa yang sudah diketahui kdqre hal yang yang belum diketahui.

Pembagian Pemikiran

Cara pemikiran dibagi menjadi dua, yaitu pemikiran secara langsung dan pemikiran secara tidak langsung.

  • Pemikiran Langsung

Secara subjektif, pemikiran langsung (inferensi langsung) adalah suatu proses pikiran dimana kita berpikir dari suatu proposisi ke proposisi lain tanpa pertolongan proposisi ketiga. Dalam pemikiran langsung sebenarnya tidak terdapat pergerakan maju, sebab di dalamnya hanya terdapat dua cara yang berbeda dalam mengatakan hal yang sama. Pemikiran langsung dapat terjadi dalam berbagai macam, yaitu :

a)      Opisisi

Oposisi terdapat antara dua proposisi yang mempunyai term-term yang sama, tetapi berbeda dalam kedua-duanya. Oposisi adalah deduksi dari sebuah premis dengan mengubah kualitasnya atau kuantitasnya atau dengan mengubah kedua-duanya. Oposisi  terbagi menjadi empat bagian yaitu :

–          Oposisi Kontradiktoris

Terdapat antara dua proposisi yang berbeda dalam kuantitas dan kualitas.

Hukumnya : Apabila yang satu benar, yang lain palsu ; apabila yag satu palsu , yang lain benar.

–          Oposisi Kontraris

Terdapat antara dua buah proposisi universal yang berbeda dalam kualitas.

Hukumnya : Apabila yang satu benar, yang lain palsu ; tetapi tidak sebaliknya. Maka apabila yang satu palsu, yang lain dapat juga palsu.

–          Oposisi Subalterna

Terdapat antara dua buah proposisi yang berbeda hanya dalam kuantitas.

Hukumnya :

(1)   Apabila proposisi universal benar, proposisi partikular juga benar; tetapi tidak sebaliknya.

(2)   Apabila proposisi partikular palsu (salah), maka proposisi universal juga palsu (salah); tetapi tidak sebaliknya.

–          Oposisi Subkontratis

Terdapat antara dua buah proposisi particular yang berbeda dalam kualitas.

Hukumnya : Apabila yang satu palsu, yang lain benar, tetapi tidak sebaliknya. Maka, apabila yang satu benar, yang lain dapat juga benar.

b)      Konversi

Konversi adalah proses melalui mana kita menukar subjek dan predikat sebuah proposisi tanpa mengubah kebenarannya. Konversi adalah deduksi dari suatu premis melalui transposisi subjek dan objek. Konversi dibagi menjadi :

–          Konversi Bersahaja

Subjek dan predikat ditukar tanpa mengubah ekstensi subjek dan predikat tersebut. Dalam konversi bersahaja kuantitas premis dipertahankan. Misalnya: Beberapa mahasiswa pandai-beberapa yang pandai adalah mahasiswa; beberapa orang Indonesia adalah bangsat – beberapa bangsat adalah orang Indonesia. Hanya proposisi E dan I yang dapat mengalami konversi bersahaja. Akan tetapi konversi bersahaja juga dapat dilakukan pada proposisi A yang mengungkapkan definisi utuh; misalnya: Semua manusia adalah hewan berakal budi – semua hewan yang berakal budi adalah manusia.

 

–           Konversi Aksidental

Subjek predikat ditukarkan, tetapi ekstensi (lingkungan) salah satu daripadanya dikurangi (biasanya dengan mengurangi kuantitas premis); misalnya: semua jaksa adalah manusia.

–          Beberapa manusia adalah jaksa.

Konversi dan semacam itu diizinkan pada proposisi-proposisi A dan E. ada juga kemungkinan ketiga, tetapi oleh karena tidak bernilai praktis, maka kita lewatkan saja!

 

c.   Obversi

Obverse adalah suatu bentuk penyimpulan langsung dari sebuah proposisi tanpa mengubah arti, tetapi membawa perubahan pada kualitasnya dan mengubah predikat dengan bentuk kontradiksinya. Dalam obverse sering kita harus memasukkan kata “bukan” dua kali, yakni menyangkal unsure penghubung dan predikat. Hal ini bertumpu pada prinsip: dua negative menghasilkan hal yang positif.

