communicationdomain

Author Archive

Oleh: Dadang Sugiana

Istilah Perencanaan Komunikasi berasal dari kata perencanaan dan komunikasi. Perencanaan sendiri bersumber dari kata rencana yang berarti segala sesuatu yang akan atau harus dilakukan. Apabila segala sesuatu yang akan atau harus dilakukan itu diupayakan secara sistematis dan dinyatakan secara tertulis maka disebut perencanaan. Secara sederhana dapat dikatakan bahwa perencanaan pada dasarnya adalah suatu proses atau usaha atau tindakan membuat rencana. Tindakan-tindakan yang dilakukan dalam membuat suatu perencanaan tidak lain adalah tindakan pengambilan keputusan-keputusan mengenai apa yang akan dan harus dilakukan. G.R. Terry (Mardikanto, 1992:281) menyatakan bahwa perencanaan merupakan suatu proses pemilihan dan menghubung-hubungkan fakta serta menggunakannya untuk menyusun asumsi-asumsi yang diduga bakal terjadi di masa mendatang untuk kemudian merumuskan kegiatan-kegiatan yang diusulkan untuk mencapai tujuan-tujuan yang diharapkan. Hal penting yang perlu dicatat adalah bahwa suatu perencanaan selalu berorientasi pada masa yang akan datang (future oriented). Sementara itu, komunikasi seperti telah Anda pelajari dalam Modul Pengantar Ilmu Komunikasi, pada dasarnya adalah proses penyampaian pesan dari komunikator kepada komunikan, baik secara langsung maupun melalui media dengan tujuan untuk mengubah perilaku. Menurut Taksonomi Bloom (Winkel, 1990: 132), perubahan perilaku bisa terjadi dalam ranah kognitif (cognitive domain), ranah afektif (affective domain), maupun ranah psikomotor (psychomotor domain). Perilaku kognitif adalah perilaku yang berhubungan dengan aspek-aspek kognisi (kemampuan intelektual atau pengetahuan); perilaku afektif adalah perilaku yang berhubungan dengan sikap mental; dan perilaku psikomotorik adalah perilaku yang berhubungan dengan keterampilan (skill). Perubahan perilaku dalam aspek kognitif secara sederhana dapat diartikan sebagai perubahan dari keadaan tidak tahu menjadi tahu; perubahan perilaku afektif adalah perubahan dari tidak mau menjadi mau; dan perubahan perilaku psikomotorik adalah perubahan dari tidak mampu menjadi mampu.

Perubahan perilaku seperti diuraikan di atas yang terjadi pada diri komunikan atau sasaran komunikasi tidak dengan sendirinya bisa terjadi pada setiap slesainya suatu kegiatan komunikasi. Perubahan ketiga jenis perilaku tersebut hanya akan terjadi apabila proses komunikasi yang dilakukan benar-benar dirancang dan direncanakan untuk tujuan-tujuan perubahan yang dimaksud. Dengan kata lain, perubahan perilaku komunikan dapat terjadi sesuai dengan yang diharapkan apabila sebelumnya dilakukan perencanaan komunikasi yang matang.

Selanjutnya akan timbul pertanyaan: “Apa dan bagaimana perencanaan komunikasi itu?” Secara sederhana dapat dikemukakan, perencanaan komunikasi adalah pernyataan tertulis mengenai serangkaian tindakan tentang bagaimana suatu kegiatan komunikasi akan atau harus dilakukan agar mencapai perubahan perilaku sesuai dengan yang kita inginkan. Karena kegiatan komunikasi pada dasarnya berupa penyampaian informasi (pesan) oleh komunikator kepada komunikan, maka perencanaan komunikasi terutama menyangkut pada perencanaan komunikator, perencanaan pesan, dan perencanaan media. Pernyataan tertulis tentang segala sesuatu yang akan atau harus dilakukan dalam suatu kegiatan komunikasi  tentu saja tidak sekadar paparan begitu saja, tetapi harus merupakan uraian sistematik dan rinci sehingga bisa dijadikan pedoman dalam pelaksanaannya. Suatu perencanaan (termasuk perencanaan komunikasi) yang baik adalah suatu perencanaan yang benar-benar dapat digunakan sebagai pedoman yang dapat membantu  memperudah pelaksanaan suatu kegiatan. Mengapa demikian, sebab tidak tertutup kemungkinan bahwa dalam suatu proyek komunikasi orang-orang yang terlibat dalam suatu proses perencanaan belum tentu sekaligus terlibat sebagai pelaksana, dan sebalinya para pelaksana kegiatan komunikasi bisa saja bukan merupakan orang-orang yang terlibat dalam proses perencanaannya. Oleh karena itu, antara kegiatan perencanaan dengan kegiatan pelaksanaan dapat berupa dua kegiatan (proyek) yang masing-masing berdiri sendiri walaupun kedua-duanya berada dalam satu naungan proyek yang sama.

 

*)         Tulisan ini sebagian besar bersumber dari “Perencanaan Pesan dan Media” Modul Ajar Universitas Terbuka, Edisi Revisi, Cetakan Ke-7, 2007. Penulis: Prof .Dr. Hj. Nina Winangsih Syam, M.S,. Drs. Dadang Sugiana, M.Si., dan Dr. Atwar Bajari, M.S.

 

 

Hiperrealitas

(Realitas Semu)

by: A.C.S.


Apakah itu hiperrealitas?

•      Hiperrealitas, menurut ensiklopedia online, Absolute Astronomy[1] adalah “sebuah konsep dalam filosofi post-modernisme dan semiotika.”

•      Hiperrealitas, seperti yang dikuotasikan dari buku Dunia yang Dilipat[2] adalah “pengalaman transformasi dalam cara manusia melihat diri sendiri secara ontologis diantara objek-objek kebudayaan ciptaannya,” juga “dalam cara manusia membangun citra diri dan menyusun makna kehidupannya secara diskursif melalui objek-objek dan media-media (massa) dalam suatu ruang dan waktu yang membatasinya.”

•      Dua tokoh hiperrealitas terkemuka, Jean Baudrillard dan Umberto Eco, mempunyai pandangan yang berbeda mengenai definisi hiperrealitas itu sendiri.

Jean Baudrillard mempunyai konsepsi yang diadaptasi dari pemikiran McLuhan[3] bahwa perkembangan teknologi informasi yang semakin mutakhir tidak hanya dapat memperpanjang fungsi organ pada manusia, tapi (lebih hebat lagi) mampu menghasilkan duplikasi dari manusia, mampu membuat fantasi atau fiksi ilmiah menjadi nyata, mampu mereproduksi masa lalu, atau ‘melipat’ dunia sehingga tak lebih dari sebuah layar kaca, disket atau memory bank.

Jean Baudrillard juga mengungkapkan dua istilah, yakni: Simulasi dan Simulacra dalam menjelaskan konsep hiperrealitas itu sendiri.

Simulasi adalah suatu proses dimana representasi (gambaran) atas suatu objek justru menggantikan objek itu sendiri, dimana representasi itu menjadi hal yang lebih penting dibandingkan objek tersebut. Analoginya, bila suatu peta merepresentasikan (menggambarkan) suatu wilayah, maka dalam simulasi, justru peta-lah yang mendahului wilayah. Di dalam wacana simulasi, manusia mendiami suatu ruang realitas dimana perbedaan antara yang benar dan palsu menjadi tipis (manusia hidup dalam suatu ruang khayal yang nyata). Misalnya discovery channel pada televisi, sebenarnya hampir sama nyatanya dengan pelajaran IPA di sekolah, karena sama-sama menawarkan informasi mengenai kehidupan flora dan fauna pada anak-anak.

Ada 4 hierarki/tahap dalam simulasi: (Baudrillard, 1983)

1.      Ketika suatu tanda dijadikan refleksi dari suatu realitas. Misal: seni adalah wujud dari realitas.

2.      Ketika suatu tanda sudah menutupi dan menyesatkan realitas itu sendiri. Misal: Gaul itu adalah dengan menonton MTV.

3.      Ketika suatu tanda menutupi ketiadaan dari suatu realitas. Misalnya: Disneyland, yang sebenarnya hanya ada dalam khayalan anak-anak namun dibuat menjadi nyata untuk menutupi ketiadaan Disneyland tersebut.

4.      Dan akhirnya tanda tersebut menjadi sesuatu yang tidak ada hubungannya sama sekali dengan realitas, dan ini lah yang disebut Baudrillard sebagai Simulacra. Misalnya: Dunia The Matrix dalam film yang dibintangi Keanu Reeves.

Simulacra ini memungkinkan manusia untuk mendiami satu ruang yang sarat akan duplikasi dan daur ulang dari berbagai fragmen dunia yang berbeda-beda pada waktu yang sama. Misalnya masyarakat Bandung yang mengkonsumsi kopi ala starbucks di tempat perbelanjaan Cihampelas Walk; atau remaja SMA yang saling berkenalan dalam dunia friendster. Nah, seperti Shopping Malls, Televisi, dan Friendster itu lah yang merupakan miniatur dari dunia yang dilipat, seperti yang sudah disebutkan diatas.

Sedangkan Umberto Eco menggunakan istilah-istilah seperti copy, replica, replication, imitation, likeness, dan reproduction untuk menjelaskan apa yang disebutnya dengan hiperrealitas. Menurut Eco, hiperrealitas adalah segala sesuatu yang merupakan replikasi, salinan atau imitasi dari unsur-unsur masa lalu yang dihadirkan dalam konteks masa kini sebagai bentuk dari nostalgia[4]. Jadi, ia melihat fenomena hiperrealitas sebagai persoalan pen-jarak-kan (distanction), yakni obsesi menghadirkan masa lalu yang telah musnah, hilang, terkubur dalam rangka melestarikan bukti-buktinya dengan menghadirkan replika, tiruan, salinan, atau imitasinya. Yang menjadi masalah adalah ketika masa lalu tersebut dihadirkan dalam konteks masa kini, maka ia kehilangan kontak dengan realitas. Jadi seakan-akan replika dari masa lalu ini terlihat lebih nyata dari kenyataannya. Sehingga menciptakan suatu kondisi dimana adanya peleburan antara salinan (copy) dengan aslinya (original).

Umberto Eco mencontohkan hiperrealitas ini ketika ia mengunjungi Amerika dan sekan-akan mengejek bahwa dengan teknologi mutakhirnya, Amerika mampu membuat tiruan atas masa lalu dengan persis dan bahkan melebihi yang sebenarnya terjadi. Misalnya ketika ia mengunjungi Disneyland dan Disneyworld, ia menyebut itu sebagai kota yang benar-benar palsu. Ia menemukan bahwa dalam dua tempat itu segala sesuatu terlihat lebih besar, bersinar, dan begitu menghibur dibandingkan kehidupan sehari-hari. Misalnya ketika ia bertamasya dengan perahu yang melewati sungai buatan disney, ia melihat sekumpulan ikan-ikan kecil animasi yang tampak begitu nyata. Namun di lain hari ketika ia bertamasya di sungai Missisipi, ia justru dikejutkan dengan adanya banyak aligator ganas. Ia menyebutkan bahwa, “Disneyland mengatakan pada kita bahwa teknologi dapat memberi kita realitas dibandingkan dengan alam yang sesungguhnya.”[5]

Ia juga mencontohkan bahwa Museum Lilin di New Orleans juga merupakan bentuk reproduksi dari masa lalu, dimana terdapat patung-patung lilin yang menyerupai tokoh-tokoh sejarah Louisiana. Namun, menurut Eco museum lilin masih menyajikan sesuatu yang hampir nyata, sementara Disneyland kebanyakan menjual komoditi asli dan melampaui kenyataan yang sebenarnya.

 

Hiperrealitas Dalam Wacana Kapitalisme

Perkembangan yang mutakhir dari teknologi informasi, komoditi, dan tontonan, menjadikan itu semua menjadi tiang-tiang penopang dalam wacana kapitalisme[6] sehingga memungkinkan manusia masa kini untuk melihat dirinya sendiri sebagai refleksi dari citra-citra yang disebarkan dari komoditi dan tontonan tersebut.

Dalam kapitalisme, ada yang disebut dengan diferensiasi, yakni proses membangun identitas berdasarkan perbedaan, produk dan gaya hidup. Melalui diferensisasi inilah proses peremajaan (pembaharuan) dijadikan ideologi dalam kapitalisme (dalam bentuk komoditi), misalnya: handphone nokia seri terbaru, salon kecantikan, shopping Malls, dsb. Dalam sistem komoditi total kapitalisme, manusia tidak lagi bertindak sebagai subjek yang mengontrol objek, namun dikontrol oleh sistem objek-objek yang menyebabkan manusia kehilangan kesadaran dan memiliki gairah konsumsi yang tinggi (Jean Baudrillard). Akibatnya terbentuklah budaya konsumerisme, dimana produk-produk/komoditi tersebut menjadi satu medium untuk membentuk personalitas, gaya, citra, gaya hidup dan cara diferensiasi status sosial yang pada gilirannya menjadi penopang dunia realitas semu.

 

Hiperrealitas dalam Kaitannya dengan Kritik Ekonomi Sosial Marx

Kritik Marx berangkat dari kenyataan bahwa konflik kelas yang timbul antara kaum borjuis (pemilik modal) dan kaum proletariat (pekerja) adalah sebagai akibat dari relasi produksi kapitalisme yang bermuatan konflik. Dalam kritik ini, konflik sosial muncul sebagai akibat dari konflik kepentingan dalam penguasaan alat produksi. Dalam wawasan Marxisme, perjuangan kelas pekerja diartikan sebagai perjuangan untuk menguasai alat produksi dan membebaskan diri dari alienasi yang disebabkan karena adanya model kepemilikan. Namun Marx terlalu menekankan pada relasi produksi, padahal saat ini, dalam era kapitalisme mutakhir, persoalan tidak lagi berupa ketidakadilan sosial di balik relasi produksi komoditi, namun sudah berkembang menjadi persoalan moral yang muncul di balik rekayasa konsumer lewat komoditi.

Lalu kemudian para pendukung mazhab Frankfurt[7] mencoba untuk mengangkat tema ini. Menurut mereka, budaya komoditi adalah suatu cara dalam memanipulasi masyarakat melalui suatu bentuk yang mereka sebut sebagai administrasi total, dimana terdapat bentuk pengaturan massa, sehingga menjadikan mereka massa yang pasif. Namun sayangnya para pengikut mazhab Frankfurt hanya menjelaskan fenomena ini pada tingkat sosial, melalui pemikirannya tentang administrasi masyarakat melalui komoditi. Mereka gagal melihat administrasi sebagai bentuk pengendalian melalui tanda (sign) dan simbol-simbol sosial.

Kemudian Jean Baudrillard mencoba mengisi kekosongan yang ditinggalkan Marx dan pendukung mazhab frankfurt. Ia menggunakan pendekatan ekonomi-politik Marx dan pendekatan semiotika struktural. Baudrillard ingin memperlihatkan bahwa kritik-kritik terhadap kapitalisme itu sendiri telah melampaui yang dibayangkan Marx, yakni melampaui persoalan-persoalan ideologis ketidakadilan atau konflik kelas yang tersembunyi di balik relasi produksi komoditi. Marx tidak pernah membayangkan bahwa pada kapitalisme mutakhir, komoditi telah dikuasai oleh permainan tanda-tanda dan simbol-simbol sosial. Menurut Baudrillard, dalam bukunya For a Critique of the Political Economy Sign, perubahan status komoditi ini disebabkan struktur tanda tersebut merupakan jantung dari komoditi masa kini, sehingga menjadikannya medium total, sebagai sistem komunikasi yang mengatur pertukaran sosial (administrasi sosial melalui tanda sosial).

Lalu dalam bukunya Baudrillard Live, ketika melihat komoditi sebagai suatu fenomena hiperrealitas, Baudrillard melihat bahwa yang terjadi saat ini adalah berkembangnya wacana sosial-kebudayaan menuju ke arah kondisi hyper. Kondisi hyper ini dapat dilihat dalam ekonomi pasar bebas, dimana ekonomi kemajuan lebih banyak digunakan untuk menciptakan kebutuhan semu bagi konsumer, semata agar ekonomi (kapitalisme) dapat terus beputar, yang pada gilirannya hanya menghasilkan kesejahteraan semu. Lalu kecenderungan hyper ini juga terlihat pada fenomena perkembangan media, dimana perkembangan teknologi media mutakhir (seperti televisi, multimedia dan internet) telah memungkinkan untuk diciptakannya satu rekayasa realitas, yaitu satu realitas yang tampak nyata, padahal semuanya hanya sebuah halusinasi image yang tercipta lewat teknologi elektronik. Di dalamnya, antara realitas dan halusinasi atau antara kebenaran dan rekayasa kebenaran bercampur aduk di dalam media.

 

 

Referensi

Piliang, Yasraf. Dunia yang Dilipat; Tamasya Melampaui Batas-Batas Kebudayaan, Jalasutra, Bandung, 2004.

Eco, Umberto, Tamasya dalam Hiperrealitas (Terjemahan dari Travel-in-Hyperreality), Picador, London, 1987.

 

 

 


[1] http://www.absoluteastronomy.com/encyclopedia/h/hy/hyperreality.htm

[2] Piliang, Yasraf. Dunia yang Dilipat; Tamasya Melampaui Batas-Batas Kebudayaan, Jalasutra,  2004, Bab 7, Hal. 197.

[3] Pemikiran McLuhan ini tertuang dalam bukunya, Understanding Media, The Extensions of Man yang meramalkan bahwa perkembangan teknologi informasi akan membawa fungsi teknologi sebagai perpanjangan manusia menuju perpanjangan tahap akhirnya. Misalnya database komputer yang memperpanjang fungsi otak manusia untuk menyimpan memori.

[4] Eco, Umberto, Tamasya dalam Hiperrealitas (Terjemahan dari Travel-in-Hyperreality, Picador, London, 1987), Hal 7.

[5] Dikuotasikan dari situs http://www.transparencynow.com/eco.htm

[6] Kapitalisme : Sebuah sistem ekonomi yang didalamnya instrumen produksi dan objek konsumsi merupakan kepemilikan dan kekuasaan pribadi

[7] Beberapa pendukung mazhab Frankfurt: Adorno, Horkheimer, Marcuse dan Habermas

 

Teori Kritis dan Varian Paradigmatis dalam Ilmu Komunikasi

Pembuka Wacana

Presented by: A.C.S.


Dalam sejarah keilmuan, wacana positivisme klasik sempat menjadi primadona paradigma dalam ilmu-ilmu sosial, termasuk di dalamnya ilmu komunikasi. Wacana positivisme yang dipelopori oleh para pemikir empirik radikal (pertama kali dicetuskan oleh Saint Simon pada tahun 1825) menjadi landasan epistemologi dalam menentukan kebenaran dalam ilmu sosial. August Comte dengan Sosiologi Positif menjadi paradigma pokok ilmu sosial yang berbasis pendekatan empirik sosial. Gugus ilmu sosial yang berkembang pada waktu itu menjadikan positivisme sebagai dominator rasionalitas dalam ilmu pengetahuan. Ini tentu saja dilandasi dengan pemikiran yang sudah berkembang pada waktu Renaissance dibuka sebagai swift epistemology dari epistemologi deduktif Platonik menjadi epistemologi induktif empirik Aristotelian yang semakin diradikalkan oleh Francis Bacon dalam induktivisme rasional.

Pada dasarnya, positivisme adalah jawaban alternatif dan tegas atas kegagalan filsafat spekulatif yang diradikalkan oleh filsafat Idealisme Jerman Immanuel Kant dan Filsafat Sejarah Hegel. Reaksi epistemologi ini lahir dari penolakan klaim kebenaran yang bersifat spekulatif dan jauh dari maksud sebenarnya dari pencarian kebenaran. Dalam perkembangan selanjutnya, positivisme mengalami modifikasi metodologis dan epistemologis yang sebenarnya juga menjauhi maksud sebenarnya pendekatan positif ditawarkan sebagai suatu sistem kebenaran.

Ilmu komunikasi dalam sejarah awal pembentukan juga tidak jauh dari kecenderungan positivisme ilmiah. Paradigma utama dalam ilmu komunikasi pun tidak jauh dari masalah metodologis yang bersifat empirik positif. Pendekatan mekanistik ala Shannon-Weaver tidak jauh melihat bahwa komunikasi merupakan pecahan mekanik yang dilakukan oleh manusia yang pada dasarnya meniru perilaku mesin transmitter dan receiver. Kecenderungan bahwa komunikasi merupakan proses linear mekanistik merupakan derivasi pemahaman ilmu alam dalam gugus perilaku manusiawi. Beberapa model pokok dalam ilmu komunikasi tidak jauh dari masalah distansi penuh antara peneliti dan yang diteliti, objektivistis-mekanistik, deduktif-nomonologis dan penelitian eksternal faktual dari setiap gejala yang masuk dalam perilaku komunikatif. Kecenderungan positivistik dalam ilmu komunikasi pun akhirnya membentuk bentuk ilmu sosial yang bersifat otoriter dan cenderung minus kecuali dalam memuaskan aturan dan sistem logika ketat yang menuntut pengujian korelasional yang dapat diuji secara praktis.

Kecenderungan dominan positivisme dalam ilmu komunikasi memberikan hasil model-model meta naratif pada pengalaman sosial manusia yang disebut dengan komunikasi. Meta narasi komunikasi yang bersifat universal mempunyai tantangan bahwa pola komunikasi sebenarnya sangat terikat dengan ruang dan waktu manusiawi. Padahal sifat keterikatan dengan ruang dan waktu ini bisa sangat bersifat tentatif dan relatif, mengingat sifat manusia yang bisa sangat kontekstual. Relasi komunikatif adalah kontekstual dalam arti bahwa relasi komunikatif tidak bisa begitu saja direduksi dalam pola kuantitatif yang bisa sangat rigid dengan keadaan yang sebenarnya.

Meta narasi universal dalam paradigma komunikasi pada suatu saat menimbulkan penyederhanaan pengalaman manusia yang bersifat tentatif. Tapi di lain waktu, meta narasi universal dalam paradigma komunikasi menimbulkan rejim otoriter dalam menentukan kebenaran yang bisa sangat bersifat manipulatif. Rejim otoriter ini menimbulkan masalah dogmatis dalam ilmu pengetahuan yang pada akhirnya mengakibatkan krisis epistemologis terutama dalam pendekatan rasional pada pengalaman manusia yang disebut dengan komunikasi.

Makalah ini memberikan gambaran singkat terhadap wacana alternatif terhadap pendekatan ilmu pengetahuan, terutama ilmu komunikasi. Ada perkembangan masyarakat yang tidak cukup dipahami dengan sederetan angka dan prosentase. Angka justru menimbulkan kesesatan pikir baru yang bersifat ideologis. Wacana alternatif tersebut adalah wacana teori kritis.

Hanya memang tulisan ini mencoba untuk mengembangkan diskusi teoritis tentang teori kritis dengan masalah bagaimana teori kritis dipahami dalam kerangka praksis.

 

Diskusi 1. Sekilas tentang Teori Kritis

Filsafat dan ilmu sosial abad XX diwarnai oleh empat pemikiran besar yaitu, fenomenologi-eksistensialisme, Neo-Thomisme, Filsafat Analitis dan aliran Neo Marxis (yang sering mengklaim dirinya sebagai pewaris tradisi Marxisme yang disesuaikan dengan keadaan jaman). Teori kritis, secara klasifikatif, dapat digolongkan pada kelompok yang terakhir. Meski dalam perdebatan filosofis, ada yang menganggap bahwa teori kritis adalah teori yang bukan marxis lagi.

Neo Marxisme adalah aliran pemikiran Marx yang menolak penyempitan dan reduksi ajaran Karl Marx oleh Engels. Ajaran Marx yang dicoba diinterpretasikan oleh Engels ini adalah versi inferpretasi yang nantinya sebagai “Marxisme” resmi. Marxisme Engels ini adalah versi interpretasi yang dipakai oleh Lenin. Interpretasi Lenin nanti pada akhirnya berkembang menjadi Marxisme-Leninisme (atau yang lebih dikenal dengan Komunisme). Beberapa tokoh neomarxisme sebetulnya pada akhirnya menolak marxisme-leninisme. Mereka menolak interpretasi Engels dan Lenin karena interpretasi tersebut adalah interpretasi ajaran Marx yang menghilangkan dimensi dialektika ala Karl Marx yang dipercaya sebagai salah satu bagian inti dari pemikiran Karl Marx. Tokoh neomarxisme adalah Georg Lukacs dan Karl Korsch, Ernst Bloch, Leszek Kolakowski dan Adam Schaff.

Salah satu aliran pemikiran Kiri Baru yang cukup ternama adalah pemikiran Sekolah Frankfurt. Institut penelitian sosial di Frankfurt (Institut für Sozialforschung) didirikan pada tahun 1923 oleh seorang kapitalis yang bernama Herman Weil, seorang pedagang grosir gandum, yang pada akhir hayat “mencoba untuk cuci dosa” mau melakukan sesuatu untuk mengurangi penderitaan di dunia (termasuk dalam skala mikro: penderitaan sosial dari kerakusan kapitalisme).

Teori kritis adalah anak cabang pemikiran marxis dan sekaligus cabang marxisme yang paling jauh meninggalkan Karl Marx (Frankfurter Schule). Cara dan ciri pemikiran aliran Frankfurt disebut ciri teori kritik masyarakat “eine Kritische Theorie der Gesselschaft”. Teori ini mau mencoba memperbaharui dan merekonstruksi teori yang membebaskan manusia dari manipulasi teknokrasi modern. Ciri khas dari teori kritik masyarakat adalah bahwa teori tersebut bertitik tolak dari inspirasi pemikiran sosial Karl Marx, tapi juga sekaligus melampaui bangunan ideologis marxisme bahkan meninggalkan beberapa tema pokok Marx dan menghadapi masalah masyarakat industri maju secara baru dan kreatif.

Beberapa tokoh Teori Kritis angkatan pertama adalah Max Horkheimer, Theodor Wiesengrund Adorno (musikus, ahli sastra, psikolog dan filsuf), Friedrich Pollock (ekonom), Erich Fromm (ahli psikoanalisa Freud), Karl Wittfogel (sinolog), Leo Lowenthal (sosiolog), Walter Benjamin (kritikus sastra), Herbert Marcuse (murid Heidegger yang mencoba menggabungkan fenomenologi dan marxisme, yang juga selanjutnya Marcuse menjadi “nabi” gerakan New Left di Amerika).

Teori Kritis menjadi disputasi publik di kalangan filsafat sosial dan sosiologi pada tahun 1961. Konfrontasi intelektual yang cukup terkenal adalah perdebatan epistemologi sosial antara Adorno (kubu Sekolah Frankfurt – paradigma kritis) dengan Karl Popper (kubu Sekolah Wina – paradigma neo positivisme/neo kantian). Konfrontasi berlanjut antara Hans Albert (kubu Popper) dengan Jürgen Habermas (kubu Adorno). Perdebatan ini memacu debat positivisme dalam sosiologi Jerman. Habermas adalah tokoh yang berhasil mengintegrasikan metode analitis ke dalam pemikiran dialektis Teori Kritis.

Pada awalnya, yang membedakan Teori Kritis dengan filsafat Heidegger atau filsafat analitika Ludwig Wittgenstein adalah Teori Kritis menjadi inspirasi dari gerakan sosial kemasyarakatan. Gerakan sosial ini dipelopori oleh kaum muda yang pada waktu itu secara historis telah tidak ingat lagi dengan masa kelaparan dan kedinginan pasca perang dunia II. Generasi muda tahun 1960-an telah merasa muak dengan kebudayaan yang menekankan pembangunan fisik dan menekankan faktor kesejahteraan ala kapitalisme. Generasi ini adalah generasi yang secara mendalam meragukan atau menyangsikan kekenyangan kapitalisme dan disorientasi nilai modern.

Yang merupakan ciri khas Teori Kritis adalah bahwa teori ini berbeda dengan pemikiran filsafat dan sosiologi tradisional. Pendekatan Teori Kritis tidak bersifat kontemplatif atau spektulatif murni. Teori Kritis pada titik tertentu memandang dirinya sebagai pewaris ajaran Karl Marx, sebagai teori yang menjadi emansipatoris. Teori Kritis tidak hanya mau menjelaskan, mempertimbangkan, merefleksikan dan menata realitas sosial tapi juga bahwa teori tersebut mau mengubah. Pada dasarnya, Teori Kritis mau menjadi praktis.

Teori Kritis tidak mau membebek Karl Marx. Kelemahan marxisme pada umumnya adalah mereka menjiplak analisa Marx dan menerapkannya mentah-mentah pada masyarakat modern. Oleh sebab itu, biasanya marxisme justru lebih terkesan dogmatis daripada ilmiah. Teori Kritis mengadakan analisa baru terhadap masyarakat yang dipahami sebagai “masyarakat kapitalis lanjut”. Yang direkonseptualisasi dalam pemikiran Teori Kritis adalah maksud dasar teori Karl Marx, yaitu pembebasan manusia dari segala belenggu penghisapan dan penindasan.

Pembebasan manusia dari segala belenggu penghisapan dan penindasan berangkat dari konsep kritik. Konsep kritik sendiri yang diambil oleh Teori Kritis berangkat dari 4 (empat sumber) kritik yang dikonseptualisasikan oleh Immanuel Kant, Hegel, Karl Marx dan Sigmund Freud. Kritik dalam pengertian pemikiran Kantian adalah kritik sebagai kegiatan menguji kesahihan klaim pengetahuan tanpa prasangka. Kritik dalam pengertian Hegel didefinisikan sebagai refleksi diri atas tekanan dan kontradiksi yang menghambat proses pembentukan diri-rasio dalam sejarah manusia. Kritik dalam pengertian Marxian berarti usaha untuk mengemansipasi diri dari alienasi atau keterasingan yang dihasilkan oeh hubungan kekuasaan dalam masyarakat. Kritik dalam pengertian Freudian adalah refleksi atas konflik psikis yang menghasilkan represi dan memanipulasi kesadaran. Adopsi Teori Kritis atas pemikiran Freudian yang sangat psikologistik dianggap sebagai pengkhianatan terhadap ortodoksi marxisme klasik.

 

Diskusi 2: Pengaruh Teori Kritis dalam Wacana Ilmu Komunikasi

Pertemuan pertama Teori Kritis dengan ilmu komunikasi sebenarnya terjadi ketika Teori Kritis berimigrasi ke Amerika Serikat. Perkembangan ilmu komunikasi di Amerika sudah mengalami perkembangan yang pesat. Premis awal Ilmu komunikasi di Amerika merupakan pernik awal perkembangan teknologi informasi bahkan sebelum perang dunia I. Perkembangan ilmu komunikasi di Amerika banyak ditandai dengan perkembangan komunikasi massa di negara tersebut. Sementara itu, paradigma dominan ilmu komunikasi dipenuhi dengan paradigma positivistik.

Teori Kritis yang dibawa oleh para sarjana Jerman akhirnya berpindah di beberapa universitas di Amerika pada tahun 1933. Tentu saja, pertemuan dua tradisi intelektual tersebut menghasilkan kontroversi. Paradigma kritis yang sangat kritis idealistik bertemu dengan tradisi keilmuan yang pragmatis. Dalam sejarah perkembangannya, penelitian komunikasi di Amerika dipengaruhi oleh kondisi sejarah sosial, politik dan budaya yang terjadi. Komunikasi pada titik tertentu, di Amerika, berada dalam titik pragmatik yang sangat komersial dan memunculkan diskursus klasik terhadap perubahan sosial, terutama yang berkaitan dengan arus kesejahteraan yang bersifat kapitalistik.

Ide pragmatisme sangat mewarnai penelitian komunikasi di Universitas Chicago yang kajiannya sangat empirik. Paul Lazarfeld, Kurt Lewin, Harold Laswell dan Carl Hovland. Studi yang dikembangkan oleh Wilbur Schramm adalah studi kuantitatif dalam konteks anthropologi komunikasi.

Kontribusi kritisisme Teori Kritis dikembangkan oleh Adorno yang mengkritik pendekatan Paul Lazarfeld yang sangat dipengaruhi oelh pendekatan struktural fungsionalistik ala Talcott Parsons. Horkheimer dan Adorno melihat cacat epistemologi dalam ilmu komunikasi yang berwatak totaliter dan ideologis. Teori Kritis melihat bahwa ada kecenderungan di kalangan ilmuwan komunikasi menjadi ilmu ini untuk dipaksakan dalam wujud ilmu yang sangat mekanistik. Model pemikiran administratif yang dikembangkan oleh pemikir Universitas Chicago dikritisi oleh model pemikiran kritis.

Riset komunikasi yang berkembang bersamaan dengan asumsi pemikiran administratif adalah riset studi efek media massa. Selanjutnya dalam era 30-40-an pemikiran Teori Kritis mengembangkan studi tentang ekonomi politik media, analisis budaya atas teks, dan studi resepsi khalayak – studi ideologi dalam media yang pada akhirnya mengalami perkembangan yang pesat pada era 70-80-an.

Pendekatan ekonomi politik memfokuskan pada kajian utama tentang hubungan antara struktur ekonomi-politik, dinamika industri media, dan ideologi media itu sendiri. Perhatian penelitian ekonomi politik diarahkan pada kepemilikan, kontrol serta kekuatan operasional pasar media. Dari titik pandang ini, institusi media massa dianggap sebagai sistem ekonomi yang berhubungan erat dengan sistem politik.

Perspektif ekonomi politik kritis juga menganalisa secara penuh pada campur tangan publik sebagai proses legitimasi melalui ketidaksepakatan publik atas bentuk-bentuk yang harus diambil karena adanya usaha kaum kapitalis mempersempit ruang diskursus publik dan representasi. Dalam konteks ini dapat juga disebut adanya distorsi dan ketidakseimbangan antara masyarakat, pasar dan sistem yang ada. Sedangkan kriteria-kriteria yang dimiliki oleh analisa ekonomi politik kritis terdiri dari tiga kriteria. Kriteria pertama adalah masyarakat kapitalis menjadi kelompok (kelas) yang mendominasi. Kedua, media dilihat sebagai bagian dari ideologis di mana di dalamnya kelas-kelas dalam masyarakat melakukan pertarungan, walaupun dalam konteks dominasi kelas-kelas tertentu. Kriteria terakhir, profesional media menikmati ilusi otonomi yang disosialisasikan ke dalam norma-norma budaya dominan.

Perspektif ekonomi-politik kritis memiliki tiga varian utama. Ketiga varian tersebut adalah instrumentalisme, kulturalisme, dan strukturalisme. Dalam penelitian ini, varian yang digunakan adalah perspektif instrumentalisme. Perspektif ini memberikan penekanan pada determinisme ekonomi, di mana segala sesuatu pada akhirnya akan dikaitkan secara langsung dengan kekuatan-kekuatan ekonomi. Perspektif ini melihat media sebagai instrumen dari kelas yang mendominasi. Dalam hal ini kapitalis dilihat sebagai pihak yang menggunakan kekuatan ekonominya – untuk kepentingan apapun – dalam sistem pasar komersial untuk memastikan bahwa arus informasi publik sesuai dengan kepentingannya.

Studi Kajian Budaya Kritis juga menempatkan media sebagai salah satu aktor budaya dalam melakukan imperialisme budaya. Aktor budaya dalam konteks ini adalah konteks ideologi dominan maka media menjadi ideological apparatus.

Studi resepsi kritis menempatkan bahwa kelompok khalayak terbagi dalam klasifikasi status sosial dan ekonomi. Secara politis, masyarakat terbagi dalam kelompok sosial yang mempunyai tingkat resepsi yang berbeda. Pendekatan Bordieu banyak memakai metode ini.

Diskusi 3. Penerapan Aplikatif: Wacana Media, Ideologi Dan Hegemoni

Media dalam konteks Teori Kritis selalu berhubungan dengan ideologi dan hegemoni. Hal ini berkaitan dengan cara bagaimana sebuah realitas wacana atau teks ditafsirkan dan dimaknai dengan cara pandang tertentu.

Pendapat Golding dan Murdock (Currant & Guravitch ed., 1991:188) menunjukkan bahwa studi wacana media meliputi tiga wilayah kajian, yaitu teks itu sendiri, produksi dan konsumsi teks. Kerangka teoritis semacam ini adalah kerangka teoritis yang senada dikembangkan oleh Norman Fairclough. Perbedaan analisis Golding dan Murdock jika dibandingkan dengan analisis wacana kritis Norman Fairclough terletak pada wilayah analisis teks, produksi dan konsumsi sebagai kajian tersendiri. Fairclough mempunyai kerangka teks, praktek wacana dan praktek sosial budaya sebagai wilayah analisis kritisnya. Dari konteks perspektif analisis di atas maka teks ditafsirkan.

Wacana teks selalu melibatkan dengan apa yang disebut dengan alternasi atau peralihan timbal balik antara dua fokus kembar analisis wacana, yaitu kejadian komunikatif (teks, praktek wacana dan praktek sosial budaya) dengan tatanan wacana (genre dan jenis pewacanaan).

Kejadian komunikatif meliputi aspek teks, praktek wacana dan praktek sosial budaya. Wilayah teks media merupakan representasi yang berkaitan dengan realitas produksi dan konsumsi. Fairclough melihat bahwa wilayah teks merupakan wilayah analisis fungsi representasional-interpersonal teks dan tatanan wacana. Fungsi representasional teks menyatakan bahwa teks berkaitan dengan bagaimana kejadian, situasi, hubungan dan orang yang direpresentasikan dalam teks. Ini berarti bahwa teks media bukan hanya sebagai cermin realitas tapi juga membuat versi yang sesuai dengan posisi sosial, kepentingan dan sasaran yang memproduksi teks. Fungsi interpersonal adalah proses yang berlangsung secara simultan dalam teks.

Wacana untuk konsumsi publik bukan dilihat dalam keadaan mentah tapi sebaliknya wacana dalam konteks publik adalah wacana yang diorganisasi ulang dan dikontekstualisasikan agar sama dengan bentuk ekspresi tertentu yang sedang digunakan. Bentuk ekspresi teks tertentu mempunyai dampak besar atau apa yang terlihat, siapa yang melihat dan dari perspektif sudut pandang macam apa.

Wacana teks media juga membutuhkan analisis intertekstualitas. Analisis ini lebih ingin mengetahui hubungan antara teks dengan praktek wacana. Intertekstualitas ini bisa berproses dalam cara-cara pemaduan genre dan pewacanaan yang tersedia dalam tatanan wacana untuk produksi dan konsumsi teks. Selain itu, analisis ini juga ingin melihat cara transformasi dan relasi teks satu dengan teks yang lain. Dalam perspektif ekonomi politik kritis, analisis ini memperlihatkan proses komodifikasi dan strukturasi.

Pemaknaan dan makna tidak an sich ada dalam teks atau wacana itu sendiri (Fiske, 1988:143-144). Hal ini bisa dijelaskan bahwa ketika kita membaca teks, maka makna tidak akan kita temukan dalam teks yang bersangkutan. Yang kita temukan adalah pesan dalam sebuah teks. Sebuah peristiwa yang direkam oleh media massa baru mendapat makna ketika peristiwa tersebut ditempatkan dalam identifikasi kultural di mana berita tersebut hadir. Peristiwa demi peristiwa diatur dan dikelola sedemikian rupa oleh para awak media, dalam hal ini oleh para wartawan. Itu berarti bahwa para awak media menempatkan peristiwa ke dalam peta makna. Identifikasi sosial, kategorisasi, dan kontekstualisasi dari peristiwa adalah proses penting di mana peristiwa itu dibuat bermakna bagi khalayak.

Para awak media dalam konteks pemberitaan teks media selalu memperhatikan aspek konsensus sosial. Meskipun demikian, pemahaman awak media terhadap suatu proses produksi media sangat dipengaruhi oleh proses pengolahan peta ideologi pada setiap awak media, dalam hal ini adalah wartawan.

 

Diskusi 4. Penerapan Aplikatif: Paradigma Kritis Dan Wacana Teks Media

Penelitian media massa lebih diletakkan dalam kesadaran bahwa teks atau wacana dalam media massa mempunyai pengaruh yang sedemikian rupa pada manusia (Littlejohn, 2002: 163-183). Seluruh aktivitas dan pemaknaan simbolik dapat dilakukan dalam teks media massa. Pada dasarnya teks media massa bukan realitas yang bebas nilai. Pada titik kesadaran pokok manusia, teks selalu memuat kepentingan. Teks pada prinsipnya telah diambil sebagai realitas yang memihak. Tentu saja teks dimanfaatkan untuk memenangkan pertarungan idea, kepentingan atau ideologi tertentu kelas tertentu. Pada titik tertentu, teks media pada dirinya sudah bersifat ideologis (Littlejohn, 2002:217).

Pembahasan yang harus disadari adalah bukan hanya terletak bahwa teks media selalu bersifat ideologis tapi terutama adalah kemampuan untuk membedakan antara kuasa teks itu sendiri dengan kuasa struktur makro yang secara sengaja atau tidak sengaja merekonstruksi, merepresentasikan dan memaknai teks tersebut (Shoemaker & Reese, 1991: 53-205). Dalam arti bahwa, meski konsumen dan produsen teks media punya opsi bagaimana teks harus disimbolisasikan dan dimaknai tetap saja ada bingkai aktivitas dan opsi mereka yang terbentuk dan dipengaruhi oleh faktor yang berada di luar jangkauan kendali sadar konsumen atau produsen teks media.

Pengenalan dan pemahaman yang cukup komprehensif atas struktur sistem produksi media, rasionalitas dan ideologi yang berada di balik teks media yang bersangkutan menjadi hal yang penting. Diperlukan paradigma penelitian dan metode penelitian yang mampu menelanjangi, menggali dan mengeksplorasi struktur, rasionalitas dan ideologi yang kesemuanya bersifat laten termuat dalam sebuah teks media (Dedy N. Hidayat, 2000: 127-164).

 

Diskusi 5: Penerapan Aplikatif: Wacana Media, Paradigma Dan Teori Kritis

Ilmu komunikasi dapat dikategorikan dalam ilmu pengetahuan yang mempunyai aktivitas penelitian yang bersifat multi paradigma. Ini berarti, ilmu komunikasi merupakan bidang ilmu yang menampilkan sejumlah paradigma atau perspektif dasar pada waktu bersamaan (Hidayat, 1999:431-446). Istilah paradigma sendiri dapat didefinisikan sebagai:

“a set of basic beliefs (or metaphysics) that deals with ultimates or first principles…a world view that defines, for its holder, the nature of the ‘world’…(Guba, dalam Denzin & Lincoln, 1994:107).

Paradigma merupakan orientasi dasar untuk teori dan riset. Pada umumnya suatu paradigma keilmuan merupakan sistem keseluruhan dari berfikir. Paradigma terdiri dari asumsi dasar, teknik riset yang digunakan, dan contoh seperti apa seharusnya teknik riset yang baik (Newman, 1997:62-63).

Terlepas dari segala variasinya, perbedaan antara paradigma yang satu dengan paradigma yang lain dapat dikelompokkan berdasarkan hal yang mendasar. Hal-hal tersebut adalah hal yang berkaitan dengan konsep dan ide dasar ilmu sosial, atau asumsi-asumsi tentang masyarakat, manusia, realitas sosial, opsi moral, serta komitmen terhadap nilai-nilai tertentu.

Setidaknya ada empat paradigma yang bisa dikelompokkan dalam teori-teori penelitian ilmiah komunikasi. Paradigma-paradigma itu adalah sebagai berikut paradigma humanis radikal (radical humanist paradigm), paradigma struktural radikal (radical structuralist paradigm), paradigma interpretif (Interpretive paradigm), dan terakhir adalah paradigma fungsionalis (fungsionalist paradigm).

Guba & Lincoln (1994:17-30) juga menyusun beberapa paradigma dalam teori ilmu komunikasi. Paradigma yang dikemukakan itu terdiri dari paradigma positivistik, paradigma pospositivistik, paradigma kritis, dan paradigma konstruktivisme. Beberapa ahli metodologi dalam bidang ilmu sosial berpendapat bahwa paradigma positivistik dan pospositivistik merupakan kesatuan paradigma, yang sering disebut dengan paradigma klasik. Implikasi metodologis dan teknis dari dua paradigma tersebut, dalam prakteknya, tidak punya banyak perbedaan. Adanya konstelasi paradigma di atas maka teori dan penelitian biasa dikelompokkan dalam tiga paradigma utama, yaitu paradigma klasik, paradigma kritis dan paradigma konstruktivisme. Apabila terjadi tiga pembedaan paradigma dalam ilmu sosial, maka terjadi perbedaan pemahaman terhadap paradigma itu sendiri.

 

Perbedaan antara ketiga paradigma ini juga dapat dibahas dari 4 (empat) dimensi. Keempat dimensi tersebut adalah dimensi epistemologis, dimensi ontologis, dimensi metodologis, serta dimensi aksiologis.

Dimensi epistemologis berkaitan dengan asumsi mengenai hubungan antara peneliti dengan yang diteliti dalam proses memperoleh pengetahuan mengenai objek yang diteliti. Seluruhnya berkaitan dengan teori pengetahuan (theory of knowledge) yang melekat dalam perspektif teori dan metodologi.

Dimensi ontologis berhubungan dengan asumsi mengenai objek atau realitas sosial yang diteliti. Dimensi metodologis mencakup asumsi-asumsi mengenai bagaimana cara memperoleh pengetahuan mengenai suatu obyek pengetahuan. Sedangkan dimensi aksiologis berkaitan dengan posisi value judgments, etika serta pilihan moral peneliti dalam suau penelitian.

Paradigma kritis pada dasarnya adalah paradigma ilmu pengetahuan yang meletakkan epistemologi kritik Marxisme dalam seluruh metodologi penelitiannya. Fakta menyatakan bahwa paradigma kritis yang diinspirasikan dari teori kritis tidak bisa melepaskan diri dari warisan Marxisme dalam seluruh filosofi pengetahuannya. Teori kritis pada satu pihak merupakan salah satu aliran ilmu sosial yang berbasis pada ide-ide Karl Marx dan Engels (Denzin, 2000: 279-280).

Pengaruh idea marxisme – neo marxisme dan teori kritis mempengaruhi filsafat pengetahuan dari paradigma kritis. Asumsi realitas yang dikemukakan oleh paradigma adalah asumsi realitas yang tidak netral namun dipengaruhi dan terikat oleh nilai serta kekuatan ekonomi, politik dan sosial. Oleh sebab itu, proyek utama dari paradigma kritis adalah pembebasan nilai dominasi dari kelompok yang ditindas. Hal ini akan mempengaruhi bagaimana paradigma kritis memcoba membedah realitas dalam penelitian ilmiah, termasuk di dalamnya penelitian atau analisis kritis tentang teks media. Ada beberapa karakteristik utama dalam seluruh filsafat pengetahuan paradigma kritis yang bisa dilihat secara jelas.

Ciri pertama adalah ciri pemahaman paradigma kritis tentang realitas. Realitas dalam pandangan kritis sering disebut dengan realitas semu. Realitas ini tidak alami tapi lebih karena bangun konstruk kekuatan sosial, politik dan ekonomi. Dalam pandangan paradigma kritis, realitas tidak berada dalam harmoni tapi lebih dalam situasi konflik dan pergulatan sosial (Eriyanto, 2001:3-46).

Ciri kedua adalah ciri tujuan penelitian paradigma kritis. Karakteristik menyolok dari tujuan paradigma kritis ada dan eksis adalah paradigma yang mengambil sikap untuk memberikan kritik, transformasi sosial, proses emansipasi dan penguatan sosial. Dengan demikian tujuan penelitian paradigma kritis adalah mengubah dunia yang tidak seimbang. Dengan demikian, seorang peneliti dalam paradigma kritis akan mungkin sangat terlibat dalam proses negasi relasi sosial yang nyata, membongkar mitos, menunjukkan bagaimana seharusnya dunia berada (Newman, 2000:75-87; Denzin, 2000:163-186).

Ciri ketiga adalah ciri titik perhatian penelitian paradigma kritis. Titik perhatian penelitian paradigma kritis mengandaikan realitas yang dijembatani oleh nilai-nilai tertentu. Ini berarti bahwa ada hubungan yang erat antara peneliti dengan objek yang diteliti. Setidaknya peneliti ditempatkan dalam situasi bahwa ini menjadi aktivis, pembela atau aktor intelektual di balik proses transformasi sosial. Dari proses tersebut, dapat dikatakan bahwa etika dan pilihan moral bahkan suatu keberpihakan menjadi bagian yang tak terpisahkan dari analisis penelitian yang dibuat.

Karakteristik keempat dari paradigma kritis adalah pendasaran diri paradigma kritis mengenai cara dan metodologi penelitiannya. Paradigma kritis dalam hal ini menekankan penafsiran peneliti pada objek penelitiannya. Hal ini berarti ada proses dialogal dalam seluruh penelitian kritis. Dialog kritis ini digunakan untuk melihat secara lebih dalam kenyataan sosial yang telah, sedang dan akan terjadi.

Dengan demikian, karakteristik keempat ini menempatkan penafsiran sosial peneliti untuk melihat bentuk representasi dalam setiap gejala, dalam hal ini media massa berikut teks yang diproduksinya. Maka, dalam paradigma kritis, penelitian yang bersangkutan tidak bisa menghindari unsur subjektivitas peneliti, dan hal ini bisa membuat perbedaan penafsiran gejala sosial dari peneliti lainnya (Newman, 2000:63-87).

Dalam konteks karakteristik yang keempat ini, penelitian paradigma kritis mengutamakan juga analisis yang menyeluruh, kontekstual dan multi level. Hal ini berarti bahwa penelitian kritis menekankan soal historical situatedness dalam seluruh kejadian sosial yang ada (Denzin, 2000:170).

Perkembangan teori kritis semakin jelas ketika Sekolah Frankfurt menjadi motor penggerak teori tersebut. Selain bahwa Sekolah Frankfurt bersentuhan dengan perkembangan ilmu sosial kritis pada waktu itu, Sekolah tersebut juga merefleksikan peran media massa pada masyarakat waktu itu. Tentu saja, konteks Jerman pada waktu itu juga sangat dipengaruhi oleh sejarah Jerman pada waktu pemerintahan Hitler (Nazi).

Dalam perkembangan selanjutnya, Sekolah Frankfurt juga menyatakan bahwa ternyata media bisa menjadi alat pemerintah untuk mengontrol publik, dalam arti tertentu media bisa menjadi bagian dari ideological state apparatus (Littlejohn, 2002:213). Dalam hal tertentu, media bukan adalah realitas yang netral dan bebas kepentingan, tapi media massa justru menjadi realitas yang rentan dikuasai oleh kelompok yang lebih dominan dan berkuasa (Rogers, 1994:102-125).

Asumsi dasar dalam paradigma kritis berkaitan dengan keterangan di atas adalah keyakinan bahwa ada kekuatan laten dalam masyarakat yang begitu berkuasa mengontrol proses komunikasi masyarakat. Ini berarti paradigma kritis melihat adanya “realitas” di balik kontrol komunikasi masyarakat. Masalahnya siapa yang mempunyai kekuatan kontrol tersebut? Mengapa mengontrol ? Ada kepentingan apa ? Dengan beberapa kalimat pertanyaan itu, terlihat bahwa teori kritis melihat adanya proses dominasi dan marginalisasi kelompok tertentu dalam seluruh proses komunikasi masyarakat. Hal ini menyatakan bahwa proses penyebaran dan aktivitas komunikasi massa juga sangat dipengaruhi oleh struktur ekonomi politik masyarakat yang bersangkutan.

Proses pemberitaan tidak bisa dipisahkan dengan proses politik yang berlangsung dan akumulasi modal yang dimanfaatkan sebagai sumber daya. Ini merupakan proses interplay, di mana proses ekonomi politik dalam media akan membentuk dan dibentuk melalui proses produksi, distribusi dan konsumsi media itu. Ini berarti bahwa apa yang terlihat pada permukaan realitas belum tentu menjawab masalah yang ada. Apa yang nampak dari permukaan harian belum tentu mewakili kebenaran realitas itu sendiri. Teori kritis pada akhirnya selalu mengajarkan kecurigaan dan cenderung selalu mempertanyakan realitas yang ditemui, termasuk di dalamnya teks media itu sendiri.

Paradigma kritis tidak cukup puas pada jawaban, pola, struktur, simbol dan makna yang tersedia. Perlu ada pemaknaan yang lebih komprehensif dan kritis atas media yang ada. Beberapa keyakinan teori kritis menjadi acuan awal pemahaman kita terhadap studi teks media dalam konteks paradigma kritis.

Teori kritis melihat bahwa media tidak lepas kepentingan, terutama sarat kepentingan kaum pemilik modal, negara atau kelompok yang menindas lainnya. Dalam artian ini, media menjadi alat dominasi dan hegemoni masyarakat. Konsekuensi logisnya adalah realitas yang dihasilkan oleh media bersifat pada dirinya bias atau terdistorsi.

Selanjutnya, teori kritis melihat bahwa media adalah pembentuk kesadaran. Representasi yang dilakukan oleh media dalam sebuah struktur masyarakat lebih dipahami sebagai media yang mampu memberikan konteks pengaruh kesadaran (manufactured consent). Dengan demikian, media menyediakan pengaruh untuk mereproduksi dan mendefinisikan status atau memapankan keabsahan struktur tertentu. Inilah sebabnya, media dalam kapasitasnya sebagai agen sosial sering mengandaikan juga praksis sosial dan politik.

Pendefinisian dan reproduksi realitas yang dihasilkan oleh media massa tidak hanya dilihat sebagai akumulasi fakta atau realitas itu sendiri. Reproduksi realitas melalui media merupakan representasi tarik ulur ideologi atau sistem nilai yang mempunyai kepentingan yang berbeda satu sama lain. Dalam hal ini, media tidak hanya memainkan perannya hanya sekedar instrumen pasif yang tidak dinamis dalam proses rekonstruksi budaya tapi media massa tetap menjadi realitas sosial yang dinamis.

Reproduksi realitas dalam media pada dasarnya dan umumnya akan sangat dipengaruhi oleh bahasa (Littlejohn, 2002:210-211), simbolisasi pemaknaan dan politik penandaan. Bahasa di samping sebagai realitas sosial, tetap bisa dilihat sebagai sebuah sistem penandaan. Sistem penandaan dalam arti bahwa bahasa atau suatu realitas yang ingin menandakan realitas lainnya (peristiwa atau pengalaman hidup manusia).

Dengan demikian, sebuah realitas dapat ditandakan secara berbeda pada peristiwa yang sama. Atau, dapat dikatakan bahwa pemaknaan yang tidak sama bisa dilekatkan kepda peristiwa yang sama. Masalah terjadi ketika suatu makna yang ditafsirkan dan dikonstruksi ulang oleh kelompok tertentu dari peristiwa yang sama tersebut cenderung mendominasi penafsiran. Bagaimana mungkin sebuah makna tertentu bisa lebih unggul dan lebih diterima dibandingkan pemaknaan lainnya ?

Mengapa pemaknaan lain di luar pemaknaan yang sudah ditentukan justru dimarginalisasikan ? Dengan kata lain, bahwa sesungguhnya ketika kita melihat proses bahasa dan pemaknaan, sebetulnya kita juga melihat ranah atau wilayah pertarungan sosial (Stuart Hall, 1982:80). Pertarungan sosial tersebut lebih konkret terbentuk dalam sebuah wacana serta terartikulasikan dalam proses pembentukan dan praksis bahasa.

Kedua, bahasa dalam konteks wacana – terutama dalam konteks wacana komunikasi – sebetulnya mencakup pengiriman pesan dari sistem syaraf satu orang kepada yang lain, dengan maksud untuk menghasilkan sebuah makna sama dengan yang ada dalam benak si pengirim (Tubs & Moss, 1994: 66). Pesan verbal selalu memakai kata. Kata selalu merujuk pada keberadaan sebuah bahasa. Ini berarti kita sepakat bahwa kita menggunakan simbol bahasa dalam aktivitas komunikasi.

Dalam perkembangan ilmu komunikasi modern, bahasa adalah kombinasi kata yang diatur dan dikelola secara sistematis dan logis sehingga bisa dimanfaatkan sebagai alat komunikasi. Dengan demikian, kata merupakan bagian integral dari keseluruhan simbol yang dibuat oleh suatu kelompok tertentu. Jadi, kata selalu bersifat simbolik. Simbol dapat diartikan sebagai realitas yang mewakili atau merepresentasikan idea, pikiran, gagasan, perasaan, benda atau tindakan manusia yang dilakukan secara arbitrer, konvensional dan representatif-intrepretif. Oleh sebab itu, tidak ada hubungan yang berlaku secara alamiah dan selalu bersifat koresponden antara simbol dengan realitas yang disimbolkan.

Ketiga, politik penandaan lebih banyak bermakna pada soal bagaimana praksis sosial pembentukan makna, kontrol dan penentuan suatu makna tertentu. Peran media massa dalam praksis sosial penentuan tanda dan makna tidak melepaskan diri dari proses kompetisi ideologi. Relasi dominasi dan kompetisi ideologis tidak hanya berproses pada tataran aparatur kelompok dominan saja tapi juga melalui produksi dan reproduksi kekuasaan yang berada dalam ruang budaya – tempat di mana makna hidup disusun. Pada proses inilah, terungkap bahwa produksi – konstruksi realitas menghubungkan dimensi politik wacana dengan dimensi politik ruang (M.Shapiro, 1992: 1-6). Hal ini disebabkan bahwa hanya dalam ruang tertentu saja praksis wacana yang lahir dari sejarah dominasi dan kompetisi kultur yang panjang hingga dimenangkannya kompetisi oleh kekuatan paling dominan dan hegemonis yang pada gilirannya menentukan rekayasa politik wacana.

by: A.C.S.


TIPE PERMINTAAN

  1. Permintaan Negatif

Sebuah Pasar berada dalam status permintaan negatif jika sebagian besar pasar tidak menyukai produk tertentu dan bahkan bisa saja membayar untuk mencegahnya. Contoh : vaksinasi, perawatan gigi, vasektomi, dan operasi kantong empedu. Tugas pemasaran adalah menganalisa mengapa pasar tidak menyukai produk tersebut dan apakah program pemasaran yang terdiri dari perancangan ulang produk, harga yang lebih rendah, promosi yang lebih baik, dan dapat mengubah keyakinan dan perilaku pasar.