Proposisi-proposisi yang dapat diobsversikan adalah A,E,I,O.

 

d.   Kemungkinan dan Eksistensi

  1. Pemikiran (penalaran, inferensi) yang dapat secara langsung ditarik:
    1. Apabila suatu hal ada, hal tersebut mungkin. Misalnya: Jiwa dan badan dihubungkan dalam manusia, jadi jiwa dan badan dapat dihubungkan.
    2. Apabila suatu hal tidak mungkin, maka hal tersebut tidak ada. Misalnya: persegi bulat adalah tidak mungkin, maka persegi bulat tidak terdapat di mana pun juga. Dalam istilah bahasa Latin: A non posse valet illation ad non esse.

 

  • Pemikiran Tidak Langsung

Dipandang secara subjektif, pemikiran tidak langsung adalah proses pikiran, yang dengannya kita bergerak dari satu proposisi ke lain proposisi dengan pertolongan proposisi ketiga. Sedangkan apabila dipandang secara objektif, pemikiran tidak langssung adalah hubungan antara ketiga buah proposisi tersebut.

Seperti telah kita ketahui, kita membagi pemikiran tidak langsung ke dalam tiga bagian: deduksi, induksi, dan argument kumulatif. Prinsip pembagiannya didasarkan pada kuantitas term-term yang diperbandingkan. Deduksi bergerak dari yang umum ke yang khusus (atau yang paling sedikit pada hal yang kurang umum), induksi bergerak dari yang khusus ke yang umum, sedangkan argument kumulatif bergerak dari yang khusus ke yang khusus.

Apabila kita memandang prioritas riel premis-premis atau kesimpulan, maka pemikiran deduktif bisa a priori atau a posteriori.

Bentuk-bentuk pemikiran tidak langsung:

Induktif

Logika induktif adalah penalaran yang berangkat dari serangkaian fakta-fakta khusus untuk mencapai kesimpulan umum.

 

Deduktif

Deduksi bergerak dari yang umum ke yang khusus (atau paling sedikit pada hal yang kurang umum). Apabila kita memandang prioritas riel premis-premis atau kesimpulan, maka pemikiran deduktif bisa a priori atau a posteriori.

 

Silogisme

Dalam silogisme, proposisi diatur sedemikian rupa sehingga memiliki hubungan yang jelas. Oleh karena itu, silogisme merupakan bentuk pemikiran tidak lansung yang paling sempurna.

  • Silogisme adalah identitas 2 term/konsep dengan term ketiga yang sama.
  • Kekuatan silogisme berada pada hubungan antara term-term.
  • Silogisme itu hendak menentukan hubungan logis term-term tersebut.

Prinsip-prinsip silogisme

  1. Prinsip komprehensi
  • Prinsip keakuran:  Misalnya A=B, B=C, maka A=C.
  • Prinsip kebedaan: A  sama dengan C, B tidak sama dengan C, maka A tidak sama dengan B.
  1. Prinsip ekstensi
  • Dikatakan dengan semua: maksudnya hal-hal secara universal diakui, maka berlaku pula anggota hal-hal tersebut.
  • Tak dikatakan tentang manapun juga: ini kebalikan dari prinsip di atas. Jika suatu hal secara universal diakui, maka pada anggota hal-hal tersebut juga berlaku untuk tidak diakui.

 

Pembagian Silogisme

Silogisme Kategoris

Adalah proses pemikiran yang menjadi tempat untuk menyelidiki kesamaan atau kebedaan dua konsep objektif dengan memperbandingkannya dengan konsep ketiga secara berturut-turut.

Curang itu dosa.

Mencontek adalah curang.

Maka mencontek adalah dosa.

b) Bentuk Silogisme kategoris

Dengan memperhatikan kedudukan term pembanding (M) dalam premis pertama maupun dalam premis kedua, silogisme kategoris dapat dibedakan antara empat bentuk atau empat pola, yakni sebagai berikut:

1)      Silogisme Sub-Pre, suatu bentuk silogisme yang term pembandingnya dalam premis pertama sebagai subjek dan dalam premis kedua sebagai predikat.