2.   Permintaan Nol

Adalah konsumen sasaran mungkin tidak sadar atau tidak tertarik pada produk tertentu. Tugas pemasaran adalah menemukan cara untuk menghubungkan manfaat produk tersebut dengan kebutuhan dan minat alami seseorang.

3.   Permintaan Laten

Adalah banyaknya konsumen yang memiliki kebutuhan yang kuat yang tidak dapat dipuaskan oelh produk yang sudah ada. Tugas pemasaran adalah mengukur ukuran pasar potensial dan mengembangkan produk yang dapat memuaskan permintaan tersebut.

4.   Permintaan Menurun

Adalah cepat atau lambat, setiap usaha akan menghadapi permintaan yang menurun pada satu atau lebih produknya. Tugas pemasaran adalah membalikan arah penurunan permintaan melalui pemasaran ulang yang kreatif.

5.   Permintaan Tidak teratur

Adalah terdapatnya permintaan yang berubah-ubah secara musiman atau harian bahkan setiap jam, sehingga menimbulkan masalah kelebihan atau kekurangan kapasitas. Tugas pemasaran adalah mencari jalan untuk mengubah pola permintaan yang sama melalui penetapan harga yang fleksibel, promosi dan insentif lainnya. Ini yang disebut dengan synchromarketing.

6.   Permintaan penuh

Adalah bila perusahaan mengalami kepuasan dengan volume bisnis mereka. Tugas pemasaran adalah mempertahankan tingkat permintaan saat ini ditengah perubahan preferensi konsumen dan peningkatan persaingan.

7. Permintaan berlebihan

Yaitu keadaan dimana permintaan lebih besar daripada penawaran. Keadaan seperti ini biasanya tidak dapat bertahan lama karena akan segera dilirik oleh pengusaha untuk segera memenuhi permintaan tersebut. Disinilah kita dapat merauk keutungan apabila kita jeli melihat peluang-peluang semacam ini.

8. Permintaan Tak Bermanfaat

Adalah produk yang tak bermanfaat akan mengundang usaha yang terorganisir untuk mengurangi konsumsinya. Tugas pemasaran adalah merangkul orang-orang yang menyukai produk yang tak bermanfaat agar menghentikannya.

 

KONDISI PERMINTAAN YANG DIPILIH

PERMINTAAN BERLEBIHAN

Menyesuaikan kapasitas dan permintaan perusahaan jasa umumnya sulit dilakukan, karena jasa bersifat tidak tahan lama (perishable). Selain itu variabilitas dalam kapasitas jasa juga sangat tinggi. Penyebabnya adalah partisipasi pelanggan dalam penyampaian jasa, padahal setiap pelanggan bersifat unik.

Sebagian besar operasi jasa memiliki batas maksimum kapasitas produktif. Jika permintaan melampaui penawaran, maka ada kemungkinan perusahaan akan kehilangan sebagian pelanggannya atau mungkin juga pelanggan terpaksa menunggu. Kondisi ini kontras dengan keadaan bila penawaran melebihi permintaan, di mana kapasitas produktif tersebut akan hilang begitu saja karena tidak dapat disimpan. Oleh karena itu setiap perusahaan jasa perlu memahami faktor-faktor yang membatasi kapasitasnya dari pola permintaan yang dihadapi.

Dalam setiap momen tertentu, jasa berkapasitas tetap akan menghadapi salah satu dari empat kondisi berikut:

1. Permintaan berlebihan

Dalam kondisi ini, tingkat permintaan jauh melampaui kapasitas maksimum yang tersedia. Sebagai akibatnya ada sebagian pelanggan yang tidak dapat dilayani dan perusahaan kehilangan para pelanggan tersebut.

2. Permintaan melampaui kapasitas optimum

Dalam kondisi ini, tidak ada satupun pelanggan yang ditolak atau tidak dilayani. Akan tetapi kondisinya sangat ramai/penuh sesak, sehingga hampir semua pelanggan kemungkinan besar mempersepsikan adanya penurunan kualitas jasa yang diberikan perusahaan.

3. Permintaan dan penawaran seimbang pada tingkat kapasitas optimum

Staf dan fasilitas perusahaan sibuk tanpa harus memiliki beban kerja yang berlebihan, dan para pelanggan menerima jasa berkualitas tanpa ada penundaan.

4. Kapasitas berlebihan

Permintaan berada di bawah tingkat kapasitas optimum, sehingga ada sebagian sumber daya yang terbuang percuma (ada kapasitas menganggur).

Pada keempat kondisi di atas, kapasitas maksimum yang tersedia dibedakan dengan kapasitas optimum. Apabila permintaan melampaui kapasitas maksimum, maka sebagian pelanggan potensial tidak terlayani dan perusahaan kemungkinan akan kehilangan mereka selamanya. Sedangkan jika permintaan berada di antara kapasitas optimum dan maksimum, maka ada risiko bahwa semua pelanggan yang dilayani pada saat itu akan menerima pelayanan yang kurang baik, sehingga mereka tidak puas.

Implikasi Variasi/Permintaan Terhadap Kapasitas

a)      Permintaan melebihi kapasitas (peluang bisnis hilang)

b)      Permintaan melampaui kapasitas optimum (kualitas jasa menurun)

c)      Kapasitas berlebih (pemborosan suniber daya)

Meskipun demikian, kadangkala kapasitas optimum dan maksimum sama saja. Misalnya panggung pertunjukan (musik, drama, teater, film) atau stadion, semakin banyak yang menonton (bahkan bila kapasitas terisi penuh), maka para penonton akan semakin puas dan gembira. Di lain pihak ada pula situasi di mana pelanggan akan merasakan pelayanan yang lebih baik jika perusahaan tidak beroperasi pada kapasitas penuhnya. Sebagai contoh, kualitas jasa fotokopi bisa menurun apabila semua mesin fotokopi terpakai dan jadwalnya sangat padat. Akibatnya sebagian pelanggan terpaksa harus menunggu gilirannya.

Ada dua pendekatan pokok untuk mengatasi masalah fluktuasi permintaan, yaitu menyesuaikan tingkat kapasitas untuk memenuhi variasi permintaan dan mengelola tingkat permintaan.

Selain itu, tugas pemasaran yang disebut ”demarketing”, perlu menemukan cara untuk mengurangi permintaan secara sementara atau permanen. Demarketing menyeluruh bertujuan mengurangi permintaan secara menyeluruh dengan menaikkan harga atau mengurangi promosi serta pelayanan. Demarketing selektif bertujuan untuk mengurangi permintaan dari bagian pasar yang kurang menguntungkan atau kurang membutuhkan pelayanan. Demarketing tidak bertujuan menghancurkan permintaan, hanya mengurangi tingkatnya secara sementara atau permanen.

 

POSISI PERSAINGAN

Perkembangan dunia bisnis sangat pesat didukung dengan berbagai strategi dan kebijakan yang diterapkan untuk dapat masuk ke persaingan pasar dan juga untuk bisa bertahan dalam pasar yang ada.

MARKET FOLLOWER

Perusahaan seperti ini lebih suka menawarkan hal-hal yang serupa, biasanya dengan meniru produk perusahaan yang memimpin. Setiap market follower selalu menonjolkan sifat khasnya kepada target pasar, misalnya lokasi, jasa pelayanan, atau keuangannya. Strategi umum yang biasa dilakukan oleh market follower yaitu:

  1. Mengikuti dari dekat. Market follower berusaha menyamai perusahaan pemimpin pasar pada sebanyak mungkin segmen pasar dan wilayah bauran pemasaran.
  2. Mengikuti dari jauh. Dalam strategi ini market follower membuat beberapa differensiasi, namun tetap mengikuti market leader dalam hal pembauran pasar.
  3. Mengikuti secara selektif. Market follower mengikuti dengan dekat beberapa hal yang dilakukan market leader, namum pada hal-hal yang lain perusahaan berjalan dengan sendiri.

Zaman telah berubah dan benar-benar terus berubah. Tak satu pun orang, atau bahkan perusahaan, yang mampu menghentikan perubahan itu. Ibarat air mengalir, ia akan terus mengalir deras tanpa batas. Arahnya jelas, menuju ke mana ia harus melangkah.

Begitu pula dengan dunia pemasaran. Andaikan pasar itu lautan, airnya tampak terhampar luas tanpa ujung. Di situlah ikan-ikan bersaing mencari makan. Di tempat itulah para marketer berlomba menaklukkan konsumen.

Kemudian muncullah apa yang dinamakan persaingan. Dan, saat ini persaingan itu sudah semakin rapat, padat, ketat, sengit. Karena itu, marketer rela melakukan apa saja untuk sekadar merebut secuil pasar yang dimasukinya. Salah satu contohnya ialah menjadi brand follower.

Brand follower dapat didefinisikan sebagai merek pengikut alias merek imitasi (immitation brand). Di Indonesia, merek semacam ini sungguh banyak. Jadi, yang harus diingat oleh brand pioneer, keberadaan merek pengikut tersebut tidak bisa diabaikan.

Steven P. Schnaars dalam bukunya Managing Immitations Strategies yang menyatakan, “But many who are now first will be last and many for a last will be first. Now that is sage advice for later entrant…”. Artinya, banyak yang pertama menjadi terakhir dan yang terakhir menjadi pertama.

Sebagai marketer, kita bisa memahami ada banyak peluang bagi brand follower menjadi market leader (pemimpin pasar) dan market leader tergeser menempati posisi follower. Sebab, biasanya brand follower juga memiliki banyak keunggulan yang dapat mengancam pionir.

Meski demikian, brand pioneer tetap yang berpeluang paling besar menjadi market leader. Beberapa keunggulan pionir:

  • Pertama, mereka mempunyai konsumen yang loyalitasnya tinggi. Tentu karena mereka yang pertama masuk ke dalam mind (pikiran)-nya konsumen.
  • Kedua, posisi mereka pada umumnya sangat mantap di pasar. Jadi, mereka memiliki the best market position.
  • Ketiga, biasanya mereka (first mover advantage) dilatarbelakangi kepemimpinan dalam hal teknologi.
  • Keempat, mereka juga mempunyai dana yang lebih besar serta research and development yang kuat.
  • Kelima, mereka lebih dahulu memiliki akses ke perantara (distributor) dan diingat oleh perantara sebagai yang pertama. Ini juga keuntungan tersendiri.
  • Keenam, adanya suatu experience effect dari para pionir jauh di atas para pendatang yang terlambat masuk ke pasar.
  • Terakhir, Ketujuh, mereka sudah menciptakan suatu hambatan yang sangat tinggi bagi pesaing-pesaing yang masuk belakangan. Jadi, sebetulnya banyak sekali keuntungan yang telah digenggam oleh sang pionir. Itu harus dikelola tanpa henti.

 

FOLLOWER CHANCE

 

Setelah brand pioneer menenteng sederet keunggulan, mungkinkah itu menutup kesempatan bagi para free rider effect, sebutan bagi para later entrants (follower), untuk memenangkan persaingan? Jawabannya tidak! Betul kata Schnaars, yang pertama bisa jadi terakhir dan sebaliknya.

Terang saja begitu, sebab follower juga menawarkan banyak kelebihan. Kelebihan itu, antara lain:

  • Pertama, mereka bisa menghindari produk-produk yang tidak potensial.
  • Kedua, apabila produk itu punya risiko, risikonya sudah ditanggung oleh pionir. Ini yang membuat mereka selamat dari mara bahaya.
  • Ketiga, biaya research and development-nya lebih kecil dibandingkan dengan market leader. Sebab, follower masuk ke pasar belakangan di saat pasar itu sudah terbentuk.
  • Keempat, mereka punya peluang untuk mendapatkan market share dari market leader. Kalau pasarnya lemah biasanya follower akan mudah menggerusnya.
  • Kelima, mereka sangat low cost of educating consumers. Mereka tidak terlalu dituntut banyak untuk mengedukasi konsumen, misalnya tentang manfaat produk yang dipasarkan. Karena, proses edukasi sebelumnya sudah dilakukan oleh market leader. Konsumen sudah mengerti apa benefit dari produk itu.

Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa brand follower sebetulnya juga mengusung banyak keunggulan. Lalu, strategi apa saja yang digunakan follower untuk menyerang market leader? Umumnya strategi yang digunakan ada tiga, yakni:

  • Cloner,
  • Immitator, dan
  • Adabtor.

 

  • Cloner berarti mengikuti produk, distribusi, iklan yang sama persis seperti pionir. Mereka meniru habis-habisan, hidup bak parasit dari investasi market leader. Perusahaan market follower berupaya meniru dan menyamai segmen pasar dan bauran pemasaran pemimpin pasar. Market Follower yang menerapkan strategi ini seringkali dianggap parasit karena sedikit sekali berbuat untuk menstimuli pasar. Dalam kasus yang ekstrim, beberapa perusahaan pengikut ada yang menjiplak atau bahkan ‘memalsukan’ produk-produk yang populer milik pemimpin pasar.

Di Indonesia, banyak marketer yang bermental seperti ini. Ketika saya pergi ke Mangga Dua, di sana ada pulpen yang persis seperti Mont Blanck buatan setempat. Ada jeans buatan Tanah Abang dan sebagainya. Padahal, Mont Blanck dan jeans asli itu kita tahu dibuat di negara “Barat” nan jauh di sana.

  • Immitator, mereka meniru beberapa hal dari pionir dan mencoba membedakan dalam hal kemasan, iklan, harga, dan sejenisnya. Dalam strategi ini, perusahaan market follower membuat beberapa diferensiasi, namun tetap meniru pemimpin pasar dalam hal pembahruan pasar dan bauran pemasaran. Perusahaan market follower yang menerapkan strategi ini bisa diterima oleh pemimpin pasar karena kegiatan pemasarannya tidak begitu terganggu dank arena pangsa pasar pengikut tersebut membantu pemimpin agar tidak dianggap sebagai monopolis.

  • Adapter, mereka mengikuti pionir lalu mengadaptasi serta memperbaiki apa yang menjadi kelemahan pionir itu. Ambil contoh, Wings Group termasuk satu anggota kelompok ini.

 

Cirinya adalah mereka selalu melihat apa yang menjadi kelemahan market leader, dalam hal ini Unilever, misalnya, kemudian mencoba memperbaikinya. Contoh produknya, Smile Up mengikuti Close Up milik Unilever, Mi Sedaap mengikuti Indomie punya Indofood, Ale-Ale seperti Frutang, dan lain sebagai.

Dari perusahaan lain, ada juga permen Kino (Kino Group) mengikuti Kopiko sehingga Kopiko sempat pontang-panting hingga kemudian terpaksa mengubah tagline-nya. Bahkan, follower yang sukses mengambil alih tampuk market leader ialah minuman energi Kuku Bima Energi. Merek besutan Sido Muncul ini berhasil melampaui penjualan Extra Joss yang pionir dan menguasai pasar sebelumnya.

Selain itu, strategi yang mereka sodorkan antara lain:

  • Mereka bisa menawarkan harga yang lebih rendah. Mereka bermain di value marketing. Contoh mudah yang pernah kita lihat adalah hadirnya rokok merek Star Mild ke pasar kala itu. Merek tersebut berhasil “merampok” market share di kelas mild dengan persentase lumayan besar karena menawarkan harga produk lebih rendah daripada A Mild, merek yang lebih dahulu ada.

 

  • Mereka mempunyai kesempatan memperbaiki produk dengan cara menggunakan teknologi yang lebih canggih. Ketiga, ini yang paling banyak dilakukan oleh para follower di Tanah Air dan cukup berhasil, yaitu menggunakan market power. Ini seperti yang dilakukan Wings Food terhadap Indofood tadi dan sukses.

 

Implikasi dari market power itu ialah the most effective where advertising and distribution are key. Iklan dan distribusi menjadi kekuatan utama dalam menghadapi market power. Karena pasarnya sudah ada dan besar, dua sisi itu telah terbukti paling efektif untuk meraih market share bagi follower.

Apa yang diperoleh penrusahaan pengikut? Biasanya lebih rendah daripada pemimpin. Misalnya, penelitian atas sejumlah perusahaan pengolah makanan menunjukkan bahwa perusahaan terbesar memiliki ROI (Return Of Investment) rata-rata 16 persen; perusahaan nomor dua, 6 persen; perusahaan nomor tiga, -1 persen; dan perusahaan nomor empat, -6 persen. Dalam hal itu, hanya dua perusahaan yang memiliki laba. Strategi mengikut pemimpin tidak selalu merupakan jalan yang menguntungkan.

The most powerful entry for follower, yaitu value leadership, real supperior product, dan full superior marketing effort.

Perubahan dan persaingan merangkak seiring sejalan. Resesi finansial global sekarang ini juga memicu perubahan dan ketatnya persaingan. Di dalam perubahan dan persaingan itu terdapat kata menang dan kalah. Oleh karena itu, menyusun strategi dengan tepat dan smart adalah sangat penting, agar kemenangan ada di tangan merek kita. Jika follower, jadilah brand follower yang sukses. Bukankah the last will be first?

 

CONTOH KASUS:

Produk air minum Fons sebagai market follower untuk mengikuti jejak keberhasilan pioneer brand dalam menjaring konsumen CV. Indo Tirta Niagara.

PT Indo Tirta Niagara adalah salah satu dari produsen air minum mineral kemasan yang mencoba untuk masuk dalam pasar air minum mineral kemasan yang sangat bersaing. Perusahaan ini berupaya untuk mendiferensiasikan produk yang bermerk Fons diantara sekian produk sejenis.

Melalui analisis SWOT dan CPM, maka strategi yang harus dilakukan merek Fons untuk mengikuti keberhasilan pionerr brand yaitu Aqua dimungkinkan untuk direalisasikan. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa berdasarkan hasil kalkulasi analisis SWOT, kekuatan (strength) mendapatkan score sebesar 0,70, sedang kelemahan dengan score 0,42. Dari sisi pandang eksternal, peluang mendapatkan score sebesar 0,75 sedang ancaman mendapatkan score sebesar 1,53.

Dengan menjumlahkan antara penilaian sisi internal dan sisi eksternal, maka dari sisi internal diperoleh score sebesar 0,28. Sedang dari sisi eksternal dengan score negatif sebesar -0,78. Hasil analisis matrik tersebut menunjukkan bahwa CV Indo Tirta Niagara berada dalam kondisi ancaman yang cukup tinggi intensitasnya, terutama ditopang dengan pertumbuhan perusahaan pesaing.

Dilihat dari hasil analisis the competitive profile matrix, maka posisi Fons berada paling
rendah diantara empat merek lainnya dengan nilai 2,35. Sedangkan paling tinggi dari hasil analisis competitive profile matrix ditempati oleh Aqua. Berangkat dari hasil analisis ini, maka sudah selayaknya jika Fons harus banyak belajar dari merek-merek lain khususnya merek Aqua.

Dalam perspektif ini, strategi yang akan diterapkan tidak terlepas dari analisis SWOT yang telah diajukan. Penilaian responden yang merupakan  konsumen dari CV Indo Tirta Niagara sebagai dasar yang kuat untuk menetapkan strategi yang akan dipilih. Adapun solusi yang ditawarkan yaitu: customer relationship marketing, purchase point strategy, evaluasi efektifitas strategi. Melalui implementasi strategi tersebut, sangat dimungkinkan Fons akan mampu mengikuti keberhasilan pioneer brands yaitu Aqua.

 

DAFTAR RUJUKAN

Tjiptono, Fandi. 1997. Strategi Pemasaran. Yogyakarta: C.V Andi Offset

Kotler, P. 1994. Marketing Management: Analysis, Planning, Implementation, and Control, 8th ed. Englewood Cliffs, N.J.: Prentice-Hall International.

 

PERSONAL SELLING

by: A.C.S.


  1. A. DEFINISI

Kegiatan personal selling merupakan bagian dari kegiatan promosi yaitu cara untuk memperkenalkan dan menarik minat konsumen terhadap produk yang di tawarkan secara tatap muka. Promosi ini merupakan salah satu variable di dalam marketing mix yang sangat penting untuk dilaksanakan oleh perusahaan dalam menawarkan produknya.

Personal selling merupakan alat promosi yang sifatnya secara lisan, baik kepada seseorang maupun lebih calon pembeli dengan maksud untuk menciptakan terjadinya transaksi pembelian yang saling menguntungkan bagi kedua belah pihak, dengan menggunakan manusia sebagai alat promosinya. Komunikasi yang dilakukan kedua belah pihak bersifat interaktif atau komunikasi dua arah sehingga penjual dapat langsung memperoleh tanggapan sebagai umpan balik tentang keinginan dan pendapat komsumen. Penyampaian berita atau proses komunikasi dapat dilakukan dengan sangat fleksibel karena dapat disesuaikan dengan situasi yang ada.

Berikut beberapa definisi mengenai Personal Selling:

Personal selling is oral communication with potential buyers of a product with the intention of making a sale. The personal selling may focus initially on developing a relationship with the potential buyer, but will always ultimately end with an attempt to “close the sale”

Personal selling is one of the oldest forms of promotion. It involves the use of a sales force to support a push strategy (encouraging intermediaries to buy the product) or a pull strategy (where the role of the sales force may be limited to supporting retailers and providing after-sales service).

Personal selling adalah komunikasi langsung (tatap muka) antara penjual dan calon pelanggan untuk memperkenalkan suatu produk kepada calon pelanggan dan membentuk pemahaman pelanggan terhadap produk sehingga mereka kemudian akan mencoba dan membelinya.

Personal selling adalah salah satu sarana komunikasi yang membawa pesan sesuai dengan kebutuhan dan keyakinan spesifik dari setiap konsumen adalah penjualan personal/personal selling (Spiro dan Weitz, 1990). Kita dapat menggambarkan personal selling sebagai dyadic communication yang melibatkan 2 orang atau lebih dimana penjual menyajikan informasi-informasi tentang suatu produk secara lansung kepada konsumen (face-to-face) sehingga kita akan mendapatkan efek dan feedback yang secara cepat dapat kita tindak lanjuti. Menurut Kotler (2003) Personal selling adalah seni penjualan yang kuno. Kita dapat menemukan berbagai buku yang membahas tentang personal selling. Walaupun kuno, personal selling adalah alat yang paling efektif dalam proses menghasilkan proses pembelian, terutama dalam membangun preferensi, keyakinan, dan tindakan pembelian.

Sales people yang efektif lebih dari sekedar memiliki naluri dalam penjualan, namun mereka dapat dilatih sehingga memiliki kemampuan dalam metode-metode analisis dan manajemen pelanggan. Sales people fokus pada komunikasi interpersonal, memahami kebutuhan dan karakteristik konsumen, membentuk dan menjaga hubungan dengan konsumen, dan unit analisisnya ada pada tim penjualan.

 

  1. A. SIFAT-SIFAT PERSONAL SELLING

Personal selling merupakan salah satu alat promosi yang paling efektif terutama dalam bentuk preferensi, keyakinan dan tindakan pembeli.menurut Philip Kotler (1997 :224) dalam bukunya manajemen pemasaran, personal selling bila di bandingkan dengan periklanan memeiliki tiga sifat khusus, yaitu :

  • Konfrontasi Personal (Personal Confrontation)

 

Personal selling mencakup hubungan yang hidup, langsung dan interaktif antara dua orang atau lebih. Masing masing pihak dapat melihat kebutuhan dan karakteristik pihak lain secara lebih dekat dan segera melakukan penyesuaian.

  • Pengembangan (cultivation)

Personal selling memungkinkan timbulnya berbagai jenis hubungan mulai dari hubungan penjualan sampai dengan hubungan persahabatan.

  • Tanggapan (Response)

Personal selling membuat pembeli merasa berkewajiban untuk mendengar, memperhatikan dan menanggapi wiraniaga.

  1. B. BENTUK-BENTUK PERSONAL SELLING

Menurut Djasmin Saladin dan Yevis Merti Oesman (1994 : 195) terdapat tiga bentuk dari personal selling, yaitu:

  • Retail Selling

Tenaga penjual melakukan penjualan dengan jalan melayani konsumen yang datang ke toko atau perusahaan.

  • Field Selling

Tenaga penjual yang melakukan penjualan di luar perusahaan, yakni dengan mendatangi konsumen ke rumah-rumah perusahaan, kantor-kantor dan lain-lain.

  • Executive Selling

Pimpinan perusahaan yang bertindak sebagai tenaga penjual yang melakukan penjualan.

Didalam suatu perusahaan bentu – bentuk personal selling tersebut kadang digunakan secara bersama sama – sama dan kadang hanya menggunakan salah satu bentuk saja. Hal tersebut disesuaikan dengan produk yang ditawarkan, pasar yang dituju, dan kemampuan perusahaan. Tetapi bentuk manapun yang dipilih, perusahaan harus menentukan bentuk yang paling cocok dan efektif dalam mencapai sasaran.

  1. C. TUGAS PERSONAL SELLING

 

Menurut Saladin , tugas dari personal selling adalah:

  • Mencari calon pembeli (prospekting)

Personal selling setuju untuk mencari pelanngan bisnis baru yang kemudian dijadikan sebagai pelanggan bisnis potensial bagi perusahaannnya.

  • Komunikasi (communicating)

Personal selling memberikan informasi yang dibutuhkan oleh pelanggan bisnis tentang produk yang jelas dan tepat.

  • Penjualan (selling)

Personal selling harus tahu seni menjual, mendekati pelanggan bisnis sasaran, mempresentasikan produk, menjawab keberatan-keberatan, menutup penjualan.

  • Mengumpulkan Informasi (information gathering)

Personal selling melakukan riset pasar sehingga mendapatkan informasi tentang pelanggan bisnis dan keadaan pasar serta membuat laporan kunjungan baik yang akan dilakukan maupun yang telah dilakukan.

  • Pelayanan (servising)

Personal selling melakukan pelayanan kepada pelanggan bisnis, mengkomunikasikan masalah pelanggan bisnis, memberikan bantuan teknis dan melakukan pengiriman.

  • Pengalokasian (allocation)

Personal selling setuju untuk memutuskan pelanggan bisnis mana yang akan lebih dulu memperoleh produk bila terjadi kekurangan produk pada produsen.

 

  1. D. LIMA ASPEK PENTNG DALAM PERSONAL SELLING

Terdapat 5 aspek penting dalam personal selling:

  1. 1. Professionalism (Profesionalisme)
  2. 2. Negotiation (Negosiasi)
  3. 3. Relationship Marketing (Pemasaran Hubungan)
  4. 4. Selling person role (Peran penjual pribadi)
  5. 5. Managerial


1) PROFFESINALISM

Professionalisme seorang sales person dalam bekerja sangatlah diperlukan. Apalagi di era globalisasi dan persaingan seperti sekarang sangat menuntut para sales person untuk bekerja seefektif mungkin dalam seni menjual. Sales people yang baik bukan hanya mereka yang secara pasif hanya menerima pesanan, namun mereka juga diharuskan menjadi pencari pesanan yang aktif. Maksud dari penerima pesanan pasif berasumsi bahwa konsumen adalah mereka yang mengetahui apa yang mereka butuhkan dan membenci upaya persuasi yang dilakukan sales person. Sekarang, banyak perusahaan menginvestasikan dananya secara besar-besaran untuk pembiayaan pelatihan sales personnya. Mereka diberi berbagai macam training untuk meningkatkan kemampuan mereka dalam menjual.

Terdapat dua pendekatan pelatihan yang dilakukan untuk mengubah sales person bekerja lebih efektif. Pertama adalah sales-oriented-approach (pendekatan berorientasi penjualan) dengan teknik-teknik khas tekanan tinggi (hing-pressure techniques). Teknik ini berasumsi bahwa konsumen tidak akan melakukan kegiatan pembelian kecuali ia mendapat tekanan, bahwa konsumen akan terpengaruh oleh presentasi sales yang cerduk, dan mereka tidak akan merasa menyesal telah membeli barang tersebut, jikapun menyesal, hal itu tidak akan menjadi masalah.

Sedangkan pendekatan yang kedua adalah customer-oriented approach (pendekatan berorientasi pada pelanggan). Pendekatan ini berasumsi bahwa konsumen memiliki kebutuhan penting yang “terpendam” dan sales person harus pintar untuk menggali pemikiran konsumen. Sales person dilatih untuk mendengarkan konsumen dan mengajukan berbagai pertanyaan guna mengindentifikasi kebutuhan yang dimiliki konsumen. Pada akhirnya sales person harus bisa memberikan solusi terbaik berupa produk apa yang cocok untuk menyelesaikan masalah konsumen. Dalam pendekatan ini sales person harus bisa menghargai segala masukan yang membangun dari konsumen. Tidak ada pendekatan yang terbaik dalam segala situasi, tetapi pada umumnya program training salesperson diarahkan pada langkah-langkah utama dalam proses penjualan yang efektif.

Berikut merupakan langkah-langkah utama dalam proses penjualan yang efektif:

  1. Mencari pelanggan dan melakukan kualifikasi : dulu, perusahaan membiarkan sales personnya untuk mencari calon konsumen. Namun, seiring dengan berjalannya waktu, perusahaan lah sekarang yang mengambil alih untuk mencari dan mengkualifikasi calon konsumen sehingga sales person dapat menggunakan waktu nya untuk melakukan pekerjaanya dengan lebih baik.
  1. Pendekatan pendahuluan : sales person harus mempelajari sebanyak mungkin tentang  calon pelanggannya (siapa dan apa yang mereka butuhkan) dan diri sales person itu sendiri. Sales person dapat mencari bahan referensi tentang calon pelanggan untuk merencanakan pendekatan hubungan terbaik yang akan dijalin dengan calon pelanggannya.

 

  1. Pendekatan : sales person harus tahu bagaimana cara berkomunikasi dengan calon konsumen dan bagaimana memulai hubungan dengan langkah awal yang terbaik sehingga calon konsumen merasa nyaman ketika sedang bertransaksi.
  1. Presentasi dan peragaan :   bagaimana sales person dapat “menceritakan” tentang produk yang ia tawarkan. Bagaimana tentang fitur dari produk, keuntungan yang dapat diambil dari penggunaan produk, manfaat dari produk, serta nilai (value) yang terdapat pada produk tersebut.
  1. Mengatasi keberatan : biasanya para pelanggan mengajukan keberatannya selama sales person melakukan presentasi. Sales person yang baik harus dapat mengatasi hal tersebut dengan pendekatan yang positif. Sales person dapat meminta konsumen untuk menjelaskan keberatannya, bertanya kembali kepada konsumen sehingga konsumen dapat menjawab sendiri pertanyaannya, menyanggkal kebenaran dari keberatan tersebut, dan mengubah keberatan menjadi alasan untuk membeli,
  2. Menutup penjualan : sales person mungkin merasa sulit dan tidak percaya diri untuk melakukan penutupan penjualan. Maka dari itu sales person harus dapat memancing dengan menawarkan pancingan khusus untuk menutup penjualan seperti harga khusus, diskon, bonus, atau pemberian hadiah.
  1. Tindak lanjut dan pemeliharaan : tindak lanjut dilakukan untuk mengetahui tingkat kepuasan konsumen dan kelanjutan bisnis dan melakukan pemeliharaan hubungan dengan konsumen.

 

2) NEGOTIATION

Negosiasi merupakan salah satu aspek penting dalam penjualan personal. Dalam negosiasi kedua pihak yaitu penjual dan pembeli membuat kesepakatan tentang harga, kuantitas, dan syarat-syarat lainnya. Dalam negosiasi kedua pihak dapat saling tawar-menawar untuk membuat suatu kesepakatan. Oleh sebab itu salesperson perlu untuk memiliki keahlian dalam bernegosiasi. Dalam kondisi dan situasi tertentu negosiasi merupakan kegiatan yang tepat menutup penjualan, terutama ketika sudah ada zona kesepakatan/zone of agreement. Zona kesepakatan ini terjadi ketika hasil-hasil perundingan sudah dapat diterima oleh kedua pihak baik pembeli maupun penjual.

Dalam negosiasi, strategi adalah hal penting dalam penjualan secara sukses. Strategi negosiasi adalah suatu komitmen terhadap pendekatan yang menyeluruh yang berpeluang untuk mencapai tujuan perundingan. Beberapasalesperson ada yang menggunakan strategi keras/hard sementara yang lain menggunakan strategi lunak/soft.

Seorang negosiator juga menggunakan taktik yang biasa disebut sebagai taktik perundingan. Taktik ini seperti sebuah manuver yang dibuat sesuai dengan kondisi tertentu. Taktik harus selaras dengan strategi yang digunakan dalam bernegosiasi. Misal, jika ada pihak lain yang lebih kuat maka kita dapat menggunakan taktik BATNA (Best Alternative to a Negotiated Agreement). Taktik ini menjelaskan tentang bagaimana kita harus dapat mengidentifikasi alternatif lain jika tidak terjadi penyelesaian dengan menentukan standar-standar untuk mengukur setiap tawaran. Sehingga kita bisa terbebas dari tekanan-tekanan untuk menerima syarat-syarat yang tidak menguntungkan dari lawan yang lebih kuat.

Taktik lainnya adalah tanggapan yang dimaksudkan untuk menipum membuat melenceng, atau memengaruhi perundingan tersebut. Seorang negosiator harus pandai-pandai mengenali taktik yang digunakan lawannya dan berusaha untuk menyusun taktik balasan agar tidak terjadi kerugian dipihaknya.

 

3) RELATIONSHIP MARKETING

Dalam personal selling, selling person tidak hanya dituntut untuk dapat melakukan penjualan secara efektif dan melakukan negosiasi yang menguntungkan, namun lebih dari itu. Seorang selling person harus dapat membangun hubungan jangka panjang yang saling menguntungkan dengan konsumen. Tidak hanya konsumen, melainkan dengan para stakeholder yang terlibat di kegiatan usaha tersebut.

Kegiatan relationship marketing adalah upaya kita untuk menarik, memelihara, dan meningkatkan hubungan dengan konsumen. Menarik disini bisa dikatakan sebagai langkah “perantara” dalam proses pemasaran. Sedangkan memelihara dan meningkatkan adalah upaya kita untuk menjadikan konsumen loyal kepada produk kita dan melayani konsumen sesuai dengan kebutuhan mereka. Intinya, dengan relationship marketing ini, dipihak pengusaha dapat menghasilkan laba yang besar dan tujuan dari masing-masing pihak pun akan tercapai dan merasa terpuaskan.

Tujuan khusus relationship marketing adalah:

  • Merancang hubungan jangka panjang dengan konsumen/pelanggan untuk meningkatkan nilai bagi kedua pihak; dan
  • Memperluas ide hubungan jangka panjang menjadi kerjasama horisontal maupun vertikal secarapartnership. Hubungan jangka panjang ini dilakukan dengan supplier, pelanggan, distributor, serta dalam situasi dan kondisi tertentu dapat juga dengan pesaing (Sutarso, 2003). Menurut Goni yang dikutip oleh Kussudyarsana (2003), dalam relationship marketing perusahaan sebaiknya lebih mengutamakan hubungan jangka panjang dengan konsumen, dimana konsumen adalah mitra bisnis bukan sebagai objek semata.

 

Menurut Aaker (2001), ada tiga elemen kunci dalam prosesrelationship marketing yaitu:

  • Mengidentifikasi dan membangundatabasse konsumen dan konsumen potensial yang mencakup data demografi, lifestyle, dan informasi pembelian;
  • Menyampaikan pesan yang berbeda kepada konsumen melalui media yang didasarkan pada karakteristik dan preferences konsumen; dan
  • Menggali informasi setiap hubungan dengan konsumen untuk memonitor biaya guna mendapatkan pelanggan dan gaya hidup dari pembelian yang dilakukan.

 

Sementara itu manfaat yang didapat oleh konsumen dengan adanya relationship marketing antara lain social benefit dan manfaat ekonomi. Manfaat ini social benefit mencakup perasaan saling kenal/familiarity, pemahaman secara personal/personal recognition, persahabatan, rapport, dukungan sosial/social support, menikmati hubungan pertemanan, dan meluangkan waktu dengan teman. Sedangkan manfaat ekonomi, konsumen akan mendapatkan harga yang berbeda dengan konsumen biasa. Manfaat lain dari relationship marketing adalah keamanan dan fungsional. Manfaat fungsional meliputi penghematan waktu/time saving, kemudahan/convenience, nasehat/advice, dan pengambilan keputusan lebih baik/better purchase decision (Kussudyarsana, 2003).

Relationship marketing memang memiliki dasar bahwa bagaimana usaha sales person untuk melayani segala kebutuhan konsumen dan memberikan perhatian secara terus-menerus. Namun relationship marketing tidak dapat diterapkan di segala kondisi. Makadari itu, seorang sales person harus mengetahui dan mempelajari konsumennya. Konsumen mana yang dapat merespon relationship marketing secara menguntungkan sehingga apa yang dikerjakan tidak sia-sia.

 

4) SELLING PERSON ROLE

Peran seorang selling person akan berbeda-beda di berbagai perusahaan. Sales person mungkin bisa berperan sebagai pengambil pesanan atau pengemban tanggung jawab utama sebagai konsultan bagi konsumen. Sales person harus memiliki fleksibilitas dalam mengerjakan peran yang akan ia kerjakan dalam bauran pemasaran. Menurut Burnett (1993), membagi tipe personal sellingmenjadi lima, yaitu:

 

1. Responsive selling. Salespeople bertugas untuk memenuhi permintaan konsumen. Dalam tipe ini biasanya salespeople mengadakan perjalanan dan menjumpai banyak pengecer.

2. Trade selling. Salespeople bertindak sebagai order taker (menerima pesanan), tetapi lebih fokus pada pelayanan.

3. Missionary selling. Tugas utamanya adalah mempromosikan produk baru, kadang-kadang melakukan order taker.

4. Technical selling. Salespeople menyelesaikan masalah konsumen dengan keahlian dan pengalamannya.

5. Creative selling. Biasanya berhubungan dengan produk, menangani masalah-masalah serius dan memberikan solusi terbaik.

 

5) PERSONAL SELLING MANAGERIAL

Para sales person harus dikelola secara baik. Para sales person akan memiliki kemampuan, motivasi, dan kinerja yang berbeda-beda. Mereka harus dikontrol disatu divisi agar tujuan kerja mereka akan mudah untuk ditentukan, diawasi, dan dievaluasi hasilnya.

Dari awal perekrutan, kita harus mencari selling person yang memiliki motivasi positif untuk bekerja sebagai selling person yang efektif. Mereka harus bisa menjadi orang yang fleksibel, komunikatif, dan mau dilatih untuk menjadi selling person yang semakin lama semakin handal. Mereka adalah investasi perusahaan yang harus dapat dimaksimalkan sumber dayanya.

Lalu mendefinisikan proses penjualan yang akan mereka (selling person) jalankan. Mereka harus diberikan jabaran tugas secara jelas sehingga mereka dapat bekerja dan memenuhi goals dari masing-masing tugas secara baik.  Disaat motivasi kerja mereka turun, manager para selling person ini harus bisa mengembalikan semangat kerja mereka. Memotivasi kembali para selling person sehingga mereka akan terus produktif untuk mencapai target penjualan.

Setelah mereka bekerja, masuklah ketahap evaluasi. Disini kinerja para selling person akan dihitung dan dipertimbangkan, biaya yang mereka gunakan untuk melakukan penjualan hingga perilaku selling person dalam bekerja. Tentu dalam evaluasi ini sudah tersedia standar-standar yang dapat menentukan seberapa berhasilkah kinerja para selling person. Namun, ada juga faktor-faktor yang tidak dapat diukur secara perorangan. Dengan mengevaluasi strategi personal selling organisasi, maka manajemen akan mendapatkan feedback dan mengidentifikasi masalah-masalah yang terjadi yang perlu dilakukan tindakan korektif.

 

DAFTAR RUJUKAN

Purnama, C. M. Lingga. 2002. Strategic Marketing Plan. Penerbit Gramedia: Jakarta.

Kotler, Philip. 2005. Manajemen Pemasaran Jilid 2. Indeks: Jakarta.

 

 

PENELITIAN STUDI KASUS

by: A.C.S.


1. Pengertian Studi Kasus

Menurut Bogdan dan Bikien (1982) studi kasus merupakan pengujian secara rinci terhadap satu latar atau satu orang subjek atau satu tempat penyimpanan dokumen atau satu peristiwa tertentu . Surachrnad (1982) membatasi pendekatan studi kasus sebagai suatu pendekatan dengan memusatkan perhatian pada suatu kasus secara intensif dan rinci. SementaraYin (1987) memberikan batasan yang lebih bersifat teknis dengan penekanan pada ciri-cirinya. Ary, Jacobs, dan Razavieh (1985) menjelasan bahwa dalam studi kasus hendaknya peneliti berusaha menguji unit atau individu secara mendalarn. Para peneliti berusaha menernukan sernua variabel yang penting.

Berdasarkan batasan tersebut dapat dipahami bahwa batasan studi kasus meliputi: (1) sasaran penelitiannya dapat berupa manusia, peristiwa, latar, dan dokumen; (2) sasaran-sasaran tersebut ditelaah secara mendalam sebagai suatu totalitas sesuai dengan latar atau konteksnya masing-masing dengan maksud untuk mernahami berbagai kaitan yang ada di antara variabel-variabelnya.

2. Jenis-jenis Studi Kasus

a. Studi kasus kesejarahan mengenai organisasi, dipusatkan pada perhatian organisasi

tertentu dan dalam kurun waktu tertentu, dengan rnenelusuni perkembangan organisasinya. Studi mi sening kunang memungkinkan untuk diselenggarakan, karena sumbernya kunang mencukupi untuk dikerjakan secara minimal.

b. Studi kasus observasi, mengutamakan teknik pengumpulan datanya melalul observasi peran-senta atau pelibatan (participant observation), sedangkan fokus studinya pada suatu organisasi tertentu.. Bagian-bagian organisasi yang menjadi fokus studinya antara lain: (a) suatu tempat tertentu di dalam sekolah; (b) satu kelompok siswa; (c) kegiatan sekolah.

c. Studi kasus sejarah hidup, yang mencoba mewawancarai satu onang dengan maksud mengumpulkan narasi orang pertama dengan kepemilikan sejarah yang khas. Wawancara sejarah hiclup biasanya mengungkap konsep karier, pengabdian hidup seseorang, dan lahir hingga sekarang. masa remaja, sekolah. topik persahabatan dan topik tertentu lainnya.

d. Studi kasus kemasyarakatan, merupakan studi tentang kasus kemasyarakatan (community study) yang dipusatkan pada suatu lingkungan tetangga atau masyarakat sekitar (kornunitas), bukannya pada satu organisasi tertentu bagaimana studi kasus organisasi dan studi kasus observasi.

e. Studi kasus analisis situasi, jenis studi kasus ini mencoba menganalisis situasi terhadap peristiwa atau kejadian tertentu. Misalnya terjadinya pengeluaran siswa pada sekolah tertentu, maka haruslah dipelajari dari sudut pandang semua pihak yang terkait, mulai dari siswa itu sendiri, teman-temannya, orang tuanya, kepala sekolah, guru dan mungkin tokoh kunci lainnya.

f. Mikroethnografi, merupakan jenis studi kasus yang dilakukan pada unit organisasi yang sangat kecil, seperti suatu bagian sebuah ruang kelas atau suatu kegiatan organisasi yang sangat spesifik pada anak-anak yang sedang belajar menggambar.

 

3. Langkah-Langkah Penelitian Studi Kasus

a. Pemilihan kasus: dalam pemilihan kasus hendaknya dilakukan secara bertujuan

(purposive) dan bukan secara rambang. Kasus dapat dipilih oleh peneliti dengan

menjadikan objek orang, lingkungan, program, proses, dan masvarakat atau unit

sosial. Ukuran dan kompleksitas objek studi kasus haruslah masuk akal, sehingga

dapat diselesaikan dengan batas waktu dan sumbersumber yang tersedia;

b. Pengumpulan data: terdapat beberapa teknik dalarn pengumpulan data, tetapi yang

lebih dipakai dalarn penelitian kasus adalah observasi, wawancara, dan analisis dokumentasi. Peneliti sebagai instrurnen penelitian, dapat menyesuaikan cara pengumpulan data dengan masalah dan lingkungan penelitian, serta dapat mengumpulkan data yang berbeda secara serentak;

c. Analisis data: setelah data terkumpul peneliti dapat mulai mengagregasi, mengorganisasi, dan mengklasifikasi data menjadi unit-unit yang dapat dikelola. Agregasi merupakan proses mengabstraksi hal-hal khusus menjadi hal-hal umum guna menemukan pola umum data. Data dapat diorganisasi secara kronologis, kategori atau dimasukkan ke dalam tipologi. Analisis data dilakukan sejak peneliti di lapangan, sewaktu pengumpulan data dan setelah semua data terkumpul atau setelah selesai dan lapangan;

d. Perbaikan (refinement): meskipun semua data telah terkumpul, dalam pendekatan studi kasus hendaknya clilakukan penvempurnaan atau penguatan (reinforcement) data baru terhadap kategori yang telah ditemukan. Pengumpulan data baru mengharuskan peneliti untuk kembali ke lapangan dan barangkali harus membuat kategori baru, data baru tidak bisa dikelompokkan ke dalam kategori yang sudah ada;

e. Penulisan laporan: laporan hendaknya ditulis secara komunikatif, rnudah dibaca, dan mendeskripsikan suatu gejala atau kesatuan sosial secara jelas, sehingga rnernudahkan pembaca untuk mernahami seluruh informasi penting. Laporan diharapkan dapat membawa pembaca ke dalam situasi kasus kehiclupan seseorang atau kelompik.

4. Ciri-ciri Studi Kasus yang Baik

a. Menyangkut sesuatu yang luar biasa, yang berkaitan dengan kepentingan umum

atau bahkan dengan kepentingan nasional.

b. Batas-batasnya dapat ditentukan dengan jelas, kelengkapan ini juga ditunjukkan

oleh kedalaman dan keluasan data yang digali peneliti, dan kasusnya mampu

diselesaikan oleh penelitinya dengan balk dan tepat meskipun dihadang oleh

berbagai keterbatasan.

c. Mampu mengantisipasi berbagai alternatif jawaban dan sudut pandang yang

berbeda-beda.

d. Keempat, studi kasus mampu menunjukkan bukti-bukti yang paling penting saja,

baik yang mendukung pandangan peneliti maupun yang tidak mendasarkan pninsip

selektifitas.

e. Hasilnya ditulis dengan gaya yang menarik sehingga mampu terkomunikasi

pada pembaca.

 

Perhatian

Orientasi teoritik dan pemilihan pokok studi kasus dalam penelitian kualitatif bukanlah perkara yang mudah, tetapi tanpa memperdulikan kedua hal tersebut akan cukup menyulitkan bagi peneliti yang akan turun ke lapangan. Dengan memahami orientasi teoritik dan jenis studi yang akan dipilih maka setidak-tidaknya seorang peneliti telah akan mempersiapkan diri sebelum benan-benar terjun dalam kancah penelitian. Di dalam penyusunan desain penelitian kedua hal tersebut hendaknya sudah dapat ditentukan, meskipun masih bersifat sementana.

Untuk dapat mengatasi kesulitan dalam menentukan orientasi teoritik pemilihan pokok studi, terutarna dalam studi kasus, Guba dan Lincoln (1987) memberikan saran-saran sebagai berikut: Pertama, bagi peneliti pemula hendaknya banyak membaca sebanyak mungkin laporan-laporan kasus yang ada sehingga mereka dapat mempelajari bagaimana para peneliti menyusunnya. Kedua, mereka hendaknya bergabung dengan para penulis kasus yang baik untuk memahami bagaimana mereka bekerja. Ketiga, mereka harus berlatih menulis laporan kasus, dan terakhir, mereka harus meminta kritik-kritik yang positif dan para ahli.

 

DAFTAR PUSTAKA

Syamsuddin, Prof., Dr. dan Vismaia, Dr. 2006. Metode Penelitian Pendidikan Bahasa. Bandung : Remaja Rosdakarya.

Syaodih, Nana Sukmadinata, Prof.,Dr. 2006. Metode Penelitian Pendidikan. Bandung :Remaja Rosdakarya

Wiriaatmadja,Rochiati. 2007. Metode penelitian Tindakan Kelas. Bandung: Remaja Rosdakarya

Furchan, Arief, MA.,Ph.D. (Penejemah). 2004. Pengantar penelitian Dalam Pendidikan. Yogyakarta: Pustaka pelajar.

 

 

DIFUSI DAN PERUBAHAN SOSIAL

 

Difusi adalah suatu jenis komunikasi khusus yang berkaitan dengan penyebaran pesan-pesan sebagai ide baru. Lebih jauh dijelaskan bahwa  difusi adalah suatu bentuk komunikasi yang bersifat khusus berkaitan dengan penyebaranan pesan-pesan yang berupa gagasan baru, atau dalam istilah Rogers (1961) difusi menyangkut “which is the spread of a new idea from its source of invention or creation to its ultimate users or adopters.”

Dalam kasus difusi, karena pesan-pesan yang disampaikan itu “baru” maka ada risiko bagi penerima. Hal ini berarti bahwa ada perbedaan tingkah laku dalam kasus penerimaan inovasi jika dibandingkan dengan penerimaan pesan biasa. Sering dibedakan antara sifat riset difusi dengan riset-riset komunikasi lainnya. Dalam riset komunikasi kita sering mengarahkan perhatian pada usaha-usaha untuk mengubah pengetahuan atau sikap dengan mengubah bentuk sumber, pesan, salauran atau penerima dalam proses komunikasi.

Misalnya kita bisa menuntut agar sumber komunikasi itu lebih dapat dipercaya oleh penerima, karena studi komunikasi menunjukkan bahwa jika hal ini dilakukan maka akan menghasilkan persuasi atau perubahan sikap yang lebih besar pada sebagian besar penerimanya.

Tetapi dalam riset difusi, kita biasanya lebih memusatkan perhatian pada terjadinya perubahan tingkah laku yang tampak (overt behavior) yaitu menerima atau menolak ide-ide baru daripada hanya sekedar perubahan dalam pengetahuan dan sikap saja. Pengetahuan dan sikap sebagai hasil kampanye difusi hanya dianggap sebagai langkah perantara dalam proses pengambilan keputusan oleh seseorang yang akhirnya membawa pada perubahan tingkah laku.

Pemutusan perhatian pada ide-ide baru ini telah membawa kita pada pengertian yang lebih menyeluruh tentang proses komunikasi. Konsep arus komunikasi seperti “multi step”, secara konseptual belum jelas bentuknya sebelum ia diselidiki oleh para peneliti yang menelaah penyebaran inovasi. Mereka menemukan, ide-ide baru itu biasanya tersebar dari sumber kepada audiens penerima melalui serangkaian transmisi berurutan, tidak hanya melalui dua tahap seperti yang telah didalilkan semula.

Unsur-Unsur Difusi

Unsur-unsur difusi sebagai penyebaran ide-ide baru adalah:

  • Inovasi

Inovasi adalah gagasan, tindakan atau barang yang dianggap baru oleh seseorang di mana kebaruannya itu bersifat relatif. Tidak menjadi soal, sejauh dihubungkan dengan tingkah laku manusia, apakah ide itu betul-betu baru atau tidak jika diukur dengan selang waktu sejak digunakannya atau diketemukannya pertama kali. Kebaruan inovasi itu diukur secara subjektif, menurut pandangan individu yang menangkapnya. Jika sesuatu ide dianggap baru oleh seseorang maka ia adalah inovasi (bagi orangitu). “Baru” dalam ide inovatif yang tidak berarti harus baru sama sekali. Suatu inovasi mungkin telah lama diketahui oleh seseorang beberapa waktu yang lalu (yaitu ketika ia ‘kenal’ dengan ide itu) tetapi ia belum mengembangkan sikap suka atau tidak suka terhadapnya, apakah ia menerima atau menolaknya.

Setiap ide/gagasan pernah menjadi inovasi. Setiap inovasi pasti berubah seiring dengan berlalunya waktu. Komputer, pil KB, micro teaching, LSD, pencangkokkan jantung, sinar laser dan sebagainya, barangkali masih dipandang sebagai inovasi di beberapa Negara, tetapi di Amerika mungkin telah dianggap using. Hal yang demikian ini juga berkenaan dengan produk-produk material, gerakan sosial, ideologi dan sebagainya yang dikualifikasikan sebagai inovasi. Ini tidak berarti bahwa semua inovasi perlu disebarluaskan dan diadopsi. Inovasi yang tidak cocok bagi seseorang atau masyarakat bias mendatangkan bahaya dan tidak ekonomis.

Semua inovasi punya komponen ide, tetapi banyak inovasi yang tidak punya wujud fisik misalnya ideology. Sedangkan inovasi yang mempunyai komponen ide dan komponen objek (fisik) misalnya traktor, insektisida, baygon dan lain sebagainya. Inovasi yang memiliki komponen ide saja tidak dapat diadopsi secara fisik, pengadopsiannya hanyalah berupa keputusan simbolis. Sebaliknya inovasi yang memiliki komponen ide dan komponen objek, pengadopsannya diikuti dengan keputusan tindakan (tingkah laku nyata).

 

  • Saluran komunikasi

 

Seperti dinyatakan sebelumnya, difusi merupakan bagian dari riset komunikasi yang berkenaan dengan ide-ide baru. Inti dari proses difusi adalah interaksi manusia dimana seseorang mengomunikasikan ide baru kepada seseorang atau beberapa orang lainnya. Pada hakekatnya, difusi terdiri dari:

  • Ide baru
  • Seorang A yang memiliki pengetahuan tentang inovasi
  • Seorang B yang belum tahu tentang ide baru itu, dan
  • Beberapa bentuk saluran komunikasi yang menhubungkan dua orang itu.

Dalam memilih saluran komunikasi, sumber paling tidak perlu memperhatikan:

(a) tujuan diadakannya komunikasi, dan

(b) karakteristik penerima.

Jika komunikasi dimaksudkan untuk memperkenalkan suatu inovasi kepada khalayak yang banyak dan tersebar luas, maka saluran komunikasi yang lebih tepat, cepat dan efisien, adalah media massa. Tetapi jika komunikasi dimaksudkan untuk mengubah sikap atau perilaku penerima secara personal, maka saluran komunikasi yang paling tepat adalah saluran interpersonal.

 

 

 

  • Kurun waktu tertentu

 

Proses keputusan inovasi, dari mulai seseorang mengetahui sampai memutuskan untuk menerima atau menolaknya, dan pengukuhan terhadap keputusan itu sangat berkaitan dengan dimensi waktu. Waktu merupakan salah satu unsur penting dalam proses difusi. Dimensi waktu, dalam proses difusi, berpengaruh dalam hal:

 

1)      Proses keputusan inovasi, yaitu tahapan proses sejak seseorang menerima   informasi pertama sampai ia menerima atau menolak inovasi;

2)      Keinovativan individu atau unit adopsi lain, yaitu kategori relatif tipe adopter (adopter awal atau akhir);

3)      Rata-rata adopsi dalam suatu sistem, yaitu seberapa banyak jumlah anggota suatu sistem mengadopsi suatu inovasi dalam periode waktu tertentu.

 

  • Sistem sosial

 

Sangat penting untuk diingat bahwa proses difusi terjadi dalam suatu sistem sosial. Sistem sosial adalah satu set unit yang saling berhubungan yang tergabung dalam suatu upaya pemecahan masalah bersama untuk mencapai suatu tujuan. Anggota dari suatu sistem sosial dapat berupa individu, kelompok informal, organisasi dan atau sub sistem. Proses difusi dalam kaitannya dengan sistem sosial ini dipengaruhi oleh struktur sosial, norma sosial, peran pemimpin dan agen perubahan, tipe keputusan inovasi dan konsekuensi inovasi.

 

ANGGOTA SISTEM SOSIAL SEBAGAI PENERIMA INOVASI

Orang orang yang berada dalam sistem sosial itu walaupun merupakan satu kesatuan namun mereka itu berbeda dalam tanggapan dan penerimaannya terhadap ide baru. Ada anggota sistem yang vcepat mengetahui adanya inovasi dan lebih awal menerimanya dan ada pula yang begitu terlambat. Bagi seorang yang sedang berusaha memasyarakatkan ide baru, ingin menyebar inovasi ke dalam suatu sistem, merupakan suatu keuntungan jika ia dapat menggolongkan anggota sistem sosial itu, mana yang penerima lebih awal dan mana yang penerima lebih akhir dan bias mengenali ciri-ciri dari setiap golongan penerima inovasi itu. Dengan pengetahuan yang seperti itu mungkin akan memudahkannya dalam mengatur strategi penyebaran ide baru secara lebih efektif dan efisien.

Kategori Adopter

Pembagian anggota sistem sosial ke dalam kelompok-kelompok adopter (penerima inovasi) berdasarkan tingkat keinovatifannya yakni lebih awak atau lebih akhirnya seseorang mengadopsi inovasi dibandingkan dengan anggota sistem lainnya, sudah banyak dilakukan peneliti. Tetapi belum ada kategori/ pembagian adopter yang terstandar. Untungnya sekitar 20 tahun yang lalu telah muncul suatu cara penggoloingan penerima inovasi yang cukup akurat, yakni kategorisasi berdasarkan kurva adposi yang menggambarkan sejauh mana perbedaan karakteristik individu mempengaruhi kecepatan adopsi inovasi oleh R ogers dan Shoemaker (1971).



Daerah yang terletak di sebelah kiri meliputi 2,5% individu yang pertama kali mengadopsi suatu inovasi. Mereka itu adalah inovator. Kemudian disebelahnya, 13,5% adalah para Adopter Pemula. Berikutnya yang merupakan 34% adopter disebut Mayoritas Awal. Selanjutnya 34% adopter yang disebut Mayoritas Akhir. Enam belas persen adopter terahir disebut golongan Laggard atau orang yang paling akhir mengadopsi suatu inovasi.

 

INOVATOR

Those who adopt first of all. The first 2.5% counted from the left of the curve. Yakni mereka yang memang sudah pada dasarnya menyenangi hal-hal baru, dan rajin melakukan percobaan-percobaan. Mereka yang pertama-tama mengadopsi inovasi, belum tentu adalah pencetus gagasan baru ini, tetapi merekalah yang memperkenalkannya secara cukup luas. Biasanya inovator memiliki kedudukan penting dalam masyarakat atau biasanya seorang pemimpin yang memiliki pengaruh terhadap masyarakat.