Polanya: M P

S M

S P

Contoh:

  • Semua manusia akan mati.
  • Socrates adalah manusia.
  • Jadi, Socrates akan mati.

2)      Silogisme Bis-Pre atau Praeprae, suatu bentuk silogisme yang term pembandingnya menjadi predikat dalam kedua premis.

Polanya: P M

S M

S P

Contoh:

  • Semua orang yang berjasa terhadap negara adalah pahlawan.
  • Sukarno adalah pahlawan.
  • Jadi, Sukarno adalah orang yang berjasa terhadap negara.

 

3)      Silogisme Bis-Sub atau Subsub, suatu bentuk silogisme yang term pembandingnya menjadi subjek dalam kedua premis.

Polanya: M P

M S

S P

Contoh:

  • Manusia adalah berbudaya.
  • Manusia itu juga berakal budi.
  • Jadi, semua yang berakal budi adalah berbudaya.

 

4)      Silogisme Pre-Sub, suatu bentuk silogisme yang term pembandingnya dalam premis pertama sebagai predikat dan dalam premis kedua sebagai subjek.

Polanya: P M

M S

S P

Contoh:

  • Semua influenza adalah penyakit.
  • Semua penyakit adalah menggannggu kesehatan.
  • Jadi, sebagian yang mengganggu kesehatan adalah influenza.

Variasi-variasi dalam Silogisme kategoris

Variasi Bentuk I (Sub-pre)

a. bArbArA

  • Semua mahasiswa Mankom sedang menghadapi POSTER.
  • Semua anak Mankom A adalah mahasiswa Mankom.
  • Semua anak Mankom A sedang menghadapi POSTER.

b. bArbArI

  • Semua mahasiswa Fikom adalah manusia.
  • Semua mahasiswa Fikom pandai berkomunikasi.
  • Beberapa yang pandai berkomunikasi adalah manusia.

c.cElArEnt

  • Semua mahasiswa Fikom tidak mengikuti pemilu.
  • Semua mahasiswa mankom ada mahasiswa Fikom.
  • Semua mahasiswa mankom tidak mengikuti pemilu.

d. cElArOnt

  • Semua warga komplek Batununggal tidak memiliki KTP.
  • Semua warga di jalan Batu Permai adalah warga komplek Batununggal.
  • Beberapa warga di jalan Batu Permai  tidak memiliki KTP.

 

e. dArII

  • Semua mahasiswa Unpad berdemonstrasi.
  • Jerry adalah mahasiswa Unpad.
  • Jerry berdemonstrasi.

f. fErIO

  • Tidak semua penghuni Wisma Harapan adalah wanita.
  • Beberapa penghuni Wisma Harapan adalah wanita.
  • Beberapa penghuni Wisma Harapan bukan wanita.

 

c) Hukum-hukum silogisme kategoris

Dalam menyusun suatu silogisme haruslah perlu diingat aturan-aturan tentang isi dan luas subjek dan predikat agar jalan pikiran itu sah.[4]

I.            Silogisme kategoris harus ada hanya tiga term yaitu term mayor (P), term minor (S), dan term antara (M),

II.            Term mayor atau minor tidak boleh bersifat universal dalam kesimpilan, jika tidak ada yang universal dalam premis-premis.Hukum ini terdiri dari dua bagian, term mayor tidak boleh menjadi universal dalam kesimpulan jika term itu hanya partikular dalam premis mayor dan term minor tidak boleh menjadi universal dalam kesimpulan jika term itu hanya partikular dalam premis-premis, itu berarti hanya beberapa dalam referen mereka yang sesuai atau tidak sesuai dengan term antara (M).

III.            Term antara tidak boleh terdapat kesimpulan. misal: Setiap orang dapat tertawa. Setiap orang dapat merasa. Setiap orang dapat merasa dan tertawa. ini bukan silogisme. ini hanya suatu ringkasan.