Hubungan sosial mereka cenderung lebih erat dibanding kelompok sosial lainnya. Orang-orang seperti ini lebih dapat membentuk komunikasi yang baik meskipun terdapat jarak geografis. Biasanya orang-orang ini adalah mereka yang memiliki gaya hidup dinamis di perkotaan yang memiliki banyak teman atau relasi. Cirinya: petualang, berani mengambil resiko, mobile, cerdas, kemampuan ekonomi tinggi.

 

Innovators : Venturesome

Para pengamat mencatat bahwa keberanian adalah sebuah obsesi seorang inovator. Mereka bersemangat untuk mencoba ide-ide baru. keterikatan ini membawa mereka keluar dari sebuah linegkungan khusus dan menjadi hungan social yang lebih umum atau luas. Nilai yang menonjol dari seorang innovator adalah keberanian. Ia dapat mengendalikan keadaan, tindakan, tantangan, dan resiko. Inovator juga harus menerima suatu kerugian ketika salah satu ide baru yang telah diadopsi tidak berhasil. Tidak jarang inovator harus kembali kepada praktik atau metode lama karena inovasi yang dicobanya ternyata tidak sesuai dengan kondisi lingkungannya. Dengan demikian inovator adalah pintu gerbang masuknya ide baru kedalam sistem sosialnya.

Petualangan selalu menggoda hati para inovator. Mereka gemar sekali mencoba gagasan baru. Minat yang demikian ini mendorong mereka mencari hubungan dengan pihak-pihak diluar sistem, keluar dari lingkungan teman-temannya sendiri. Persahabatan dan komunikasi atar para innovator seringkali terjadi walaupun mereka terpisah oleh jarak geografis yang jauh.

Menjadi innovator memang perlu beberapa persyaratan, antara lain ia harusss mempunyai sumber keuangan yang cukur kuat karena suatu kali mungkin mereka akan mengalami kerugian akibat inovasi baru yang tidak menguntungkan. Selain itu ia juga harus memiliki kemampuan daya piker yang cerdas untuk dapat menerapkan dan memahami pengetahuan teknik yang rumit.

 

ADOPTER PEMULA

The next 13.5%. Early adopters are a more integrated part of the local social system than are innovators. Yaitu orang-orang yang berpengaruh, tempat teman-teman sekelilingnya memperoleh informasi, dan merupakan orang-orang yang lebih maju dibanding orang sekitarnya. Apabila inovator cenderung bersifat kosmopolit, maka pengadopsi awal lebih bersifat lokalit.

Pengadopsi pertama merupakan bagian yang lebih terorganisasi dari sistem sosial sekitar daripada inovator. Jika inovator lebih berorientasi ke luar sistem maka adopter pemula lebih berorientasi ke dalam sistem. Inovator bersifat umum, sedangkan adopter pemula bersifat khusus. Dia biasanya “meneliti” terlebih dahulu suatu inovasi sebelum memutuskan untuk menggunakannya. . Dia merupakan seseorang yang selalu mempertimbangkan sebuah keputusannya, berfikir kritis setelah ia telah memutuskan suatu keputusannya, maka keputusan tersebut sudah benar-benar diyakini dan mantap untuk segera diaplikasikan.

Kelompok adopter ini seringkali terdiri dari para pemuka pendapat. Memiliki derajat yang tinggi atas kepemimpinan dalam sistem sosial. Adopter pemula dianggap oleh anggota sistem sosial  lainnya yang menjadi calon adopter sebagai “orang rujukan” sebelum mereka menggunakan ide baru. Mereka biasanya mencari si Adopter pemula untuk meminta nasihat dan keterangan mengenai inovasi. Kadang-kadang dinamai “pembawa pengaruh,” melegitimasi gagasan dan membuatnya diterima oleh masyarakat pada umumnya.

Early adopters: Respectable

Kategori adopter seperti ini menghasilkan lebih banyak opini dibanding kategori lainnya, serta selalu mencari informasi tentang inovasi. Karena para pelopor atau adopter pemula ini tingkat keinovatifannya tak jauh berbeda dengan rata-rata anggota sistem lainnya, ia cocok sekali menjadi model tauladan bagi sebagian besar anggota sistem. Kategori pengadopsi ini umumnya dicari oleh agen-agen perubahan untuk menjadi peminpin lokal dalam sistem social.

Adopter pemula dihormati oleh anggotanya. Mereka adalah perwujudan sukses dalam penggunaan ide-ide baru. Para pelopor ini tahu bahwa mereka harus tetap menjaga kehormatan di mata koleganya jika ia ingin posisinya dalam struktur sosial tetap dapat dipertahankan.

 

MAYORITAS AWAL

Those who adopt new ideas just before the average member of a social system. The next 34%. Kategori pengadopsi seperti ini merupakan mereka yang tidak mau menjadi kelompok pertama yang mengadopsi sebuah inovasi. Sebaliknya, mereka akan dengan berkompromi secara hati-hati sebelum membuat keputusan dalam mengadopsi inovasi, bahkan bisa dalam kurun waktu yang lama. Orang-orang seperti ini menjalankan fungsi penting dalam melegitimasi sebuah inovasi, atau menunjukkan kepada seluruh komunitas bahwa sebuah inovasi layak digunakan atau cukup bermanfaat.

Early Majority: Deliberate

Pengadopsi ini banyak berinteraksi dengan anggota sistem lainnya, tetapi jarang ada diantara mereka yang memegang posisi kepemimpinan utama. Keputusan dalam inovasi adalah relatif lebih lama daripada inovator dan pengadopsi awal. “Be not the last to lay the old aside, nor the first by which the new is tried”. “Bukan yang pertama dan bukan yang terakhir” barangkali menjadi motto yang mereka pegang.

Seseorang yang cerdas, terbuka terhadap hal- hal yang baru tetapi tidak terlalu berfikir kritis dan mempertimbangkan. Segala sesuatunya ia hanya berfikir sisi positifnya saja/dapat dikatakan selalu mengikuti trend terbaru. Ia bukan seorang pemimpin tetapi pengikut yang senang dengan hal-hal baru.

MAYORITAS AKHIR

The next 34%. Those who adopt new ideas just after the average member of a social system. Golongan mayoritas akhir ini mengadopsi ide baru setelah rata-rata anggota sistem sosial menerimanya. Pengadopsian itu terjadi mungkin karena kepentingan ekonomi atau mungkin karena bertambah kuatnya tekanan sosial. Setiap inovasi mereka dekati dengan sikap skeptic dan hati-hati.

Late Majority: Skeptical

Mayoritas akhir memandang inovasi dengan skeptisme yang berlebihan. Selalu diikuti dengan rasa curiga, serlalu memikirkan kesulitan –kesulitan sesuatu inovasi. Mereka tergolong orang-orang yang telat terhadap munculnya suatu inovasi. Jika sudah banyak masyarakat menggunaan inovasi tersebut dan terbukti baik dan aman untuk digunakan, maka akhirnya ia ikut menggunakan inovasi tersebut.

Mereka memang memerlukan dukungan lingkungannya untuk melakukan adopsi. Hal ini berhubungan dengan ciri-ciri dasarnya yang cenderung kurang akses terhadap sumberdaya. Untuk itu mereka harus yakin bahwa ketidakpastian tidak harus menjadi risiko mereka. Ia baru mau percaya pada ide baru itu jika norma sistem jelas-jelas menerima inovasi itu. Bisa saja mereka itu dibujuk dan disadarkan kegunaan ide baru, tetapi itu saja tidak cukup sebagai alas- an mengadopsi. Ia memerlukan adanya dorongan atau tekanan-tekanan dari teman-temannya. Dalam kasus lain, kepentingan ekonomi dan tekanan jaringan kerja yang meningkat mendorong mereka untuk mengadopsi inovasi. Cirinya: skeptis, menerima karena pertimbangan ekonomi atau tekanan sosial, terlalu hati-hati.

 

LAGGARD

The last 16%. Laggards are the last to adopt an innovation. Kelompok yang paling bersifat lokalit di dalam memandang suatu inovasi. Kebanyakan mereka terisolasi dari lingkungannya, sementara orientasi mereka kebanyakan adalah pada masa lalu. Hampir tidak ada diantara mereka ini yang menjadi pemuka pendapat. Mereka ini adalah yang paling sempit pandangan wawasannya diantara semua kelompok adopter, banyak diantaranya hampir terasing. Semuanya bermula dari keterbatasan sumberdaya yang ada pada mereka, sehingga mereka benar-benar harus yakin bahwa mereka terbatas dari risiko yang dapat membahayakan ketersediaan sumberdaya yang terbatas tersebut.

Laggards: Traditional

Mereka bersifat lebih tradisional, dan segan untuk mencoba hal hal baru. Kelompok ini biasanya lebih suka bergaul dengan orang-orang yang memiliki pemikiran sama dengan mereka. Sekalinya sekelompok laggard mengadopsi inovasi baru, kebanyakan orang justru sudah jauh mengadopsi inovasi lainnya, dan menganggap mereka ketinggalan zaman. Ketidaklancaran mereka dalam mengadopsi inovasi adalah karena mereka itu tidak memahami ide-ide baru tersebut.

Referensi bagi kelompok Laggard adalah masa lalu. Keputusan yang dibuatnya biasanya dikaitkan dengan apa yang telah dilakukan oleh generasi yang telah lalu. Sedangkan interaksi mereka kebanyakan hanya dengan sesamanya yang mempercayainya tradisi lebih dari yang lain. Orang semacam ini biasanya berhubungan dengan orang-orang yang mempunyai nilai tradisional. Arah tradisional mereka meperlambat proses keputusan inovasi untuk bergerak. Pandangan mereka jauh dari dunia modern yang cepat berubah. Sementara orang-orang dalam sistem sosial melihat jalan kea rah kemajuan, perhatian si kolot hanya tertumpu pada cermin masa lalu.

Dengan pengetahuan tentang kategorisasi adopter ini dapatlah kemudian disusun strategi difusi inovasi yang mengacu pada kelima kategori adopter, sehingga dapat diperoleh hasil yang optimal, sesuai dengan kondisi dan keadaan masing-masing kelompok adopter. Hal ini penting untuk menghindari pemborosan sumberdaya hanya karena strategi difusi yang tidak tepat. Strategi untuk menghadapi adopter awal misalnya, haruslah berbeda dengan strategi bagi mayoritas akhir, mengingat gambaran ciri-ciri mereka masing-masing (Rogers, 1983).

 

KECEPATAN ADOPSI DAN KARAKTERISTIK INOVASI

Kecepatan adopsi oleh anggota sistem sosial tergantung pada tingkat keinovatifan anggota sistem sosial serta cirri karakteristik inivasi yang ditawarkan dalam pandangan anggota sistem sosial.

Penyebaran inovasi, sejak pertama kali ia diperkenalkan sampai merata penggunaannya ke seluruh lapisan masyarakat, berlangsung selama beberapa tahun. Misalnya inovasi di bidang pendidikan; matematika modern diterima oleh semua sekolah negeri di Amerika dalam waktu 5 tahun, team teaching memerlukan waktu 6 tahun. Sedangkan Taman Kanak-Kanak baru bisa tersebar merata di masyarakat Amerika setelah 50 tahun. Ciri-ciri inovasi bagaimanakah yang mempengaruhi kecepatan penyebaran dan pengadopsiannya?

Sifat-Sifat Inovasi

Kita perlu memiliki suatu skema klasifikasi yang terstandar mengenai sifat-sifat inovasi. Dengan demikian orang tidak perlu lagi menyelidiki setiap inovasi untuk memperkirakan kecepatan adopsinya. Kita dapat mengatakan bahwa inovasi seperti team teaching lebih mirip sifatnya (menurut pandangan masyarakat) dengan matematika modern, dari pada Taman Kanak-Kanak. Sistem klasifikasi secara umum ini merupakan suatu hasil akhir dari riset difusi mengenai sifat-sifat inovasi.

Ciri karakteristik atau sifat inovasi terdiri dari:

  • Keuntungan Relatif (Relative Advantage)
  • Kompatibilitas (Compatibility)
  • Kompleksitas (Complexity)
  • Trialabilitas (Trialability)
  • Observabilitas (Observability)

Setiap sifat secara empiris mungkin saling berhubungan satu sama lain. Tetapi secara konseptual, mereka itu berbeda.

 

KEUNTUNGAN RELATIF (RELATIVE ADVANTAGE)

Relative advantage is the degree to which an innovation is perceived as being better than idea it supersedes. Suatu derajat di mana inovasi dirasakan lebih baik daripada ide lain yang menggantikannya. Yaitu apakah cara-cara atau gagasan baru ini memberikan sesuatu keuntungan relatif bagi mereka yang kelak menerimanya. Derajat keuntungan tersebut bisa dihitung secara ekonomis, tetapi faktor prestasi sosial, kenyamanan dan kepuasan juga merupakan unsur penting.

 

Krisis

Keuntungan relatif suatu ide baru mungkin lebih kentara dengan adanya suatu krisis. Wilkening (1952) menyelidiki pengaruh krisis terhadap pengadopsian alat pengering rumput di kalangan petani Wisconsin. Pengadopsian inovasi beranjak dari 16% pada tahun 1950 menjadi 48% pada tahun 1951.

Hujan dan musim dingin pada tahun 1951 menyebabkan pengawetan jerami menjadi sulit, sehingga banyak petani yang menggunakan alat pengering rumput.  Adanya keuntungan relative suatu inovasi (alat pengering rumput) belum terasa pada tahun 1951, karena cuaca yang baik mungkin tidak memiliki pengaruh yang cukup kuat sehingga para petani masih bisa mengeringkan rumput tanpa menggunakan cara baru. Suatu krisis menyebabkan keuntungan relative suatu inovasi lebih menonjol, dank arena itu mempengaruhi kecepatan adopsinya.

Penyeldikan yang lain menunjukkan bahwa suatu peristiwa tertentu mungkin menyurutkan kecepatan pengadopsian suatu inivasi. Bagaimanapun anggota sistem sosial berusaha menambal hal yang hilang setelah krisis berlalu. Adler (1955, p.27) menemukan bahwa depresi dan peperangan menyurutkan pengadopsian inovasi-inovasi pendidikan tetapi sekolah-sekolah yang ia kaji mempercepat pengadopsian inovasi setelah krisis berlalu.

 

Keuntungan Relatif dan Kecepatan Adopsi

Di satu sisi, keuntungan relatif menunjukkan intensitas ganjaran atau hukuman yang ditimbulkan oleh pengadopsian suatu inovasi. Ada beberapa sub-dimensi keuntungan relative yang tak diragukan lagi, yaitu: tingkat keuntungan ekonomis, rendahnya biaya permulaan, risiko nyata lebih rendah, kurangnya ketidaknyamanan, hemat tenaga dan waktu, dan imbalan yang dapat diperoleh dengan segera.

Faktor  yang  terakhir mungkin menjelaskan mengapa inovasi yang preventif biasanya memiliki kecepatan adopsi yang rendah, seperti : Ide mengikuti asuransi, menggunakan sabuk pengaman otomatis, suntikan pencegah wabah penyakit, penggunaan cara KB,  dan menggunakan kakus (di desa sekarang). Keuntungan relatif dari inovasi preventif semacam itu sulit didemonstrasikan kemanfaatannya oleh agen pembaru kepada kliennya, karena hasilnya baru dapat dirasakan pada masa yang akan dating (tidak segera).

Dari penyelidikan yang ada menunjukkan bahwa ada hubungan positif antara keuntungan rekatif dengan kecepatan adopsi. Artinya lebih besar keuntungan relatif suatu inovasi menurut pengamatan masyarakat, semakin cepat inovasi itu diadopsi. Kebanyakan para ahli ilmu sosial menyatakan bahwa indikator keuntungan relatif yang paling menonjol pengaruhnya adalah keuntungan yang bersifat ekonomis. Tetapi tak selamanya begitu; dimensi keuntungan relatif yang non ekonomis seperti prestise sosial dan penerimaan sosial dapat pula diharapkan sebagai penjelas kecepatan adopsi. Walaupun daging sapi di India dimurahkan sampai setengahnya, orang-orang Hindu tidak akan membeli dan memakannya. Peningkatan keuntungan relatif suatu inovasi (terutama yang ekonomis) harus agak luar biasa agar mendapat pengaruh kecepatan adopsi yang lebih besar. Setidaknya 25 sampai 30%. Masyarakat yang masih sederhana tidak mungkin membedakan apakah inovasi itu menguntungkan atau tidak jika keuntungan relatifnya hanya berbeda sekitar 5 sampai 10 %.

Keterbatasan kemampuannya dalam memainkan angka dan skema perhitungan mereka yang kasar, serta kurangnya kemahiran menggunakan metode ilmiah untuk memperoleh semua tindakan, membatasi kemampuan mereka dalam membuat perbandingan.

Kecepatan adopsi bagi kebanyakan orang mungkin bergantung pada aspek-aspek keuntungan relatif yang bersifat ekonomis. Tetapi hal ini tidak begitu cocok bagi ekonomis dari keuntungan relatif dan kompatibilitas mungkin mempunyai signifikasi yang lebih besar dalam menjelaskan kecepatan adopsi.

 

Pengaruh Insentif

Banyak Lembaga Pembaruan member intensif ekonomi atau subsidi kepada klien mereka untuk mempercepat pengadopsian inovasi. Fungsi intensif adalah untuk meningkatkan taraf keuntungan relative sesuai ide baru. Akan tetapi sering kali effek intensif itu agak mengecewakan. Bagitu subsidi itu ditarik kembali, biasanya pengadopsian inovasi juga berhenti. Para penerima inovasi itu jelas menganggap intensif itu sebagai bagian terpisah dari keuntungan relative itu sendiri, yang tidak menjamin terpeliharanya pengadopsian ide baru itu jikan intensif itu dihentikan.

Insentif dapat diberikan dengan berbagai cara. Ada yang hanya dirancang untuk memungkinkan percobaan ide baru itu oleh warga masyarakat. Ilustrasi dalam hal ini adalah penggunaan sampel bebas untuk produk baru yang dilakukan oleh perusahaan dagang kepada calon pembelinya. Strategi yang dipergunakan di sini adalah dengan memudahkan percobaannya, maka diharapkan si pencoba akan dapat menggunakan inovasi dalam skala luas.

Kebijakan insentif yang lain dirancang untuk menjamin pengadopsian oleh adopter pemula saja. Jika tingkat pengadopsian sudah mencapai 20 sampai 30% sistem sosial, pemberian intensif ekonomis dihentikan.

 

KOMPATIBILITAS (COMPATIBILITY)

Compatibility is the degree to which an innovation is perceived to be in line with existing values or structures within a society. Suatu derajat di mana inovasi dirasakan konsisten dengan nilai-nilai yang berlaku, pengalaman dan kebutuhan mereka yang melakukan adopsi. Yaitu apakah inovasi yang hendak didifusikan itu serasi dengan nilai-nilai, system kepercayaan, gagasan yang lebih dahulu diperkenalkan sebelumnya, kebutuhan, selera, adat istiadat, dan sebagainya dari masyarakat yang bersangkutan.

Kompatibilitas adalah derajat dimana suatu inovasi dianggap konsisten dengan nilai-nilai yang ada, pengalaman masa lalu dan kebutuhan penerima. Ide yang tidak kompatibel dengan karakteristik  yang menonjol dari suatu sistem sosial tidak akan diadopsi secepat ide yang kompatibel. Kompatibilitas memberi jaminan yang lebih besar dan risiko lebih kecil bagi penerima dan membuat ide baru itu lebih bermakna baginya.

Suatu Inovasi mungkin kompatibel dengan:

1. Nilai-nilai dan kepercayaan sosiokultural

2. Ide-ide yang telah diperkenalkan lebih dulu

3. Kebutuhan klien untuk inovasi

Keterhubungan dengan Nilai-Nilai

Kurang adanya kompatibilitas konsumsi daging sapi dengan nilai budaya yang ada di India telah mencegah pengadopsian “makan daging. India berpenduduk sekitar 520 juta orang dan memiliki 200 juta sapi yang dipandang suci. Tidak ada sapi yang boleh disembelih, dan sapi perah terbaik tidak boleh diperah susunya. Kenyataan ini, ditambah lagi dengan gizi buruk dari ternak, menyebabkan hasil produksi susu rata-rata hanya 900 pon per tahun. Ahli-ahli nutrisi Amerika memperkenalkan susu kambing sebagai pengganti susu sapi pada tahun 1964, karena makanan kambing hanya seperempat makanan sapid an relatif lebih banyak menghasilkan susu. Tetapi tidak kompatibelnya kambing dengan status sosial dan faktor keagamaan, pengadopsi “susu kambing” itu tercegah. Penduduk desa di India menganggap ternak kambing sebagai usaha “orang Paria” saja, yang menduduki tingkat strata sosial yang paling rendah. Status sosial seseorang diukur dengan berapa banyak sapi yang ia miliki. Oleh karena itu, inovasi yang akan meningkatkan tingkatan nutrisi jutaan fakir India, yakni peternakan kambing perah, ditolak karena tidak kompatibel dengan nilai budaya setempat.

Contoh lain bahwa nilai-nilai yang dipelajari secara cultural dapat menghalangi pengadosian suatu inovasi adalah kasus jamban Peru. Pejabat kesehatan telah jera menyuruh penduduk untuk menghindarkan desa dari parasit-parasit usus. Dalam beberapa minggu setelah pemeriksaan medis, diketahui bahwa para penduduk desa akan terjangkit wabah penyakit perut lagi jika cara sanitasi mereka tidak diperbaiki. Oleh karena itu, para pejabat Kesehatan Masyarakat mulai memperkenalkan jamban, yang pada mulanya kelihatan diterima oleh masyarakat. Tetapi fasilitas baru itu jarang digunakan karena orang desa terbiasa buang air kapan saja dan di mana saja mereka merasa perlu. Otot perut mereka terbiasa secara kultural untun buang air besar dalam posisi jongkok, yang tidak cocok dengan cara pemakaian jamban yang menuntut posisi duduk jika akan membuang air besar.

Keterhubungan dengan Ide-Ide yang Diperkenalkan Sebelumnya

Kompatibilitas suatu inovasi tidak hanya dengan nilai-nilai kultural yang telah tertanam kokoh di masyarakat, tetapi juga dengan ide-ide yang telah diterima sebelumnya. Kompatibilitas suatu inovasi dengan ide-ide sebelumnya dapat mempercepat atau menghambat kecepatan adopsi. Ide lama adalah alat untuk menaksir ide baru. Seseorang tidak dapat mengaitkan inovasi dengan situasi dirinya kecuali berdasar sesuatu yang lama telah merka kenal dan telah lama diketahui.

Kecepatan pengadopsian ide baru dipengaruhi ole hide lama yang mendahuluinya. Jika suatu ide baru selaras dengan praktik yang ada, maka tidak ada inovasi, paling tidak dihati penerima. Dengan kata lain, suatu inovasi yang kompatibel adalah yang hanya menampakkan sedikit perubahan (dari kebiasaan sebelumnya). Kalau demikian, apa gunanya pengenalan inovasi yang sangat kompatibel itu? Sangat berguna, jika inovasi yang kompatibel itu dilihat sebagai langkah pertama dari serangkaian inovasi yang dimasukan agen pembaru secara berurutan. Inovasi yang kompatibel akan meratakan jalan untuk inovasi berikutnya yang kurang kompatibel.

 

Keterhubungan dengan Kebutuhan Klien

Salah satu indikasi kompatibilitas inovasi adalah sejauh mana inovasi itu dapat memenuhi kebutuhan yang dirasakan klien. Salah satu taktik bagi agen pembaru tentu saja dengan menentukan terlebih dahulu apa kebutuhan klien mereka, kemudian menyarankan suatu inovasi untuk memenuhi kebutuhan itu. Kesulitannya, bagaimana kita dapat mengetahui apa kebutuhan nyata yang mereka rasakan. Untuk ini agen pembaruan harus memiliki tingkat empati yang tinggi dan akrab dengan klien mereka agar dapat memperkirakan kebutuhan klien secara tepat. Teknik-teknik seperti penyelidikan secara informal dalam kontak-kontak interpersonal dengan klien atau survei dapat dipergunakan untuk menentukan kebutuhan klien terhadap inovasi.

Tetapi seringkali klien tidak tahu bahwa mereka membutuhkan suatu inovasi karena mereka tidak mengetahui adanya ide baru itu dan atau efek apa yang ditimbulkan oleh inovasi itu. Dalam kasus ini, agen pembaru dapat berusaha menumbuhkan kebutuhan diantara kliennya, tetapi ini harus dilakukan dengan hati-hati. Karena jika tidak, dikhawatirkan kebutuhan itu lebih banyak merupakan kebutuhan agen pembaru  bukan kebutuhan kliennya. Jika kebutuhan yang dirasakan itu bisa terpenuhi dengan inovasi tersebut, tempo pengadopsiannya akan terjadi lebih cepat.

 

Kompatibilitas dan Kecepatan Adopsi

Lembaga penyuluhan Pertanian di suatu desa di New Mexico memperkenalkan bibit jagung hibrida kepada kliennya. Empat puluh persen dari 84 penanam di salah satu desa setidaknya menanam sebagian dari bibit baru itu pada tahun 1946, dan hasilnya sangat spektakuler. Hasil yang mereka peroleh dua kali lipat dari yang diperolehnya ketika menanam bibit biasa. Pada tahun berikutnya lebih dari setengah penduduk desa sedah menanam jagung hibrida, dan petugas peyuluhan merasa bahwa kampenyenya telah berhasil. Tetapi pada tahun 1948, setengah dari pengadopsi itu ternyata tidak melanjutkan penggunaan bibit baru tersebut. Dan pada tahun berikutnya hanya tiga petani saja yang masih menanam jagung hibrida, mungkin karena mereka itu teman-teman dekat si petugas penyuluhan.

Mengapa inovasi itu gagal (ditinggalkan) setelah mengalami perkembangan yang begitu pesat dalam kecepatan adopsinya? Jawabannya, bukan karena secara teknis inovasi itu kurang baik. Observasi yang cermat telah dilakukan oleh petugas penyuluhan untuk menjaga keberhasilan inovasi; tanah setempat diuji untuk mengetahui cocok tidaknya jika ditanami jagung jenis baru itu. Dia juga membuat plot demonstrasi di dekat desa pada awal tahun, dan menunjukkan hasil panen tiga kali lebih besar daripada jika menggunakan bibit jagung biasa. Jadi jagung hibrida itu memounyai tingkat keuntungan relative yang sangat tinggi.

Para petani di New Mexico itu tidak melanjutkan inovasi karena istri-istri mereka tidak menyukai jagung jenis baru itu. Mereka menanam jagung untuk dibuat “tortilla” (sejenis roti dari jagung), dan yang disukai adalah roti jagung yang tawar. Jagung hibrida mengandung rasa yang asing dan menurut mereka tidak cocok untuk dibuat tortilla. Norma-norma sosial desa itu menyukai tortilla dari jagung jenis lama. Jika agen pembaru juga mempertimbangkan norma-norma setempat sebagaimana ia mempertimbangkan kondisi tanah, mungkin ia berhasl. Dia mengabaikan ketidak-cocokkan (incompatibility) jagung hibrida itu dengan kesukaan masyarakat setempat dalam hal rasa, sehingga akibatnya inovasi itu gagal.

Akibat lebih lanjut, promosi agen pembaru mengenai inovasi lainnya pada masa pendatang juga akan tidak dipedulikan oleh masyarakat. Negatifisme inovasi semacam itu merupakan kompatibilitas yang tak diiginkan. Jika suatu ide gagal, klien akan terbiasa menganggap semua semua inovasi berikutnya dengan pandangan dan pengertian yang serupa, yakni kecemasan. Inovasi yang gagal dapat menjadi racun bagi pengadopsian inovasi yang lain yang akan diperkenalkan. Suatu ilustrasi mengenai hal ini berasal dari penelitian di India. Alat-alat kontrasepsi yang ditawarkan telah ditolak oleh penduduk desa karena mereka takut agen-agen KB itu menghentikan kelahiran sama sekali. Pada saat berikutnya, suatu team kesehatan masyarakat datang ke desa itu untuk memberikan injeksi cacar. Secara luas, vaksinasi itu ditolak karena orang desa menganggap petugas cacar itu menjadi kampanye alat kontrasepsi yang telah mereka cap negatif. Jadi adanya asosiasi negatif ( tak menyenangkan) antara vaksinasi dengan inovasi (kontrasepsi) yang sebelumnya ditolak, menghalangi pengadopsian vaksinasi itu.

Foster (1962) menyitir suatu ilustrasi di mana suatu inovasi dapat diperbesar kompatibilitasnya dengan merubah fungsinya, sehingga mempercepat pengadopsian. Ibu-ibu rumah tangga di Sisilia biasanya mencuci pakaian keluarga mereka di dekat mata air bersama wanita-wanita desa lainnya sambil mengobrol. Ketika mesin pencuci dipasang dirumah masing-masing, parta ibi rumah tangga itu merasa tidak bahagia karena kehilangan kesempatan untuk berkumpul dan mengobrol bersama rekan-rekannya. Agen pembaru yang cerdik memindahkan semua mesin pencuci pakaian itu ke suatu lokasi yang terpusat sehingga ibu-ibu itu mendapatkan kembali kesenangan mereka untuk mengobrol di warung kopi dekat lokasi itu sambil menunggu cucian mereka.

Banyak lagi hasil penelitian yang menunjukkna bahwa keterhubungan inovasi dengan situasi klien berhubungan positif dengan kecepatan pengadopsiannya. Akan tetapi analisis statistic terhadap hal ini menunjukkan bahwa kompatibilitas inovasi relatif kurang penting dalam memprediksi kecepatan inovasi dibandingkan dengan keuntungan relatif.

Paket Inovasi

Inovasi sering tidak dipandang sebagai suatu yang tunggal (berdiri sendiri) oleh seseorang, melainkan sebagai suatu paket atau komplek ide-ide baru yang saling berkaitan. Pengadopsian satu ide baru bias merupakan pemetik picu bagi pengadopsian beberapa ide baru lainnya.

Salah satu pendekatan yang berusaha menunjang kecenderungan ini adalah apa yang dinamakan “program-program paket” di India, Pakistan dan Meksiko yang dipercaya akan menghasilkan revolusi hijau dalam produksi makanan. Seperangkat inovasi pertanian yang biasanya terdiri dari bibit unggul, pemupukan dan obat-obatan hama (di Indonesia dikenal dengan Panca Usaha Tani, pent.) sdb. Diujikan kepada petani. Asumsinya bahwa penduduk desa akan lebih mudah dan lebih cepat mengadopsi semua inovasi itu sekaligus petani akan memperoleh hasil-hasil dari keseluruhan inovasi, ditambah dengan efek-efek interaksi antara inovasi satu dengan lainnya.

Sayangnya pendekaran paket ini hanya sedikit dilandasi hasil penyelidikan empiris, walaupun ia dapat dikembangkan secara intuitif. Mestinya paket inovasi itu harus didasarkan pada hubungan antara kondisi biologis tanah dengan pertumbuhan, tetapi hal itu belum dilakukan. Agaknya, pemaketan inovasi itu hanya melalui prosedur yang sederhana yaitu dengan melihat inter-korelasi diantara masa pengadopsian oleh petani (atau persepsi mereka) terhadap seperangkay inovasi, kemudian ditemtukan inovasi-inovasi mana yang dapat dikelompokkan.

 

KOMPLEKSITAS (COMPLEXITY)

Complexity is the degree to which an innovation is difficult to understand or use. Mutu derajat di mana inovasi dirasakan sukar untuk dimengerti dan dipergunakan. Inovasi tersebut dirasakan rumit. Pada umumnya masyarakat tidak atau kurang berminat pada hal-hal yang rumit. Pada umumnya masyarakat tidak atau kurang berminat pada hal-hal yang rumit, sebab selain sukar untuk dipahami, juga cenderung dirasakan merupakan tambahan beban yang baru.

Inovasi-inovasi tertentu begitu mudah dapat dipahami oleh penerima tertenrtu, sedangkan orang lainnya tidak. Kerumitan suatu inovasi menurut pengamatan anggota sistem sosial, berhubungan negatif dengan kecepatan adopsinya. Ini berarti makin rumit suatu inovasi bagi seseorang, maka akan semakin lambat pengadopsiannya.

Ada bukti-bukti studi kasus yang menganggap bahwa kompleksitas adalah prediktor tingkat adopsi. Misalnya, Grahan (1956) berusaha untuk menentukan mengapa canasta dan televisi disebarkan pada tingkat adopsi yang berbeda di kelas atas dan kelas bawah. Dia menyimpulkan bahwa salah satu alasan (selain kompatibilitas relatif dengan nilai-nilai hiburan, yang dibahas sebelumnya) adalah perbedaan dalam kompleksitas dari dua gagasan.

 

TRIALABILITAS (TRIALABILITY)

Trialability is the degree to which an innovation may be tried out on a small. Mutu derajat di mana inovasi dieksperimentasikan pada landasan yang terbatas. Suatu inovasi akan lebih cepat diterima, bila dapat dicobakan dulu dalam ukuran kecil sebelum orang terlanjur menerimanya secara menyeluruh. Ini adalah cerminan prinsip manusia yang selalu ingin menghindari suatu risiko yang besar dari perbuatannya, sebelum “nasi menjadi bubur”.

Beberapa inovasi tertentu mungkin lebih sulit untuk dicoba dulu daripada inovasi lainnya. Trialibilitas dari suatu inovasi, seperti yang dirasakan oleh para anggota suatu sistem sosial, secara positif berhubungan dengan laju adopsi. Studi yang dilakukan oleh Fliegel dan Kivlin (1966), Singh (1966), dan Fliegel dan lain-lain (1968) mendukung pernyataan ini.

Contoh inovasi yang “ambil atau tinggalkan” misalnya adalah penggunaan vaksetomi sebagai alat kontrasepsi. Walaupun tidak banyak bukti penelitian, dapat disimpulkan bahwa dapat dicobanya suatu inovasi menurut anggapan anggota sistem sosial berhubungan posited dengan kecepatan adopsinya.

 

OBSERVABILITAS (OBSERVABILITY)

Observability is the degree to which an innovation yields result that are visible to others. Suatu derajat di mana inovasi dapat disaksikan oleh orang lain. Jika suatu inovasi dapat disaksikan dengan mata, dapat terlihat langsung hasilnya, maka orang akan lebih mudah untuk mempertimbangkan untuk menerimanya, ketimbang bila inovasi berupa sesuatu yang abstrak, yang hanya dapat diwujudkan dalam pikiran, atau hanya dapat dibayangkan.

Hasil-hasil inovasi tertentu mudah dilihat dan dikomunikasikan kepada orang lain sedangkan bebnerapa lainnya tidak. Kami menyimpulkan bahwa observabilitas suatu inovasi menurut anggapan anggota sistem sosial berhubungan positif dengan kecepatan adopsinya.

Suatu  ilustrasi mengenai kesimpulan ini adalah kasus obat pembasmi rumput pengganggu tanaman yang disemprotkan di lading; obat ini membasmi rumput sebelum ia sempat tumbuh di atas tanah. Kecepatan adopsi ide baru ini di kalangan petani Mid Western sangat lambat walaupun inovasi itu memiliki keuntungan relatif, karena tidak tampak adanya rumput yang mati di lading petani yang menggunakan obat itu.

 

DAFTAR RUJUKAN

Rogers, E.M. dam F.F. Shoemaker, 1987, Communication of Innovations: A Cross Cultural Approach, The Frre Press, New York.

Rogers, Everett M, 1995, Diffusions of Innovations, Forth Edition. New York: Tree Press

Brown, Lawrence A., Innovation Diffusion: A New Perpevtive. New York: Methuen and Co.

Severin, Werner. & James W. Tankard, Jr. 2001 Communication Theories Origins, Methods. Addison Wesley Longman.

Hedebro, Goeran. 1982. Communivation and Social Change in Developing Nations. The Lowa State University.

Nasution, Zulkarimen. 1998. Komunikasi Pembangunan: Pengenalan Teori dan Penerapannnya. PT. Rajagrafindo Persada.

Devito, Joseph A. 1997. Komunikasi Antar Manusia. Jakarta: Profesional Books.

Bungin, Burhan. 2006. Sosiologi Komunikasi: Teori, Paradigma, dan Diskursus teknologi di Masyarakat. Jakarta: Kencana.

 

 

BAGAIMANA KHALAYAK MENGOLAH PESAN KAMPANYE?

by: A.C.S.

Cara khalayak menanggapi pesan-pesan kampanye juga akan menentukan apakah mereka akan menerima atau menolak pesan-pesan tersebut. Setidaknya ada tiga teori yang dapat menjelaskan bagaimana khalayak mengolah dan meresponi berbagai stimulus yang menerpa mereka , yakni information-integrategration theory (teori integrasi informasi), social judgment theory (teori pertimbangan sosial) dan likehood model (model kemungkinan elaborasi).

 

Teori Integrasi Informasi (Information-Integration Theory)

Teori integrasi informasi adalah salah satu dari sedikit teori komunikasi yang secara khusus memusatkan pembahasannya pada ‘cara’ mengumpuljan dan mengorganisaasikan informasi tentang orang, peristiwa, gagasan atau objek lainnya yang membentuk sikap terhadap objek atau konsep tersebut. Disini konstruk sikap menjadi sangat penting karena adanya pada prinsipnya semua studi tentang persuasi ditujukan untuk melakukan perubahan sikap. Sikap diartikan sebagai informasi akumulatif tentang berbagai peristiwa, orang atau objek lainnya yang sebelumnya telah mengalami proses evaluasi. Setiap perubahan sikap dipandang sebagai proses penambahan informasi atau perubahan penilaian terhadap kebenaran informasi.

Menurut teori ini sistem sikap individu daoat dipengaruhi oleh informasi yang diterima dan diintegrasikan ke dalam sistem informasi sikap tesebut. Semua informasi memiliki potensi untuk mempengaruhi sikap ditentukan oleh dua variable yakni valence dan weight. Valence atau cvalensi adalah derajat yang menunjukkan apakah suatu informasi dipandang sebagai kabar baik (goodnews) atau buruk (badnews). Jadi setiap informasi akan dievaluasi dengan menggunakan skala positif-negatif. Mulai dari sangat positif hingga sangat negatif. Jika informasi tertentu mendukung dan sesuai dengan sikap dan keyakinan yang dipegang seseorang, maka ia akan dipandang positif, demikian sebaliknya.

Variable kedua adalah weight atau bobot pesan yang dikaitkan dengan kredibilitas sumber yang menyampaikan informasi tersebut. Jika seseorang menganggap suatu informasi tertentu sebagai kebenaran maka ia akan memberikan bobot yang tinggi terhadap informasi tersebut. Jika sebaliknya maka informasi tersebut akan diberi nilai yang rendah. Jadi valence menunjukkan bagaimana suatu informasi akan memepengaruhi sikap, sementara weight menentukan seberapa besar pengaruh tersebut akan timbul. Bila bobot yang diberikan pada informasi tersebut rendah maka derajat pengaruh informasi tersebut akan kecil terlepas dari valensi yang ada.

Secara singkat dapat dijelaskan bahwa Valensi berkaitan dengan bagaimana informasi dipengaruhi sikap seseorang, sedangkan Bobot Penilaian berkaitan dengan sejauhmana informasi tersebut mempengaruhi sikap seseorang. Dengan demikian, walaupun suatu informasi memiliki tingkat valensi yang tinggi, apabila tidak didukung oleh bobot penilaian yang tinggi pula, akan menghasilkan efek yang kecil pada sikap seseorang (Littlejohn,1996:137-138).

Selanjutnya, pendekatan integrasi informasi memusatkan pada cara-cara orang mengakumulasikan dan mengorganisasikan informasi tentang orang, objek, situasi atau gagasan tertentu untuk membentuk sikap terhadap sebuah konsep. Sikap sudah menjadi sebuah satuan penting dalam penelitian tentang persuasi karena arti pentingnya dalam perubahan sikap. Sebuah sikap adalah sebuah predisposisi untuk bertindak dengan suatu cara yang positif atau negatif terdapat sesuatu.

Sebuah sikap merupakan sebuah akumulasi dari informasi tentang sesuatu, objek, orang, situasi atau pengalaman. Perubhan sikap terjadi karena informasi baru memberikan tambahan pada sikap. Sikap mempunyai korelasi dengan keyakinan dan menyebabkan seseorang memiliki perilaku tertentu terhadap objek sikap.

Menurut teori integrasi informasi ini, adanya akumulasi informasi yang diserap seseorang dapat menimbulkan hal-hal sebagai berikut:

  1. Informasi dapat merubah derajat kepercayaan seseorang terhadap suatu objek
  2. Informasi dapat merubah kredibilitas kepercayaan seseorang yang sudah dimiliki seseorang.
  3. Informasi dapat menambah kepercayaan baru yang telah ada dalam struktur sikap.

Sebuah sikap dipandang sebagai sebuah akumulasi dari informasi tentang suatu objek, orang, situasi, maupun pengalaman. Jadi, perubahan sikap terjadi karena informasi baru memberikan tambahan pada sikap, atau perubahan sikap terjadi karena informasi tersebut telah merubah penilaian seseorang mengenai valensi dan bobot informasi lain. Namun, informasi apapun biasanya tidak akan membawa pengaruh yang terlalu besar terhadap sebuah sikap karena sikap tersebut memuat bebarapa yang bisa menangkal informasi tersebut. Gary L. Kreps dalam bukunya Organizational Communication mengatakan:

Information is construct that is very closely related to meaning whereas meaning is the process of making “sense” of message and information is the “sense” that we make in creating meanings. The meanings that we create have informations value for us, to the extent that they help us understand, interpret, and predict phenomena. ( informasi adalah suatu proses pemaknaan pesan dan informasi adalah makna yang kita gunakan untuk membentuk suatu pengertian. Pengertian mengandung nilai informasi yang memungkinkan kita untuk mengerti, menginterpretasikan dan memprediksi suatu fenomena) (kreps,1990:27)

Makna penting pengorganisasian komunikasi yang menghubungkan kepentingan antara organisasi dengan lingkungan luarnya sebagaimana dikemukakan oleh Kreps yaitu, bahwa “ external communication shannels carry message between the organization and the organization’s relevant environment. Message are both sent to and received from the organization’s relevant environment. External message are set to attemp to influence the way environment representatives behave in regard to the organization.. (Media komunikasi eksternal menjembatani pesan antara organisasi dengan lingkungan sekitar dan pesan tersebut bertujuan untuk mempengaruhi bagaimana lingkungan sekitar bersikap terhadap organisasi) (Kreps, 1990:21).

 

Teori Pertimbangan Sosial (Social Judgment Theory)

Teori ini dikembangkan oleh Muzafer Sherif, seorang psikolog dari Oklahoma University AS (Barker, 1987). Secara ringkas teori ini menyatakan bahwa perubahan sikap seseorang terhadap objek sosial dan isu tertentu merupakan hasil proses pertimbangan (judgement) yang terjadi dalam diri orang tersebut terhadap pokok persoalan yang dihadapi.

Proses ”mempertimbangkan” isu atau objek sosial tersebut menerut Sherif berpatokan pada kerangka rujukan (reference points) yang dimiliki seseorang. Kerangka rujukan inilah yang pada gilirannya menjadi ”jangkar” untuk menentukan bagaimana seseorang memosisikan suatu pesan persuasif yang diterimanya. Lebih jauh Sherif menegaskan bahwa tindakan memosisikan dan menyortir pesan yang dilakukan oleh alam bawah sadar kita terjadi sesaat setelah proses persepsi. Di sini kita menimbang setiap gagasan baru yang menerpa kita dengan cara membandingkannya dengan sudut pandang kita saat itu.

Lalu apa rujukan yang menjadi sudut pandang seseorang dalam menilai suatu pesan?Menurut Sherif ada tiga rujukan yang digunakan seseorang untuk merespons suatu stimulus yang dihadapi. Ketiganya merupakan bagian yang saling terkait. Yang pertama disebut latitude of acceptance (rentang atau wilayah penerimaan) yang terdiri dari pendapat-pendapat yang masih dapat diterima dan ditoleransi. Bagian kedua disebut latitude of rejection (rentang penolakan) yang mencakup pendapat atau gagasan-gagasan yang kita tolak karena bertentangan dengan kerangka rujukan kita (sikap dan keyakinan), dan yang terakhir disebut latitude of noncommitment (rentang ketidakterlibatan) yang terdiri dari pendapat atau pesan-pesan persuasif yang tidak kita tolak dan tidak kita terima. Dalam rentang ketidakterlibatan ini kita tidak memiliki opini apa-apa sehingga bersifat netral terhadap pokok permasalahan yang ada.

Disamping ketiga konsep pokok diatas, masih ada satu konsep penting lainnya dari teori ini yang disebut ego-involevement yakni derajat yang menunjukkan arti penting suatu isu bagi seseorang. Meskipun tiga konsep ‘latitude’ yang dikemukakan teori pertimbangan sosial sudah cukup memadai dalam menjelaskan bagaimana seseorang akan bereaksi terhadap pesan-pesan persuasive, namun derajat penting-tidaknya suatu stimulus (ego-involvement) akan turut menentukan sejauhmana seseorang dapat dipengaruhi. Dengan kata lain makin berarti suatu isu bagi seseorang maka semaki  kecil kemungkinan orang tersebut dapat dipengaruhi.

Dalam teori ini juga dijelaskan adanya dua macam efek yang timbul akibat proses menilai atau mempertimbangkan pesan yakni efek asimilasi (assimilation effect) dan efek kontras (contrast effect). Efek asimilasi terjadi ketika seseorang menempatkan sebuah pesan persuasif dalam rentang penerimaan dan pesan-pesan tersebut mendekati pernyataan patokan (kerangka tujuan) yang ada. Karena pesan tersebut mendekati pernyataan patokan, maka pesan tersebut akan diasimilasi atau dianggap mirip dengan patokan yang ada dan dijadikan satu kelompok. Asimilasi ini merupakan efek gelang karet, dimana setiap pernyataan baru dapat ‘ditarik’ mendekati pernyataan patokan sehingga tampak menjadi lebih dapat diterima daripada keadaan sebenarnya. Orang yang menjadi sasaran persuasi akan menilai pesan atau pernyataan tersebut tampak sejalan dengan patokannya.s

Pernyataan yang berada dalam rentang penolakan akan tampak semakin berbeda (kontras) dan bertentangan dengan pernyataan patokanr perbedaan maka sebuah pesan yang sebenarnya ‘normal’ dan dapat ditoleransi ,enjadi pesan yang seolah-olah bertentangan sepenuhnya dengan patokan yang ada. Akhirnya pesan tersebut kita tolak.

Contoh berikut semakin memperjelas kita tentang efek kontras. Anggaplah disebuah ruang eksperimen terdapat tiga buah ember. Ember pertama berisi air dingin dan ember kedua berisi air hangat, sementara ember ketiga berisi air dalam suhu normal. Seorang sukarelawan memasukan tangan kanan pada ember pertama dan tangan kiri pada ember kedua. Setelah duapuluh detik, kedua tangan tersebut dimasukkan secara bersamaan ke dalam ember ketiga. Maka perbedaan yang kontras. Tangan kanan merasa air itu panas, sementara tangan kiri merasa air itu dingin. Disini Sherif memiliki hipotesis bahwa efek kontras akan terjadi bila kita berada dalam kondisi ”panas” kemudian menerima pesan yang tidak sama dengan patokan kita yang ”panas” tersebut. Seperti pada contoh diats, bahkan pesan yang ”normal” sekalipun akan menjadi lebih ”dingin” bila diukur dengan patokan yang digunakan.

 

Teori Elaboration Likehood Model

Elaboration likelihood model (ELM) atau model kemungkinan elaborasi merupakan salah satu teori persuasi yang paling popular dewasa ini. Berbeda dengan teori pertimbangan sosial yang menyatakan bahwa seseorang membuat keputusan berdasarkan referensi atau patokan, teori elaborasi kemungkinan menjelaskan bahwa keputusan dibuat bergantung pada jalur yang ditempuh dalam memroses sebuah pesan. Jika seseorang secara sungguh-sungguh mengolah pesan-pesan persuasive yang diterimanya dengan semata-mata berfokus pada isi pesan yang diterimanya melainkan lebih memperhatikandaya tarik penyampai pesan, kemasan pruduk atau aspek peripheral lainnya maka ia dipandang menggunakan jalur pinggiran (peripheral route).

Teori ini untuk pertama kalinya dikembangkan oleh Richard E Petty dan John T. Cacioppo, pakar komunikasi persuasif dari Ohio State University AS, pada tahun 1980. Asumsi yang mendasari teori ini adalah bahwa orang dapat memproses pesan persuasive dengan cara yang berbeda. Pada suatu situasi ini kita menilai sebuah pesan secara mendalam, hati-hati dan dengan pemikiran yang kritis, namun pada situasi lain kita menilai pesan sambil lalu saja tanpa mempertimbangkan argument yang mendasari isi oesan tersebut (Griffin, 2003).

Kemungkinan untuk memahami pesan persuasive secara mendalam bergantung pada cara seseorang memroses pesan. Pesan ini diterima dan disalurkan melalui dua jalur yang berbeda yakni central route dan peripheral route. Ketika kita memroses informasi melalui central route, kita secara aktif dan kritis memikirkan dan menimbang-nimbang isi pesan tersebut dengan menganalisis dan membandingkannya dengan pengetahuan atau informasi yang telah kita miliki. Pada umumnya orang berpendidikan tinggi atau berstatus sebagai pemuka pendapat (opinion leader) berkecenderungan menggunaka central route dalam mengolah pesan-pesan persuasif. Sementara orang berpendidikan rendah cenderung menggunakan jalur peripheral dimana faktor-faktor di luar isi pesan atau nonargumentasi lebih berpengaruh bagi yang bersangkutan dalam menentukan tindakan.


by: A.C.S.

 

PENDAHULUAN

Komunikasi Interpersonal (Interpersonal Communication) merujuk pada komunikasi yang terjadi secara langsung antara dua orang. Konteks ini sangat kaya akan hasil penelitian dan teori, dan mungkin merupakan konteks yang paling luas dibandingkan konteks lainnya. Konteks interpersonal banyak membahas tentang bagaimana suatu hubungan dimulai, bagaimana mempertahankan suatu hubungan, dan keretakan suatu hubungan (Berger, 1979; Dainton & Stafford, 2000).

Salah satu alasan mengapa peneliti dan teoritikus mempelajari relasi adalah karena relasi merupakan hal yang sangat kompleks dan beragam. Kita mungkin saat ini sedang berada dalam banyak relasi dengan orang lain, termasuk pasien-dokter, mahasiswa-dosen, orang tua-anak, supervisor-karyawan, dan sebagainya. Beronteraksi dalam tiap hubungan ini memberikan kesempatan kepada kmunikator untuk memaksimalkan fungsi berbagai macam saluran (penglihatan, pendengaran, sentuhan dan penciuman) untuk digunakan dalam sebuah interaksi. Dalam konteks ini, saluran-saluran ini berfungsi secara simultan bagi kedua partisipan interaksi: sebagai contoh, seorang anak mungkin akan menangis sambil berteriak mencari ibunya, dan ibunya akan menenangkan anaknya dengan elusan, memandang mata anaknya dan mendengarkan isakan mereka.

Konteks interpersonal sendiri terdiri atas beberapa subkonteks yang terkait. Peneliti komunikasi interpersonal telah mempelajari mengenai keluarga (Segrin & Flora, 2005), pertemanan (Chen, Dzewiecka, &Sias, 2001), pernikahan berusia panjang (Hughes & Dickson, dalam pers), hubungan dokter-pasien (Richmond, Smith, Heisel, & McCroskey, 2001), dan relasi di lingkungan kerja (Bruning, Castle, & Schrepfer, 2004). Selain itu, para peneliti juga tertarik akan banyak isu dan tema (contohnya, kompetensi, pembukaan diri, kekuasaan, gossip, kesukaan, ketertarikan, emosi dan sebagainya) berkaitan dengan hubungan-hubungan ini. Para peneliti juga mulai menaruh perhatian pada hubungan yang selama ini belum cukup diteliti, seperti hubungan gay dan lesbian, hidup bersama tanpa pernikahan, dan hubungan melalui jaringan computer (Galvin, 2004; Heinz, 2002; Peplau & Beals, 2004). Sebagaimana kita lihat, para peneliti telah menghasilkan banyak penelitian yang beraneka ragam dalam konteks komunikasi interpersonal, dan mempelajari hubungan serta apa yang terjadi di dalamnya memiliki daya tarik yang besar.

 

B. IDENTIFIKASI MASALAH

Komunikasi antar pribadi mempunyai fungsi-fungsi sebagai berikut.

  • To learn about self, other, and world
  • To relate to others and to form relationship
  • To influence or control the attitudes and behavior of others
  • To play or enjoy one self
  • To help others

 

Salah satu fungsi komunikasi antar pribadi yang telah disebutkan diatas yaitu. To relate to others and to form relationship. Fungsi tersebut perlu didukung oleh teori-teori atau pendapat beserta contoh sehingga pernyataan atau proposisi yang telah disebutkan dapat diyakini secara ilmiah.

 

C. PEMBAHASAN

Setiap saat kita berinteraksi dengan manusia. Sebagian besar kegiatan komunikasi  yang kita lakukan adalah dalam konteks komunikasi interpersonal. Interaksi antarmanusia dilakukan dengan berkomunikasi. Tanpa komunikasi, interaksi antar manusia menjadi sesuatu hal yang muskil. Komunikasi interpersonal adalah sesuatu yang kita lakukan setiap hari. Komunikasi interpersonal tersebut berlangsung baik secara perorangan, kelompok maupun organisasi.

Berbicara dengan teman sekampus, menjawab pertanyaan dosen, mengirim pesan melalui SMS, menjawab e-mail dari seorang teman, memperbaiki hubungan dengan teman, putus hubungan dengan pacar, mengirim surat lamaran pekerjaan, memberikan perinta dan lain sebagainya merupakan komunikasi yang berlangsung dalam situasi komunikasi interpersonal. Memahami interaksi tersebut  merupakan bagian yang esensial dalam pokok bahasan ini.

Keahlian berkomunikasi interpersonal menjadi sesuatu yang mutlak dalam kehidupan manusia. Sebagi contoh, survey terhadap 1000 orang berumur diatas 18 tahun yang dilakukan di Amerika. Dalam survey tersebut 53% responden mengatakan ketidakmampuan berkomunikasi secara efektif merupakan penyebab utama dari perceraian.

Selain itu, keahlian berkomunikasi interpersonal bagi para pekerja, manager maupun para professional juga memegang peranan penting. Sebuah studi yang dilakukan oleh Collegiate Employment Researches Institute of Michigan State University pada 500 pekerja, menyebutkan bahwa kemampuan berbicara dan menulis dengan baik, kemampuan berkomunikasi interpersonal dengan baik adalah kemampuan yang mutlak dimiliki oleh para lulusan.

 

Pengertian KAP

Dalam buku “The Interpersonal Communication Book” oleh Joseph A. Devito (1989), dijelaskan bahwa:

“Komunikasi interpersonal adalah proses pengiriman dan penerimaan pesan pesan antara dua orang atau diantara sekelompok kecil orang-orang dengan beberapa efek dan beberapa umpan balik seketika. (The process of sending and receiving messages between two persons, or among or small group of persons, with some effect and some immediate feedback)”

KAP mencakup aspek-aspek isi pesan dan relasi antarpribadi. Maksudnya isi pesan dipengaruhi oleh hubungan antara pihak yang berkomunikasi. Relasi antarpribadi adalah implikasi dari komunikasi antarpribadi. Komunikasi antarpribadi mensyaratkan kedekatan fisik antar pihak yang berkomunikasi.

Dalam sudut pandang psikologis, KAP merupakan kegiatan yang melibatkan dua orang atau lebih yang memiliki tingkat kesamaan diri, misalnya mereka adalah mahasiswa komunikasi. Mereka secara individual dan serempak memperluas diri pribadi masing-masing dalam tindakan komunikasi melalui pemikiran, perasaan, keyakinan, atau dengan kata lain melalui proses psikologis mereka. Proses ini berlangsung terus menerus selama keduanya masih terlibat dalam komunikasi. Nantinya proses psikologis dari setiap individu pasti mempengaruhi komunikasi antarpribadi yang pada gilirannya juga mempengaruhi relasi antarpribadi.

Memahami komunikasi interpersonal secara mendalam, diperlukan pemahaman tentang karakteristik, bentuk dan fungsinya.

 

  • Karakteristik Komunikasi Interpersonal

Komunikasi interpersonal adalah komunikasi yang terjadi antara dua orang (dyadic primacy), dua orang dalam suatu kelompok (dyadic coalitions) maupun hubungan antara dua orang dimana anda mempunyai kesadaran sebagai bagian dari sebuah hubungan (dyadic consciousness). Sebagai contoh : hubungan antara ibu dan anak, dua orang sahabat, sepasang kekasih, pegawai dengan atasannya dst. Komunikasi interpersonal juga dapat berlangsung antara orang asing atau orang yang tidak dikenal ketika ingin menanyakan situasi sekitarnya. Jadi tidak selalu terjadi antara dua orang yang kenal akrab.

 

  • Bentuk Komunikasi Interpersonal

Seringkali komunikasi interpersonal dilakukan secara langsung atau tatap muka.Berbicara dengan teman, berbagi rahasia dengan sahabat, bertukar cerita di meja makan adalah salah satu interaksi yang sering kita lakukan secara langsung. Berkat kemajuan teknologi kita dimungkinkan melakukan percakapan secara on-line. Komunikasi on-line yang utama adalah e-mail, kelompok milis dan chat-group.

Dalam e-mail kita biasanya menuliskan pesan pada sebuah program e-mail dan megirimkannya dari komputer kita melalui modem yang menyalurkan pesan melalui serangkaian jaringan komputer menuju alamat orang yang kita tuju.