IV.            Term antara (M) sekurang-kurangnya satu kali universal dalam premis-premis.

V.            Tidak ada kesimpulan yang dapat ditarik dari dua premis yang partikular.

VI.            Jika kedua premis afirmatif, maka kesimpulannya harus afirmatif juga.

VII.            Kesimpulan tidak boleh lebih kuat dari premis.Jadi jika ada premis mengandung partikular, maka kesimpulan juga harus partikular. Jika ada premis yang negatif kesimpulan harus negatif juga.

 

Argumen Kumulatif

Tidak jarang kita ingin mengetahui fakta-fakta individual yang tidak kita observasi sendiri, bahkan kita tidak dapat mengobservasi sendiri. Misalnya: Betulkah Morse yang menemukan telegram? Adakah Stalin mati karena bunuh diri? Adakah Napoleon mempunyai kekasih berkebangsaan Italia? Adakah Perang Dunia I dimulai tahun 1914: Siapakah yang menyusun cerita Sangkuriang? Dan lain-lain.

Jelas bahwa induksi tidak dapat menolong kita menjawab pertanyaan-pertanyaan ini. deduksi juga tidak sanggup. Memang betul kesimpulan silogisme dapat berupa proposisi singular (Darii, Ferio), akan tetapi karena predikatnya disimpulkan dari suatu proposisi universal, pastilah sesuatu yang umum untuk semua (misalnya: maka Suseno berakal budi). Padahal dalam persoalan kita kini, baik S maupun P adalah individual, unik, dalam arti fakta-faktanya terjadi hanya sekali dan kemungkinan tidak dapat terjadi lagi.

Argumen kumulatif adalah pemikiran yang berdasar pada alasan-alasan yang menunjuk pada fakta yang sama sebagai satu-satunya penjelasannya.

Misalnya: Seorang dosen merasa merasa tertarik untuk memperhatikan Tobing dan Parlin yang banyak menunjukkan kesamaan. Pekerjaan keduanya mempunyai susunan yang sama, kalimat-kalimat yang sama, dan juga kesalahan-kesalahan yang sama. Apabila dipandang  satu per satu mungkin tidak dapat dibuktikan bahwa yang satu menyontek yang lain. Tetapi dosen tetap mencurigai adanya kemungkinan mereka bekerja sama dalam tentamen. Maka akhirnya, karena satu dan lain hal, dosen menjadi yankin bahwa Parlinlah yang menyontek Tobing, dan bukan sebaliknya.

Atau misalnya: Sepuluh ahli sejarah sezaman dengan Nero memberikan kesaksian kesaksian bahwa Nero mati dengan bunuh diri. Taruhlah, misalnya, masing-masing member kesaksian tanpa bergantung satu sama lain dan tidak ada motif-motif negative yang terselip dalam kesaksian mereka. Pendek kata, kesaksian mereka objektif. Lalu penjelasan yang bisa diterima, yakni disimpulkan dari kesaksian-kesaksian mereka, bahwa Nero benar-benar bunuh diri.

Langkah-langkah yang tercakup dalam argument ini adalah ketiga langkah pertama yang dibicarakan dalam induksi. Pertama-tama faktanya haruslah dikumpulkan dengan saksama dan tanpa purbasangka. Kemudian dibuat suatu hipotesis, yakni untuk sementara mengasumsi suatu fakta lain yang dapat menjelaskan fakta yang belum terbongkar. Kemudian hipotesis tersebut harus diuji kebenarannya, guna mengetahui adakah hal ini, dan haal ini saja, yang menjelaskan fakta-fakta yang diketahui.

Metode berpikir ini terutama dipakai dalam sejarah. Juga diperlukan dalam kehidupan sehari-hari bilamana fakta-fakta khusus harus ditentukan, dalam diagnosis medis, dalam mengenal kembali sahabat lama, dan lain-lain.

Argument kumulatif juga sering disebut konvergensi kemungkinan-kemungkinan.