Kelompok milis terdiri atas sekelompok orang yang tertarik pada topik tertentu dan berkomunikasi melalui e-mail. Secara umum kita mendaftar pada sebuah list dan berkomunikasi dengan semua anggotanya melalui alamat e-mail pada saat yang bersamaan.

Chat group, terutama MIRC, merupakan kelompok dimana anggotanya dapat berkomunikasi secara langsung dalam kelompok. Terdapat ribuan grup yang berbeda, sehingga kita dapat menemukan topic yang kita sukai. Baik chat group maupun milis memungkinkan kita untuk berkomunikasi dengan orang yang tidak pernah kita temui sebelumnya. Selain itu kita juga dapat belajar aturan-aturan maupun norma-norma budaya dari grup tersebut.

Fungsi Komunikasi Interpersonal

Fungsi komunikasi interpersonal diantaranya adalah :

  1. Sebagai sarana pembelajaran. Melalui komunikasi interpersonal kita belajar untuk lebih memahami dunia luar atau peristiwa-peristiwa yang terjadi di dunia ini. Walaupun sebagian besar informasi tersebut kita dapatkan melalui media massa, informasi tersebut dapat kita bicarakan melalui komunikasi interpersonal.
  2. Mengenal diri sendiri dan orang lain. Melalui komunikasi interpersonal kita dapat mengenal diri kita sendiri. Dengan membicarakan tentang diri kita sendiri pada orang lain, kita akan mendapatkan perspektif baru tentang diri kita sendiri dan memahami lebih mendalam tentang sikap dan perilaku kita. Persepsi diri kita sebagian besar merupakan hasil interkasi kita dengan orang lain.
  3. Komunikasi interpersonal membantu kita dalam membentuk suatu relasi (person to person). Karena manusia adalah mahluk sosial, maka kebutuhan untuk berhubungan dengan orang lain merupakan kebutuhan yang paling besar.
  4. Melalui komunikasi interpersonal kita dapat mempengaruhi individu untuk melakukan sesuatu sesuai dengan yang kita inginkan.
  5. Melalui komunikasi interpersonal kita dapat mengakrabkan diri kita dengan orang lain.
  6. Bermain dan mencari hiburan. Dalam berkomunikasi tidak selamanya kita selalu berusaha mempengaruhi orang lain. Kita berkomunikasi juga untuk memperoleh kesenangan. Bercerita tentang film yang kita tonton, melontarkan lelucon, membicarakan hobi merupakan kegiatan yang bertujuan untuk memperolah hiburan.

Fungsi KAP yang menjadi fokus dalam tulisan ini adalah point ke-3 fungsi komunikasi interpersonal tersebut diatas. To relate to others and to form relationships. Saya ulangi, komunikasi interpersonal membantu kita dalam membentuk suatu relasi (person to person). Karena manusia adalah mahluk sosial, maka kebutuhan untuk berhubungan dengan orang lain merupakan kebutuhan yang paling besar.

Fungsi komunikasi interpersonal tersebut dapat dilihat dari dua perspektif, yaitu :

  1. Fungsi tersebut dapat dilihat sebagai motivasi untuk melakukan komunikasi interpersonal. Dengan demikian, kita melakukan komunikasi interpersonal untuk memenuhi kebutuhan dalam membentuk suatu hubungan.
  2. Fungsi tersebut dapat dilihat sebagai hasil yang ingin dicapai dari komunikasi interpersonal. Dengan demikian, kita melakukan komunikasi interpersonal untuk mengenal diri kita sendiri lebih baik, mengenal orang lain secara lebih baik pula, maupun untuk membuat hubungan yang lebih bermakna dan memperolah pengetahuan tentang dunia luar.

 

Hubungan Interpersonal

Komunikasi yang efektif ditandai dengan hubungan interpersonal yang baik. Kegagalan komunikasi terjadi, bila isi pesan kita dipahami, tetapi hubungan di antara komunikan menjadi rusak. “Komunikasi interpersonal yang efektif meliputi banyak unsur, tetapi hubungan interpersonal barangkali yang paling penting,” tulis Anita Taylor et al. (1977:187). “Banyak penyebab dari rintangan komunikasi berakibat kecil saja bila ada hubungan baik di antara partisipan komunikasi. Sebaliknya, pesan yang paling jelas, paling tegas, dan paling cermat tidak dapat menghindari kegagalan, jika terjadi hubungan yang jelek.”

Setiap kali kita melakukan komunikasi, kita bukan hanya sekedar menyampaikan isi pesan; kita juga menentukan kadar hubungan interpersonal. Bukna hanya menentukan “content” tetapi juga “relationship”.

Perhatikan kalimat-kalimat di bawah ini. isinya sama: menanyakan nama, tetapi kadar hubungan interpersonal di dalamnya berbeda.

Sebutkan nama kamu !

Siapa nama Anda?

Bolehkah saya tahu siapa nama Bapak?

Sudi kiranya Bapak berkenan menyebutkan nama Bapak!

Kalimat-kalimat yang kita gunakan, sekali lagi, bukan hanya menyampaikan isi, tetapi juga mendefnisikan hubungan interpersonal.

Pandangan bahwa komunikasi mendefinisikan hubungan interpersonal telah dikemukakan Ruesch dan Bateson (1951) pada tahun 1950-an. Gagasan ini dipopulerkan di kalangan komunikasi oleh Watzlawick, Beavin dan Jackson (1976) dengan buku mereka Pragmatics of Human Communivation. Mereka melahirkan istilah baru untuk menunjukkan aspek hubungan dari pesan komunikasi ini – metakomunikasi. Mereka  menulis, “Every communication has content and a relationship aspect such that the latter classifies the former and is therefore metacommunications” (1976:154). Perlahan-lahan studi komunikasi interpersonal bergeser dari isi pesan pada aspek relational. Ada yang menyebutkan focus ini sebagai paradigm baru dalam penelitian komunikasi. Kini, kaum komunikolog menggeserkan perhatian “from the individual as the unit of analysis to the relationship as the unit of analysis (Parks and Wilmot, 1975:9). Gerarld R. Miller dalam kata pengantar yang dituliskan untuk buku Explorations in interpersonal Communication menyatakan:

Understanding the interpersonal communication process demands an understanding of the symbiotic relationship between communication and relational development: communication influences relational development, and in turn (simultaneously), relational development influences the nature of communication between parties to the relationship (Miller, 1976:15).

(Memahami proses komunikasi interpersonal menuntut pemahaman hubungan simbiotis antara komunikasi dengan perkembagan relasional: Komunikasi mempengaruhi perkembagan relasional, dan pada gilirannya (secara serentak), perkembangan relational mempengaruhi sifat komunikasi antara pihak-pihak yang terlibat dalam hubungan tersebut).

Para psikolog pun mulai menaruh minat yang besar pada hubungan interpersonal seperti tampak pada tulisan Fordon W. Allport (1960), Erich Fromm (1962), Martin Buber (1975) mengembangkan apa yang disebut sebagai ”relationship-enchancement methods” (metode peningkatan hubungan) dalam psikoterapi. Ia merumuskan metode ini dengan tiga prinsip: Makin baik hubungan interpersonal,

  1. Makin terbuka pasien mengungkapkan perasaannya.
  2. Makin cenderung ia meneliti perasaannya secara mendalam beserta makin cenderung ia meneliti perasaannya secara mendalam beserta penolongnya (psikolog), dan
  3. Makin cenderung ia mendengar dengan penuh perhatian dan bertindak atas nasihat yang diberikan penolongnya.

Dari segi psikologi komunikasi, kita dapat menyatakan bahwa makin baik hubungan interpersonal, makin terbuka orang untuk mengungkapkan dirinya, makin cermat persepsinya tentang orang lain dan persepsi dirinya, sehingga makin efektif komunikasi yang berlangsung di antara komunikan.

 

PENGEMBANGAN HUBUNGAN

Barangkali tidak ada yang lebih penting bagi kita selain kontak atau hubungan dengan sesama manusia. Begitu pentingnya kontaj ini sehingga bila kita tidak berhubungan dengan orang lain dalam waktu yang lama, rasa tertekan akan timbul, rasa ragu terhadap diri sendiri muncul, dan orang merasa sulit untuk menjalani kehidupan sehari-harinya. Desmond Morris, dalam Intimete behavior (1972), mencatat bahwa kontak dengan orang lain begitu pentingnya sehingga kultur kita telah membentuk segala macam subtitusi untuk menggantikan ketiadaan hubungan ini. Orang seringkali mengunjungi profesional seperti dokter, perawat, dan pemijat bukan karena sakit fisik, melainkan karena kebutuhan untuk kontak.

Setiap hubungan bersifat unik. Begitu juga, masing-masing dari kita membina hubungan karena alasan-alasan yang unik. Berikut beberapa alasan umum untuk mengembangkan sebagian besar hubungan: Mengurangi kesepian, mendapatkan rangsangan, mendapatkan pengetahuan-diri, dan memaksimalkan kesenangan dan meminimalkan penderitaan.

 

Mengurangi Kesepian

Kontak dengan sesama manusia mengurangi kesepian. Adakalanya kita mengalami kesepian karena secara fisik kita sendirian, walaupun kesendirian tidak selalu berarti kesepian. Kali lain kita kesepian karena, meskipun mungkin kita bersama orang lain, kita mempunyai kebutuhan yang terpenuhi akan kontak yang dekat-kadang-kadang secara fisik, adakalanya secara emosional, dan lebih sering lagi kedua-duanya (Peplau & Periman, 1982; Rubenstein & Shaver, 1982).

Sementara orang, dalam upaya mengurangi kesepian, berusaha melingkungi dirinya dengan banyak kenalan. Kadang-kadang ini membantu, tetapi seringkali malah membuat rasa sepi makin parah. Satu hubungan yang dekat biasanya malah lebih baik. Kebanyakan diri kita mengetahui hal ini, dan itulah sebabnya kita berusaha membina hubungan antarpribadi (Perlman & Peplau, 1981).

 

Mendapatkan Rasangan

Manusia membutuhkan stimulasi. Jika kita tidak menerima stimulasi, kita mengalami kemunduran dan bisa mati. Kontak antarmanusia merupakan salah satu cara terbaik untuk mendapatkan stimulasi ini. Kita merupakan gabungan dari banyak dimensi yang berbeda-beda, dan semua dimensi kita embutuhkan atimulasi. Kita adalah makhluk intelektual, dan karenanya kita membutuhkan stimulasi intelektual. Kita membicarakan gagasan, mengikuti kegiatan kelas, dan berdebat tentang interpretasi yang berbeda mengenai film atau novel. Dengan cara itu kita mengasah kemampuan penalaran, analitik,dan interpretasi kita. Dengan melakukannya, kita meningkatkan, mempertajam, dan mengembangkan kemampuan-kemampuan ini.

Kita juga makhluk fisik yang membutuhkan stimulasi fisik. Kita butuh membelai dan dibelai,memeluk dan juga dipeluk. Selanjutnya, kita adalah makhluk emosional yang membutuhkan stimulasi emosional. Kita perlu tertawa dan menangis, dan membutuhkan harapan dan kejutan, dan mengalami kehangatan dan afeksi. Kita membutuhkan latihan untuk emosi kita selain juga untuk kemampuan intelektual kita.

 

Mendapatkan Pengetahuan-Diri

Sebagian besar melalui kontak dengan sesama manusialah kita belajar mengeni diri kita sendiri. Dalam diskusi tentang kesadaran-diri telah dijelaskan bahwa kita melihat diri sendiri sebagian melalui mata orang lain. Jika kawan-kawan kita melihat kita sebagai orang yang hangat dan pemurah, misalnya, barangkali kita juga akan memandang diri sendiri sebagai hangat dan pemurah. Persepsi-diri kita sangat dipengaruhi oleh apa yang kita yakini dipikirkan orang tentang diri kita.

 

Memaksimalkan Kesenagan, Meminimalkan Penderitaan

Alasan paling umum untuk membina hubungan, dan alasan yang dapat mencakup semua alasan yang lainnya, adalah bahwa kita berusaha berhubungan dengan manusia lain untuk memaksimalkan kesenangan kita dan meminimalkan penderitaan kita. Kita perlu berbagi rasa dengan orang lain mengenai nasib baik kita serta mengenai penderitaan emosi atau fisik kita. Barangkali kebutuhan yang terakhir ini bermula di masa kanak-kanak, ketika anda berlari mendekati ibu sehingga beliau dapat mengecup luka anda atau ikut menikmati kegembiraan anda. Sekarang anda sulit untuk berlari mendekati ibu, karenannya anda mencari orana lain, umumnya kawan-kawan yang akan memberikan dukungan yang sama seperti yang pernah dilakukan ibu di waktu yang lalu.

 

TEORI-TEORI HUBUNGAN INTERPERSONAL

Berjuta-juta dolar telah dihasilkan oleh para penulis buku mengenai bagaimana untuk memulai, mengembangkan, dan mempertahankan hubungan interpersonal. Sebagaimana dapat kita lihat, berbagai hubungan kita dengan teman, keluarga, mitra/pasangan, rekan kerja, pemuka agama, dan yang lainnya dipenuhi dengan dinamika. Karena pentingnya hubungan interpersonal ini, kita akan membicarakan beberapa teori tentang hubungan interpersonal. Teori-teori ini memberikan perspektif untuk memandang proses hubungan interpersonal dan memberikan penjelasan faktor-faktor yang mempengaruhi hubungan interpersonal. Selanjutnya kita akan membicarakan tahap-tahap hubungan interpersonal dan tiga faktor dalam komunikasi interpersonal yang menumbuhkan hubungan interpersonal yang baik: Percaya (trust), sikap suportif (supportiveness), dan sikap terbuka (open-mindedness).

 

TEORI KEBUTUHAN HUBUNGAN INTERPERSONAL

Teori sistem dan komunikasi dalam hubungan Salah sastu bagian dalam lapangan komunikasi yang dikenal sebagai relational communication sangat dipengaruhi oleh teori sistem. Inti dari kerja ini adalah asumsi bahwa fungsi komunikasi interpersonal untuk membuat, membina, dan mengubah hubungan dan bahwa hubungan pada gilirannya akan mempengaruhi sifat komunikasi interpersonal.
Point ini berdasar pada gagasan bahwa komunikasi sebagai interaksi yang menciptakan struktur hubungan. Dalam keluarga misalnya, anggota individu secara sendirian tidak membentuk sebuah sistem, tetapi ketika berinteraksi antara satu dengan anggota lainnya, pola yang dihasilkan memberi bentuk pada keluarga. Gagasan sistem yang penting ini secara luas diadopsi dalam lapangan komunikasi.

Proses dan bentuk merupakan dua sisi mata uang; saling menentukan satu sama lain. Seorang Antropolog Gregory Bateson adalah pendiri garis teori ini yang selanjutnya dikenal dengan komunikasi relasional. Kerjanya mengarah pada pengembangan dua proposisi mendasar pada mana kebanyakan teori relasional masih bersandar. Pertama yaitu sifat mendua dari pesan: setiap pertukaran interpersonal membawa dua pesan, pesan “report” dan pesan “command”. Report message mengandung substansi atau isi komunikasi, sedangkan command message membuat pernyataan mengenai hubungan. Dua elemen ini selanjutnya dikenal sebagai “isi pesan” dan “pesan hubungan”, atau “komunikasi” dan “metakomunikasi”.

Pesan report menetapkan mengenai apa yang dikatakan, dan pesan command menunjukkan hubungan diantara komunikator. Isi pesan sederhana seperti “I love you” dapat dibawakan dalam berbagai cara, dimana masing-masing mengatakan sesuatu secara berbeda mengenai hubungan. Frasa ini dapat dikatakan dalam cara yang bersifat dominasi, submissive, pleading (memohon), meragukan, atau mempercayakan. Isi pesannya sama, tetapi pesan hubungan dapat berbeda pada tiap kasus.

Proposisi kedua Bateson yaitu bahwa hubungan dapat dikarakterisasi dengan komplementer atau simetris. Dalam hubungan yang komplementer, sebuah bentuk perilaku diikuti oleh lawannya. Contoh, perilaku dominan seorang partisipan memperoleh perilaku submissive dari partisipan lain. Dalam symmetry, tindakan seseorang diikuti oleh jenis yang sama. Dominasi ketemu dengan sifat dominan, atau submissif ketemu dengan submissif.

Disini kita mulai melihat bagaimana proses interaksi menciptakan struktur dalam sistem. Bagaimana orang merespon satu sama lain menentukan jenis hubungan yang mereka miliki. Sistem yang mengandung serangkaian pesan submissif akan sangat berbeda dengan yang mengandung rangkaian pesan yang besifat dominasi. Dan struktur pesan yang mencampur keduanya adalah berbeda pula. Meski Bateson seorang pakar antropologi, gagasannya dengan cepat dibawa kedalam psikiatri dan diterapkan pada hubungan patologis. Beberapa peneliti komunikasi memanfaatkan kerja Bateson dan kelompoknya. Aubrey Fisher, salah satu yang dikenal baik dari kelompok ini, sebagai pemimpin teoritisi sistem.

Dalam buku Perspectives on Human Communication dia menerapkan konsep sistem kedalam komunikasi. Analisa Fisher dimulai dengan perilaku seperti komentar verbal dan tindakan nonverbal sebagai unit terkecil analisa dalam sistem komunikasi. Perilaku yang dapat diamati ini dapat dilihat atau didengar dan merupakan satu-satunya ekspresi pemikiran bagi keterhubungan individu dalam sistem komunikasi. Dari sudut pandang sistem, perilaku itu sendiri adalah apa yang dihitung, dan struktur hubungan terdiri atas pola perilaku yang tersusun ini. Dengan kata lain, hubungan kita dengan orang lain ditentukan oleh bagaimana kedua kita bertindak dan apa yang kita katakan.

Pola komunikasi dibentuk oleh sekuen tindakan. Ketika kita berkomunikasi kita bertindak dan bereaksi dalam sekuen, jadi interaksi adalah arus pesan. Fisher percaya bahwa arus bicara dengan dirinya sendiri mengatakan sedikit mengenai komunikasi, sehingga harus dipecah kedalam unit-unit yang mengandung tindakan dan respon. Fisher mengembangkan metode untuk mengetahui semua pola percakapan, yang terdiri atas pesan-pesan penyandian, sehingga pola respon dapat ditetapkan.
Unit yang paling dasar dari komunikasi dipakai Fisher adalah interact, atau rangkaian dua pesan yang bersambungan diantara dua orang. Contohnya yaitu pertanyaan dari orang pertama diikuti oleh jawaban dari orang kedua. Pertanyaan yang diikuti oleh jawaban akan berbeda dari permintaan yang diikuti persetujuan.

Permintan yang diikuti oleh penawaran adalah berbeda dari suggestion atau saran yang diikuti oleh keberatan. Interaksi dikombinasikan kedalam unit yan glebih besar disebut double interact (tiga tindakan), dan selanjutnya dikombinasi lagi kedalam triple interact (empat tindakan). Struktur dari keseluruhan interaksi merupakan rangkaian interaksi yang makin lama makin membesar. Kebanyakan kerja Fisher melibatkan pembuatan keputusan dalam kelompok kecil. Dalam risetnya dia menyandi apa yang orang katakan dalam diskusi kelompok dan menganalisa interaksi ini dalam cara yang seluruh pola, atau struktur dari diskusi dapat digambarkan. Fisher menunjukkan bagaimana interaksi berkombinasi dengan bentuk fase pemuatan keputusan kelompok.

Diantara periset yang terkenal dalam komunikasi relasional adalah Edna Rogers dan Frank Millar. Kerja Millar dan Rogers merupakan aplikasi langsung dari gagasa Bateson dan konsisten dengan teori Fisher. Secara khusus, mereka bertanggung jawab bagi pengembangan metode riset mengenai pengkode-an dan pengelompokan pola relasional. Seperti Fishe, Millar dan Rogers mengamati percakapan dan kode tindakan komunikasi dalam suatu cara yang membiarkan mereka menemukan pola yang diciptakan melalui interaksi. Dari risetnya mereka mengembangkan teori yang menunjukkan bagaimana hubungan mengandung struktur kontrol, kepercayaan, dan keakraban.

 

SELF DISCLOSURE

Self disclosure atau proses pengungkapan diri yang telah lama menjadi focus penelitian dan teori komunikasi mengenai hubungan, merupakan proses mengungkapkan informasi pribadi kita kepada orang lain dan sebaliknya. Sidney Jourard (1971) menandai sehat atau tidaknya komunikasi antar pribadi dengan melihat keterbukaan yang terjadi dalam komunikasi. Mengungkapkan yang sebenarnya mengenai diri kita kepada orang lain yang juga bersedia mengungkapkan yang sebenarnya tentang dirinya, dipandang sebagai ukuran dari hubungan yang ideal.

Ahli lain Joseph Luft (Reardon; 1987;163) mengemukakan teori self disclosure yang didasarkan pada model interaksi manusia, yang disebut Johari Window. Menurut Luft, orang memiliki atribut yang hanya diketahui oleh dirinya sendiri, hanya diketahui oleh orang lain, diketahui oleh dirinya sendiri dan orang lain dan tidak diketahu oleh siapapun. Jenis-jenis pengetahuan ini menunjuk pada keempat kuadran dari Johari Window. Idealnya, kuadran satu yang mencerminkan keterbukaan akan semakin membesar/meningkat.

Jika komunikasi antara dua orang berlangsung dengan baik, maka akan terjadi disclosure yang mendorong informasi mengenai diri masing-masing kedalam kuadran “terbuka”. Kuadaran 4 sulit untuk diketahui, tetapi mungkin dapat dicapai melalui kegiatan seperti refleksi diri dan mimpi.

Meskipun self-disclosure mendorong adanya keterbukaan, namun keterbukaan sendiri ada batasnya. Artinya perlu kita pertimbangkan kembali apakah menceritakan segala sesuatu tentang diri kita kepada orang lain akan menghasilkan efek positif bagi diri kita dengan orang tersebut. Bebrapa penelitian menunjukan bahwa keterbukaan yang ekstrim akan memberikan efek negative bagi hubungan.

Seperti dikemukakan oleh Shirley Gilbert (Littlejohn;1989; 161) bahwa kepuasan dalam hubungan dan disclosure memiliki hubungan kurvalinear, yaitu tingkat kepuasanmencapai titik tertinggi pada tingkat disclosure yang sedang (moderate).

 

TEORI PERTUKARAN SOSIAL

Teori ini menelaah bagaimana kontribusi seseorang dalam suatu hubungan mempengaruhi kontribusi orang lainnya. Thibaut dan Kelley, pencetus teori ini, mengemukakan bahwa yang mengevaluasi hubungannya dengan orang lain. Dengan mempertimbangkan konsekuensinya, khususnya terhadap ganjaran yang diperoleh dan upaya yang telah dilakukan, orang akan tetap memutuskan untuk tetap tingal dalam hubungan tersebut atau meninggalkannya (mempertahankan hubungan datau mengakhirinya). Ukuran bagi keseimbangan antara ganjaran dan upaya ini disebut comparisons level, dimana di atas ambang ukuran tersebut orang akan merasa puas dengan hubungannya. Misalnya kita beranggapan bahwa dasar dari persahabatan adalah kejujuran. Kita mengetahui bahwa sahabat kita berusaha untuk menipu, maka kita akan mempertimbangkan kembali hubungan persahabayan dengannya. Mungkin kita akan memutuskan untuk mengakhiri hubungan demi kebaikan, dengan kejujuran sebagai ambang ukuran, kita merasa bahwa ganjaran yang kita peroleh tidak sesuai dengan upaya kita untuk mempertahankan kejujuran dalam hubungan.

Sementara itu comparison level of alternatives merupakan hasil terendah/terburuk dalam konteks ganjaran dan upaya yang dapat ditolerir seseorang dengan mempertimbangkan alternative-alternatif yang dia miliki. Jika seseorang tidak banyak memiliki alternative hubungan maka dia akan memberikan standar yang cukup itu seringkali dirasakan merugikan bagi dirinya, namun karena tidak banyak memiliki alternative hubungan, dia akan berusaha mempertimbangkan hubungan tersebut. Sedangkan orang yang banyak memiliki alternative akan lebih mudah meninggalkan suatu hubungan bila dirasakan bahwa hubungan tersebut sudah tidak memuaskan lagi. Konsekuansi suatu hubungan dan konsekuaensi yang digunakan akan berubah seiring dengan perjalanan hubungan tersebut.

Roloff (1981) mengemukakan bahwa asumsi tentang perhitungan antara ganjaran dan upaya (untung-rugi) tidak berarti bahwa orang selalu berusaha untuk saling mengeksploitasi, tetapi bahwa orang lebih memilih lingkungan dan hubungan yang dapat memberikan hasil yang diinginkannya. Tentunya kepentingan masing-masing orang akan dapat dipertemukan untuk dapat saling memuaskan daripada hubungan yang eksploitatif. Hubungan yang ideal akan terjadi bilamana kedua belah pihak dapat saling memberikan cukup keuntungan sehingga hubungan menjadi sumber yang dapat diandalkan bagi kepuasan kedua belah pihak.

 

TEORI PENETRASI SOSIAL

Salah satu proses yang paling luas dikaji atas perkembangan hubungan adalah penetrasi sosial. Secara garis besar, ini merupakan ide bahwa hubungan menjadi labih akrab seiring waktu ketika patner memberitahukan semakin banyak informasi mengenai mereka sendiri. Selanjutnya, social penetration merupakan proses peningkatan disclosure dan keakraban dalam hubungan.

Gerald Miller dan rekannya secara literal mengartikan komunikasi interpersonal dalam term penetrasi. Semakin bertambah yang saling diketahui oleh masing-masing komunikator, semakin bertambah karakter interpersonal yang berperan dalam komunikasi mereka. Semakin sedikit yang mereka ketahui tiap personnya, semakin impersonal komunikasi itu. Komunikasi interpersonal karenanya merupakan beragam proses penetrasi sosial. Teori penetrasi sosial yang paling terkenal yaitu milik Altman dan Taylor.

Original Social Penetration Theory. Irwin Altman dan Dalmas Taylor mengenalkan istilah penetrasi sosial. Manurut teori mereka, karena hubungan itu berkembang, komunikasi bergerak dari level yang relatif sedikit dalam, tidak akrab, menuju level yang lebih dalam, lebih personal. Personalitas komunikator dapat diperlihatkan melalui lingkungan dengan lapisan tiga dimensi; memiliki jarak (breadth) dan kedalaman (depth). Breadth merupakan susunan yang berurutan atau keragaman topik yang merasuk kedalam kehidupan individu. Depth adalah jumlah informasi yang tersedia pada tiap topik. Pada jarak terjauh akan merupakan level komunikasi yang dapat dilihat, seperti berpakaian dan bicara. Didalamnya merupakan detil privat yang meningkat mengenai kehidupan, perasaan, serta pikiran partisipan. Karena hubungan itu berkembang, patner berbagi lebih banyak atas diri, menyediakan breadth sebaik depth, melalui pertukaran informasi, perasaan dan aktivitas.

Komunikasi kemudian dibantu oleh pemakaian level-level. Pada saat level tertentu tercapai, dibawah kondisi yang memungkinkan sepasang patner berbagi dalam meningkatkan breadth pada level tersebut. Contohnya, setelah kencan beberapa saat pasangan yang menikah bisa mulai mendiskusikan tindakan berpasangan selanjutnya, dan makin bertambah informasi mengenai langkah berpasangan selanjutnya akan diperlihatkan / diberitahu sebelum bergerak bahkan menuju level disclosure yang lebih dalam semisal sejarah seksual.

Teori Altman dan Taylor didasarkan dalam sebagian besar dari satu ide yang paling populer dalam ilmu sosial –bahwa hubungan akan berhasil ketika secara relatif memperoleh ganjaran (rewarding) dan akan berhenti ketika secara relatif mengeluarkan biaya (cost). Proses ini dikenal sebagai pertukaran sosial. Menurut Altman dan Taylor, pasangan relasional bukan hanya mengandung reward dan cost atas hubungan pada saat tertentu, tetapi juga menggunakan informasi yang mereka cari untuk meramalkan reward dan cost di waktu mendatang.

Jika patner menilai bahwa reward secara relatif lebih besar dari cost, mereka akan beresiko lebih banyak disclosure yang mempunyai potensi gerakan partisipan menuju level keakraban yang lebih dalam. Semakin besar reward yang diketahui relatif terhadap cost, semakin cepat penetrasi. Altman dan Taylor menemukan bahwa penetrasi tercepat cenderung terjadi dalam langkah awal perkembangan ketika reward cenderung malampaui cost.

Terdapat empat langkah perkembangan hubungan. Orientation mengandung komunikasi impersonal, dimana seseorang memberitahu hanya informasi yang sangat umum mengenai dirinya sendiri. Jika tahap ini menghasilkan reward pada partisipan, mereka akan bergerak menuju tahap berikutnya, the exploratory affective exchange , dimana perluasaan / ekspansi awal informasi dan gerakan menuju level lebih dalam dari disclosure itu terjadi. Tahap ketiga, affective exchange memusatkan pada perasaan evaluatif dan kritis pada level yang lebih dalam. Tahap ini tidak akan dimasuki kecuali jika patner menyadari reward substansial yang relatif terhadap cost dalam tahap lebih awal. Akhirnya, stable exchange adalah keakraban yang sangat tinggi dan mengijinkan patner untuk meramalkan setiap tindakan pihak lain dan menanggapinya dengan sangat baik.