 

PRINSIP-PRINSIP DASAR PEMIKIRAN

Pikiran adalah benda kodrat, maka berlaku juga hukum-hukum yang mengikat semua benda kodrat, semua ada khusus (semua beings). Hukum-hukum tadi adalah pangkalan yang tidak boleh dan tidak dapat diabaikan. Apabila orang mengabaikannya, hanya kekacauanlah yang akan didapat. Prinsip-prinsip ini juga disebut prinsip-prinsip formal karena merupakan prinsip-prinsip yang menjamin terlaksananya proses pemikiran dengan benar, baik itu dari jenis rasionalitas sticto sensu maupun jenis rasionalitas lato sensu.

Prinsip-prinsip tersebut merupakan prinsip-prinsip dasra karena prinsip-prinsip tersebut demikian bersahaja, mudah dan cepat dilihat. Dengan membandingkan suatu benda dengan dirinya sendiri atau dengan membandingkan ada khusus dan bukan ada khusus (being dengan non-being), dengan sangat mudah, kita dapat menemukan prinsip-prinsip tersebut:

  1. Prinsip identitas: prinsip ini merupakan dasar dari semua pemikiran. Artinya ialah pengakuan bahwa benda ini adalah benda ini, dan bukan benda lain; bahwa benbda itu adalah benda itu, dan bukan benda lain. Dalam bahasa Latin dirumuskan: ens est quod est. A adalah A. suatu benda adalah benda itu sendiri. Setiap benda identik dengan dirinya sendiri.

Prinsip ini langsung, analitis, dan jelas dengan sendirinya. Artinya, prinsip ini tidak membutuhkan pembuktian.

Inti prinsip ini sama dengan prinsip pembatalan (principle of contradiction, principium contradistionis).

Dalam logika prinsip ini berarti: bila sesuatu diakui, maka juga harus diakui semua kesimpulan yang dibuat dari pengakuan tadi. Apabila orang sudah mengakui tentang suatu hal, dan kemudian memungkiri suatu kesimpulan yang dibuat dari pengakuan tadi, maka ia berarti menelan kembali pengakuannya. Orang tidak dapat bersama-sama mengakui dan memungkiri, melainkan harus konsekuen, jika itu yang benar berdasarkan evidensi objektifnya, jangan mengubah-ubah pengakuan atau penolakannya semaunya. Jika tidak, pikiran akan kacau jadinya. Maka hanya realitas itu dan bukan yang lain yang dibantu membahasa, mengungkap diri.

  1. Prinsip pembatalan (principle of contradiction, principium contradictionis): Prinsip ini sebenarnyalah rumusan negative dari Prinsip identitas. Rumusannya: Idem nequit simul esse et non esse sub eodem respect. Orang Inggris merumuskan: Nothing can be and not be at the same time and in the same respect. Jadi tidak mungkin terjadi misalnya: seorang anak (pada saat yang bersamaan) pandai menggambar dan tidak pandai menggambar, meskipun bisa jadi ia pandai menggambar, tetapi tidak pandai dalam mewarnai gambarnya.

Prinsip pembatalan juga langsung, analitis dan jelas dengan sendirinya sifatnya. Kita tidak membutuhkan term pembanding (terminus medius, term penengah) untuk membuktikannya. Cukup hanya mengerti akan ati ada dan tidak-ada yang sebenarnya dan kemudian membandingkannya. Asal seseorang masih seorang manusia yang waras, tentu (mau tidak mau) akan melihat kebenaran mutlaknya.

Hegel menolak prinsip pembatalan. Tetapi sebenarnya hal itu terjadi karena ia salah mengerti term-termnya. Menurut Hegel setiap perbedaan adalah kontradiksi. Suatu hal yang sama dapat mempunyai predikat (sebutan) yang berbeda, tidak saja secara berturut-turut, tetapi dapat juga secara simultan (bersamaan). Misalnya: Kecap hitam dan manis, mahasiswa Jurnalistik pintar dan kucel. Tetapi sebenarnya orang yang waras tidak akan mengatakan bahwa kalimat-kalimat di atas itu mengandung kontradiksi, atau predikat yang satu membatalkan predikat yang lain. Tentu saja orang bisa mengatakan: pintar adalah tidak kucel; jadi mahasiswa jurnalistik tidak kucel dan kucel. Tetapi jelas sekali bahwa itu adalah suatu bentuk kesesatan pikiran (fallacy). Pintar dan kucel menunjuj dua aspek yang berlainan.

Dalam logika prinsip ini berarti taatilah prinsip identitas dengan jauhilah kontradiksi, yakni jauhilah hal-hal yang berlawanan asas. Sesuatu yang diakui tidak boleh dibatalkan begitu saja. Janganlah orang membatalkan pernyataannya sendiri. Apabila orang mengakui sesuatu, jangan kemudian menyimpulkan sesuatu yang berlawanan asas dengan apa yang diakui tadi.

 

  1. Prinsip-penyisihan-kemungkinan-ketiga (principle of excluded middle, principium exclusi tertii): Prinsip yang mengatakan bahwa tidak terdapat kemungkinan ketiga. Yang dimaksudkan ialah apabila terdapat dua proposisi yang kontradiksi, yang satu merobohkan yang lain, pastilah salah satu dari proporsisi itu salah. Tidak mungkin terdapat kemungkinan ketiga. Rumusan Latinnya: Ens au test aut non est.

Logika simbolis modern mengatakan bahwa lebih baik mengungkapkan kebenaran prinsip tersebut. Tentang hal ini bisa kita ragukan!

 

  1. Prinsip-alasan yang mencukupi (principle of sufficient reason, principium rationis sufficientis): karena sifat keumumannya, prinsip-alasan-yang-mencukupi dapat kita beri tempat disini juga. Rumusannya: sesuatu yang ada mempunyai alasan yang mencukupi untuk adanya. Segala sesuatu mempunyai dasar atau alasan yang mencukupi untuk adanya, atau segala sesuatu dapat dimengerti. Tetapi waspadalah untuk tidak memperluas penerapan prinsip ini pada semua realitas, atau pada sesuatu yang hanya satu, sebab tidak semua realitas dapat dimengerti secara memadai oleh pikiran kita yang terbatas. Rumus latinnya: quid quid est, habet rationem sui sufficientem. (cf. Nihil ex nihilo!).

Pikiran manusia diciptakan untuk kebenaran. Pikiran kita diciptakan sedemikian rupa sehingga dengan mudah dan cepat dapat melihat kebenaran prinsip-prinsip tersebut, terutama prinsip pembatalan. Seorang anak kecil pun akan tercengang dan memandang Anda apabila Anda mengucapkan dua pendapat berturut-turut, dan pendapat-pendapat ini berlawanan asas. Anak tersebut belum pernah mendengar prinsip pembatalan, tetapi pikirannya sudah dikodratkan sanggup menangkap kontradiksi tersebut.

Orang-orang dewasa menganggap sebagai hal yang memalukan apabila seseorang terperosok dalam kontradiksi. Seseorang yang berturut-turut mengucapkan dua hal yang berlawanan, segera akan dicap sebagai orang yang berpenyakit jiwa. Banyak orang yang perlu diselidiki dan dirawat para ahli ilmu jiwa karena ucapan-ucapannya yang saling bertentangan! Mungkin ucapan sekarang yang bertentangan dengan ucapan-ucapannya yang terdahulu merupakan usaha penyelamatan muka atau penyelamatan diri, ntetapi toh sama saja karena hal itu sebenarnya merupakan petunjuk akan adanya jiwa yang kurang waras! Para wartawan, misalnya mungkin dapat dimaafkan karena mereka harus menulis cepat sehingga tidak tahu atau tidak ingat lagi apaa yang dikatakan kemarin. Tetapi hal itu tetap merupakan cacat yang harus dihindari. Akan tetapi, banyak juga tulisan yang menyatakan dari sebagai tulisan serius, toh juga mengerjakan hal yang sama. Suatu pertanda munculnya suatu zaman baru yang menggelisahkan, yakni zaman skeptisisme (tidak ada kebenaran formal).