Altman dan Taylor menunjukkan bahwa perkembangan hubungan bukan hanya melibatkan peningkatan penetrasi sosial. Juga terlalu sering melibatkan keakraban yang menurun, ketidakteraturan, dan tanpa solusi. Altman dan Taylor menyarankan bahwa reward terkurangi dan cost meningkat pada level komunikasi yang lebih akrab, proses penetrasi sosial akan terbentuk dan hubungan akan mulai mengambil bagian.

Modifikasi terhadap penetrasi sosial. Teori penetrasi sosial orisinal penting dalam memusatkan perhatian kita pada pengembangan hubungan sebagai proses komunikasi. Terdapat banyak kebenaran terhadap ide bahwa hubungan menjadi lebih dekat jika informasi dibagi, dan bahwa perkembangan secara parsial merupakan proses peningkatan keakraban. Pada saat yang sama, teori original tersebut dianggap terlalu sederhana. Kebanyakan siswa perkembangan hubungan sekarang ini percaya bahwa penetrasi sosial sifatnya berputar, sebagai proses dialektis. Disebut berputar ( cyclical ) sebab berlangsung dalam bentuk siklus timbal-balik, serta disebut bersifat dialektis karena melibatkan pengaturan pertentangan / ketegangan antara lawan-lawannya.

Sebuah dialectic adalah ketegangan antara dua atau lebih elemen yang berlawanan dalam sistem yang pada akhirnya kadang-kadang meminta resolusi. Analisa dialektis melihat cara sistem berkembang atau berubah, bagaimana ia bergerak, dalam merespon ketegangan. Dan ia melihat strategi tindakan yang dipakai sistem untuk menyelesaikan kontradiksi.

Altman dan rekannya sekarang menyatakan bahwa dialektik ini biasanya diatur dalam sebuah istilah panjang hubungan oleh semacam siklus yang dapat diramalkan. Dengan kata lain, karena hubungan itu berkembang, keterbukaan dan ketertutupan yang berputar pada pasangan nikah mempunyai pengaturan tertentu atau ritme yang dapat diramalkan. Pada saat yang sama, dalam beberapa hubungan yang dikembangkan, perputaran yang terjadi lebih besar dibadingkan hubungan yang kurang dikembangkan. Hal ini sebab, konsisten dengan perkiraan dasar teori penetrasi sosial, hubungan yang dikembangkan rata-rata lebih diterima.

Untuk mengetes ide ini, analisa Arthur VanLear menunjukkan bahwa dalam percakapan pasangan nikah siklus keterbukaan terjadi dan beberapa sinkronisasi juga terjadi. Sebagai perbandingan, juga diamati kelompok pelajar yang ternyata juga mencerminkan hal yang sama. Kedua kajian tersebut menunjukkan bahwa siklus tersebut terjadi, bahwa sifatnya kompleks, bahwa patner mengenal siklus mereka, dan bahwa penggabungan dan sinkronisasi seringkali terjadi. Penting untuk dicatat, ternyata bahwa jumlah sinkroni tidak sama pada tiap pasangan, yang berarti bahwa terdapat perbedaan antar pasangan dalam kemampuan mereka untuk mengkoordinasi siklus self-disclosure.

 

TEORI PENGURANGAN KETIDAKPASTIAN

Edie Banks dan Malcolm Rogers mengambil kelas filsafat yang sama di Universitas Urban dan terdaftar di bagian yang sama. Hingga hari ini, mereka belum berbicara satu sama lain, meskipoun mereka selalu bertemu di kelas setiap hari Senin, Rabu, dan Jumat selama tiga bulan terakhir.malcolm telah mengamati Edie dan berpikir bahwa Edie adalah gadis yang menarik. Hari ini, ketika Edie meninggalkan kelas, ia melihat Malcolm memandangnya dari sudut ruangan di mana ia duduk dengan teman-temannya. Edie merasa sedikit tidak nyaman ditatap sedemikian rupa oleh Malcolm, dan ia bergegas keluar dari ruangan kelas.

Sayangnya, teman Edie, Maggie, menghentikannya di depan pintu dengan sebuah pertanyaan mengenai tugas untuk minggu depan, sehingga Edie dam Malcolm mencapai lorong pada waktu bersamaan. Terdapat keheningan sesaat yang membuat rikuh ketika mereka tersenyum dengan ragu terhadap satu sama lain. Malcolm mendehem dan berkata, ”Hai. Hari ini pelajarannya cukup menarik, bukan?” Edie mengangkat bahunya, tersenyum kembali, dan menjawab, ”Saya tidak yakin mengerti apa yang diajarkan dalam kelas itu. Saya mengambil jurusan teknik, dan kelas ini hanyalah kelas pilihan untuk saya. Kadang saya berpikir mungkin sebaiknya saya mengambil kelas boling saja.: Malcolm tersenyum dan berkata, ”Saya cukup gembira semenjak memutuskan untuk mengambil filsafat. Tetapi mungkin saya akan memiliki reaksi yang sama denganmu jika saya berada di kelas teknik! Saya bahkan mungkin tidak dapat memahami hal yang sangat sederhana di sana.” Keduanya tertawa untuk beberapa saat. Kemudian Edie berkata, ”Saya harus pergi. Sampai ketemu lagi,” dan ia buru-buru melintasi lorong.

Malcolm berjalan ke kelas berikutnya dengan bertanya-tanya apakah mereka akan berbicara lagi, apakah Edie sedang merendahkan pilihan jurusannya, apakah Edie berpikir ia telah berkata tidak sopan mengenai jurusan pilihan Edie, apakah Edia menyukainya, apakah ia menyukai Edie, atau apakah Melcolm peduli dengan semua itu.

Kadang kala disebut teori Interasksi Awal (Initial Interaction Theory), Teori Pengurangan Ketidak Pastian (Uncertainty Reduction Theory-URT) dipelopori oleh Charles Berger dan  Richard Calabrese pada tahun 1975. Tujuan mereka dalammenyusun teori ini adalah untuk menjelaskan bagaimana komunikasi digunakan untuk mengurangi ketidakpastian di antara orang asing yang terlibat dalam pembicaraan satu sama lain untuk pertama kali. Berger dan Calabrese yakin bahwa ketika orang asing pertama kali bertemu, utamanya mereka tertarik untuk meningkatkan prediktibilitas dalam usaha untuk memahami pengalaman komunikasi mereka.

Ketika orang asing bertemu, fokus utama mereka adalah mengurangi tingkat ketidakpastian mereka dalam situasi tersebut karena ketidakpastian menyebabkan ketidaknyamanan. Orang dapat mengalami ketidakpastian pada dua level yang berbeda: perilaku dan kognitif. Mereka mungkin tidak yakin akan bagaimana harus berperilaku (atau bagaimana orang lain akan berperilaku), dan mereka mungkin juga tidak yakin apa yuang mereka pikirkan mengenai orang lain dan apa yang orang lain pikirkan mengenai mereka. Tingkat ketidakpastian yang tinggi dihubungkan dengan beragam perilaku verbal dan nonverbal.

AsumsinTeori Pengurangan Ketidakpastian

Asumsi-asumsi berikut ini membingkai teori ini:

  • Orang mengalami ketidakpastian dalam latar interpersonal.
  • Ketidakpastian adalah keadaan yang tidak mengenakkan, menimbulkan stres secara kognitif.
  • Ketika orang asing bertemu, perhatian utama mereka adalah untuk mengurangi ketidakpastian mereka atau meningkatkan prediktibilitas.
  • Komunikasi Interpersonal adalah sebuah proses perkembangan yang terjaddi melalui tahapan-tahapan.
  • Komunikasi Interpersonal adalah alat yang utama untuk mengurangi ketidakpastian
  • Kuantitas dan sifat informasi yang dibagi oleh orang akan berubah seiring berjalannya waktu.
  • Sangat mungkin untuk menduga perilaku orang dengan menggunakan cara seperti hukum.

Tiap asumsi akan dibahas secara singkat. Pertama, di dalam sejumlah latar interpersonal, orang merasakan ketidakpastian. Karena terdapat harapan berbeda-beda mengenai kejadian interpersonal, maka masuk akal untuk menyimpulkan bahwa orang merasakan ketidakpastian atau bahkan cemas untuk bertemu orang lain. Sebagaimana dikatakan Berger dan Calabrese (1975), ”Ketika orang tidak mampu untuk memahami lingkunagan, mereka biasanya menjadi cemas”. Pertimbangkan kecemasan Malcolm ketika dia bertemu Edie setelah kelas berakhir sebagai contoh. Berger dan Calabrase menyatakan bahwa ia mengalami ketidakpastian ketika bertemu Edie, seorang teman sekelas yang membuatnya tertarik. Meskipun banyak tanda-tanda di sekitar yang membantu Malcolm untuk memahami interaksinya dengan Edie, terdapat juga banyak faktor yang menyulitkan. Contohnya, Malcolm mungkin melihat ketergesaan Edie untuk meninggalkan kelas. Terdapat beberapa alternatif penjelasa untuk perilaku ini, misalnya Edia masih menghadapi kelas lain yang jaraknya cukup jauh, suatu dugaan yang cukup umum mengenai ketergesaan seseorang seseorang, atau ia harus pergi ke kamar kecil, merasa lemas dan membutuhkan udara segar, ingin menghindari bertemu Malcolm di pintu, dan sebagainya. Dengan adanya semua alternatif ini, sangat mungkin bahwa Malcolm (atau orang lain dalam situasinya) merasa tidak pasti bagaimana menginterpretasikan perilaku Edie.

Asumsi kedua menyarankan bahwa ketidakpastian merupakan keadaan yang tidak engenakkan. Denan kata lain, berada d\i dalam ketidak pastian membutuhkan energi emosional dan psikologis yang tidak sedikit.

Asumsi berikutnya mengenai URT mengusung pertanyaan bahwa ketika orang asing bertemu, terdapat dua hal yang penting: mengurangi ketidakpastian dan meningkatkan prediktibilitas. Sekilas, pernyataan ini terdengar wajar, tapi, sebagaimana disimpulkan oleh Berger (1995), ”Selalu terdapat kemungkinan bawa mitra berbicara seseorang akan memberikan respons secara tidak biasa pada pesan yang paling rutin sekalipun”.

Asumsi keempat URT menyatakan bahwa komunikasi interpersonal adalah proses yang melibatkan tahapan-tahapaan perkembangan. Menurut Berger dan Calabrase, biasanya kebanyakan orang memulai interaksi dalam sebuah fase awal (entry phase), yang dapat didefinisikan sebagai tahapn awal interaksi antara orang asing. Fase awal dituntun oleh aturan dan norma implisit dan eksplisit, seperti membalas ketika orang mengatakan, ”Hai! Apa kabar?”. setelah itu, orang memasuki tahapan kedua, yang disebut sebagai fase personal (personal phase), atau tahap dimana partisipan mulai berkomunikasi dengan lebih spontan dan membuka lebih banyak informasi pribadinya. Fase personal dapat terjadi dalam perjumpaan awal, tetapi lebih banyak terjadi setelah dilakukan beberapa interaksi. Tahap ketiga, fase akhir (exit phase), merujuk pada tahapan selama di mana individu membuat keputusan mengenai apakah mereka ingiin untuk melanjutkan interaksi dengan pasangannya di masa yang akan datang. Meskipun senua orang tidak memasuki sebuah tahapan dengan cara yang sama satau tetap pada sebuah tahapan selama beberapa waktu, Berger dan Calabrase yakin bahwa sebuah kerangka universal terbentuk untuk menjelaskan bagaimana komunikasi interpersonal membentuk dan merefleksikan perkembangan hubungan interpersonal.

Asumsi kelima menyatakan bahwa komunikasi interpersonal adalah alat untama bagi pengurangan ketidakpastian. Karena kita telah mengidentifikasi komunikasi interpersonal sebagai fokus URT, asumsi ini bukan merupakan hal yang mengherankan.

Asumsi berikutnya menggarisbawahi sifat waktu. Asumsi ini juga berfokus pada fakta bahwa komunikasi interpersonal adalah perkembangan. Teoretikus pengurangan ketidakpastian percaya bahwa interaksi awal adalah eelemen kunci dalam proses perkembangan ini.

Asumsi terakhir mengindikasikan bahewa perilaku orang dapat diprediksi dalam cara seperti hukum. Sebuah pola digambarkan, tetapi pemikiran deterministik menyatakan bahwa hukum natural agak sedikit lebih lenggar. Akan tetapi, tetap saja untuk mendekati tujuan dari pernyataan ’seperti hukum’ tampak menakutkan. Oleh karenanya, teori-teori seperti URT mulai dengan apa yang mungkin terlihat seperti pengamatan yang wajar dengan tujuan untuk membentuk keteraturan-keteraturan yang mengatur perilaku manusia. Teori cakupan hukum disusun untuk mengubah pernyataan yang sebelumnya diasumsikan sebagai benar (atau aksioma) menjadi pernyataan yang diturunkan dari kebenaran ini (atau teorema).

Aksioma Teori Pengurangan Ketidakpastian

Teori Pengurangan Ketidakpastian adalah teori yang aksiomatik. Ini  berarti bahwa Berger dan Calabrese memulai dengan sekumpulan aksioma, atau kebenaran yang ditarik dari penelitian sebelumnya dan akal sehat. Aksioma-aksioma ini, atau disebut sebagai proposisi oleh peneliti lainnya, tidak membutuhkan adanya bukti lebih selain pernyataan itu sendiri. Berger dan Calabrese mengambil pemikiran aksiomatik ini dari penelitian sebelumnya (Blalock, 1969), yang menyimpulkan bahwa hubungan kausal harus dinyatakan dalam bentuk aksioma. Aksioma adalah jantung dari sebuah teori. Aksioma harus diterima sebagai valid karena merupakan batu penyusun dalam teori. Tiap aksioma menggambarkan hubungan antara ketidakpastian (konsep teoretis sentral) dan satu konsep lainnya. URT mengemukakan adanya tujuh aksioma. Untuk memahami tiap aksioma, kita akan kembali pada contoh awak kita mengenai Edie dam Malcolm.

Aksioma 1 : Dengan adanya tingkat ketidakpastian yang tinggi pada permulaan fase awal, ketika jumlah komunikasi verbal antara dua orang asing meningkat, tingkat ketidakpastian untuk setiap –artisipan dalam suatu hubungan akan menurun. Jika ketidakpastian menurun, jumlah komunikasi verbal meningkat. Hal ini menyatakan adanya kebalikan atau hubungan negatif antara ketidakpastian dan komunikasi verbal.

Sehubungan dengan situasi Edie dan Malcolm dikaitkan dengan aksioma ini, teori ini menyatakan bahwa jika mereka berbicara lebih banyak dengan satu sama lain, mereka akan menjadi lebih pasti mengenal satu sama lain. Selanjutnya, ketika mereka berusaha untuk mengenal satu sama lain dengan lebih baik, mereka akan berbicara lebih banyak satu sama lain.

Aksioma 2: Ketika ekspresi afiliatif nonverbal meningkat, tingkat ketidakpastian menurun dalam situasi interaksi awal. Selain  itu, penurunan tingkat ketidakpastian akan menyebabkan peningkatan keekspresifan afiliatif nonverbal. Hal ini merupakan salah satu hubungan yang bersifat negatif.

Apabila Edie dan Malcolm saling mengekspresikan diri mereka dengan cara nonverbal yang hangat, mereka akan menjadi lebih pasti mengenal satu sama lain, dan saat mereka melakukan ini, mereka kan meningkatkan afiliasi nonverbal mereka satu dengan lainnya. Mereka mungkin akan lebih banyak menggunakan ekspresi wajah, atau mereka mungkin akan melakukan kontak mata yang lebih lama. Bahkan, keduanya mungkin akan mulai saling menyentuh dengan cara bersahabat ketika mereka mulai saling merasa nyaman.

 

Aksioma 3: Tingkat ketidakpastian yang tinggin menyebabkan penurunan tingkat keintiman dari isi komunikasi. Tingkat ketidakpastian yang rendah menghasilkan tingkat keintiman yang tinggi. Aksioma ini memperlihatkan hubungan yang negatif antara ketidakpastian dan tingkat keintiman.

Oleh karena ketidakpastian antara Edie dam Malcolm relatif tinggi, mereka mulai dengan pembicaraan yang ringan dan tidak secara nyata membuka diri. Keintiman dari isi komunikasi mereka rendah, maka ketidakpastian mereka kan berada pada tingkat tinggi. Aksioma keempat ini menyatakan bahwa juka mereka terus mengurangi ketidakpastian dalam hubungan mereka, maka komunikasi mereka akan terdiri atas tingkat-tingkat tingkat-tingkat keintiman yang lebih tinggi. Berger (1979) menyatakan, bahwa selama proses pembukaan diri ini, para partisipan harus menilai integritas dari keterbukaan itu. Apakah ada kemungkinan bahwa informasi yang diterima seorang individu bersifat bias, terlalu positif, atau terlalu negatifff? Beberapa penilaian ini mungkin akan menjadi problematis bagi kedua orang yang sedang berada dalam suatu perjumpaan.

 

Aksioma 5: Ketidakpastian yang tingkat tinggi menghasilkan tingkat resiprositas yang tinggi. Tingkat ketidakpastian yang rendah menghasilkan tingkat resiprositas rendah pula. Hubungan yang positif terjadi disini.

 

Menurut URT, selama Edie dan Malcolm merasakan ketidakpastian mengenai satu sama lain, mereka akan cenderung untuk meniru perilaku masing-masing. Resiprositas (reciprocity) menyatakan bahwa jika seseorang memberikan sedikit detail personal, lainnya akan melakukan hal yang sama. Setelah Edie mengatakan bahwa dia tidak begitu memahami apa yang diajarkan di kelas dan bahwa dia mengambil jrusan teknik, Malcolm memberitahukan jurusan yang diambilnya kepada Edie dan bahwa dia kemungkinan mempunyai masalah jika ia mengambil kelas teknik. Reprositas langsung semacam itu adalah sebuah tanda dari perjumpaan awal. Main banyak orang berbicara satu sam alain dan mengembangkan hubungan mereka, makin mereka percaya bahwa resiproritas akan terjadi suatu titik tertentu.

 

Aksioma 6: Kemiripan di antara orang akan mengurangi ketidakpastian, sementara ketidakmiripan akan meningkatkan ketidakpastian. Aksioma ini menyatakan sebuah hubungan yang negatif.

 

Oleh karena Edie dan Malcolm adalah mahasiswa di Universitas Urban, mereka mungkin mempunyai kesamaan yang m,engurangi beberapa ketidakpastian mengenai satu sama lain secara cepat. Akan tetapi, mereka berbeda jenis kelamin dan berbeda jurusan-ketidakmiripan yang mungkin memengaruhi tingkat ketidakpastian mereka.

 

Aksioma 7: Peningkatan tingkat ketiodakpastian akan menghasilka penurunan dalam kesukaan; penurunan dalam ketidakpastian menghasilkan peningkatan dalam kesukaan. Lagi-lagi hubungan negatif diperlihatkan oleh aksioma ini.

 

Ketika Edie dan Malcolm mengurangi ketidakpastian mereka, mereka akan meningkatkan kesukaan mereka satu dengan lainnya. Jika mereka terus merasakan ketidakpastian yang tinggi mengenai satu sama lain, mereka  kemungkinan tidak akan menyukai satu sama lain. Aksioma ini menerima beberapa dukungan empiris yang tidak langsung. Dalam sebuah studi yang mempelajari mengenai hubungan antara kepuasan komunikasi dan pengurangan ketidakpasrtian, James Neuliep dan Erica Grohskopf (2000) menemukan bahwa partisipan yang menjadi pewawancara dalam sebuah permainan oeran organisasi lebih memperlihatkan perasaan positif terhadap partisipan yang berperan sebagai pencari kerja (dan akan cenderung memutuskan untuk mempekerjakan mereka) ketika ketidakpastian mereka rendah.

Teori Pengurangan Ketidakpastian telah memberikan kontribusi penting bagi bidang komunikasi, walaupun telah menimbulkan kontroversi dan perdebatan teoritis. Selain itu, meskipun teori ini mungkin bersifat linear. Teori ini telah mendorong munculnya banyak komentar dan penelitian, dan teori ini menempatkan komunikasi dalam posisi yang utama. Teori ini menandai mulanya para peneliti komunikasi berfokus pada disiplin mereka sendiri untuk penjelasan teoritis daripada meminjam teori dari disiplin lainnya. Selanjutnya, teori memunculkan dialog berkelanjutan ketika para peneliti meneruskan debat mereka mengenai validitas pada pengurangan ketidakpastian sebagai sebuah masalah utama dalam pengembangan hubungan.

 

FAKTOR-FAKTOR YANG MENUMBUHKAN HUBUNGAN INTERPERSONAL DALAM KOMUNIKASI INTERPERSONAL

Pola-pola komunikasi interpersonal mempunyai efek yang berlainan pada hubungan interpersonal. Tidak benar anggapan orang bahwa makin sering orang melakukan komunikasi interpersonal dengan orang lain, makin baik hubungan mereka. Yang menjadi soal bukanlah berapa kali komunikasi dilakukan. Tetapi bagaimana komunikasi itu dilakukan. Lalu apa saja faktor-faktor yang menumbuhkan hubungan interpersonal yang baik? Seperti telah disebutkan di muka, tulisan ini akan membahas tiga hal: percaya, sikap suportif, dan sifat terbuka.

Percaya (Trust)

Bila seseorang punya perasaan bahwa dirinya tidak akan dirugikan, tidak akan dikhianati, maka orang itu pasti akan lebih mudah membuka dirinya. Percaya pada orang lain akan tumbuh bila ada faktor-faktor sebagai berikut:

  • Karakteristik dan maksud orang lain, artinya orang tersebut memiliki kemampuan, keterampilan, pengalaman dalam bidang tertentu. Orang itu memiliki sifat-sifat bisa diduga, diandalkan, jujur dan konsisten.
  • Hubungan kekuasaan, artinya apabila seseorang mempunyai kekuasaan terhadap orang lain, maka orang itu patuh dan tunduk.
  • Kualitas komunikasi dan sifatnya mengambarkan adanya keterbukaan. Bila maksud dan tujuan sudah jelas, harapan sudah dinyatakan, maka sikap percaya akan muncul.

Perilaku Suportif

Perilaku suportif akan meningkatkan kualitas komunikasi. Beberapa ciri perilaku suportif yaitu:

  • Evaluasi dan deskripsi: maksudnya, kita tidak perlu memberikan kecaman atas kelemahan dan kekurangannya.
  • Orientasi masalah: mengkomunikasikan keinginan untuk kerja sama, mencari pemecahan masalah. Mengajak orang lain bersama-sama menetapkan tujuan dan menetukan cara mencapai tujuan.
  • Spontanitas: sikap jujur dan dianggap tidak menyelimuti motif yang pendendam.

Sikap Terbuka

Sikap terbuka, kemampuan menilai secara obyektif, kemampuan membedakan dengan mudah, kemampuan melihat nuansa, orientasi ke isi, pencarian informasi dari berbagai sumber, kesediaan mengubah keyakinannya, profesional dll. Komunikasi ini dapat dihalangi oleh gangguan komunikasi dan oleh kesombongan, sifat malu dll.

 

D. PENUTUP

Setelah menjabarkan teori-teori dan pendapat-pendapat dari para pakar komunikasi, akhirnya didapat kesimpulan guna meyakini proposisi KAP mempunyai fungsi seperti To relate to others and to form relationship secara ilmiah.

Komunikasi interpersonal membantu kita dalam membentuk suatu relasi (person to person). Karena manusia adalah mahluk sosial, maka kebutuhan untuk berhubungan dengan orang lain merupakan kebutuhan yang paling besar.

Fungsi tersebut dapat dilihat sebagai motivasi untuk melakukan komunikasi interpersonal. Dengan demikian, kita melakukan komunikasi interpersonal untuk memenuhi kebutuhan dalam membentuk suatu hubungan, dan juga dapat dilihat sebagai hasil yang ingin dicapai dari komunikasi interpersonal. Kita melakukan komunikasi interpersonal untuk mengenal diri kita sendiri lebih baik, mengenal orang lain secara lebih baik pula, maupun untuk membuat hubungan yang lebih bermakna dan memperolah pengetahuan tentang dunia luar.

Uraian di atas menunjukan bahwa manusia tidak dapat menghindar dari jalinan hubungan dengan sesamanya. Kita mungkin memiliki kadar yang berbeda dalam membutuhkan orang lain, demikian pula mengenai nilai penting kuantitas dan kualitas hubungan antarpribadi. Meskipun demikian, secara pasti dapat dikatakan bahwa kita memerlukan hubungan antarpribadi.

 

DAFTAR RUJUKAN

Rakhmat, Jalaludin. 2008. Psikologi Komunikasi. Bandung: Remaja Rosdakarya

Littlejohn, Stephen W. 2005. Theories of Human Communication. Belmont, California: Thomson Wadsworth Publishing Company.

Devito, Joseph A. 1997. Komunikasi Antar Manusia. Jakarta: Profesional Books.

West, Richard. Turner Lynn. 2007. Introducing Communication Theory. NY: Mc Graw Hill.

John Fiske, Introduction to Communication Studies, Sage Publications, 1996.

Lederer, W.K..1984. Creating a Good Relationship. New York: Norton.

 

Teori interaksionisme-simbolik dikembangkan oleh kelompok The Chicago School dengan tokoh-tokohnya seperti Goerge H.Mead dan Herbert Blummer.

Awal perkembangan interaksionisme simbolik dapat dibagi menjadi dua aliran / mahzab yaitu aliran / mahzab Chicago, yang dipelopori oleh oleh Herbert Blumer, melanjutkan penelitian yang dilakukan George Herbert Mead. Blumer meyakini bahwa studi manusia tidak bisa diselenggarakan di dalam cara yang sama dari ketika studi tentang benda mati. Peneliti perlu mencoba empati dengan pokok materi, masuk pengalaman nya, dan usaha untuk memahami nilai dari tiap orang. Blumer dan pengikut nya menghindarkan kwantitatif dan pendekatan ilmiah dan menekankan riwayat hidup, autobiografi, studi kasus, buku harian, surat, dan nondirective interviews. Blumer terutama sekali menekankan pentingnya pengamatan peserta di dalam studi komunikasi. Lebih lanjut, tradisi Chicago melihat orang-orang sebagai kreatif, inovatif, dalam situasi yang tak dapat diramalkan. masyarakat dan diri dipandang sebagai proses, yang bukan struktur untuk membekukan proses adalah untuk menghilangkan inti sari hubungan sosial.[1]

Menurut H. Blumer teori ini berpijak pada premis bahwa (1) manusia bertindak terhadap sesuatu berdasarkan makna yang ada pada “sesuatu” itu bagi mereka, (2) makna tersebut berasal atau muncul dari “interaksi sosial seseorang dengan orang lain”, dan (3) makna tersebut disempurnakan melalui proses penafsiran pada saat “proses interaksi sosial” berlangsung. “Sesuatu” – alih-alih disebut “objek” – ini tidak mempunyai makna yang intriksik. Sebab, makna yang dikenakan pada sesuatu ini lebih merupakan produk interaksi simbolis.[2]

Bagi H. Blumer, “sesuatu” itu – biasa diistilahkan “realitas sosial” – bisa berupa fenomena alam, fenomena artifisial, tindakan seseorang baik verbal maupun nonverbal, dan apa saja yang patut “dimaknakan”.
Sebagai realitas sosial, hubungan “sesuatu” dan “makna” ini tidak inheren, tetapi volunteristrik. Sebab, kata Blumer sebelum memberikan makna atas sesuatu, terlebih dahulu aktor melakukan serangkaian kegiatan olah mental: memilih, memeriksa, mengelompokkan, membandingkan, memprediksi, dan mentransformasi makna dalam kaitannya dengan situasi, posisi, dan arah tindakannya.
Dengan demikian, pemberian makna ini tidak didasarkan pada makna normatif, yang telah dibakukan sebelumnya, tetapi hasil dari proses olah mental yang terus-menerus disempurnakan seiring dengan fungsi instrumentalnya, yaitu sebagai pengarahan dan pembentukan tindakan dan sikap aktor atas sesuatu tersebut. Dari sini jelas bahwa tindakan manusia tidak disebabkan oleh “kekuatan luar” (sebagaimana yang dimaksudkan kaum fungsionalis struktural), tidak pula disebabkan oleh “kekuatan dalam” (sebagaimana yang dimaksud oleh kaum reduksionis psikologis) tetapi didasarkan pada pemaknaan atas sesuatu yang dihadapinya lewat proses yang oleh Blumer disebut self-indication. [3]

Menurut Blumer proses self-indication adalah proses komunikasi pada diri individu yang dimulai dari mengetahui sesuatu, menilainya, memberinya makna, dan memutuskan untuk bertindak berdasarkan makna tersebut. Dengan demikian, proses self-indication ini terjadi dalam konteks sosial di mana individu mengantisipasi tindakan-tindakan orang lain dan menyesuaikan tindakannya sebagaimana dia memaknakan tindakan itu. [4]
Lebih jauh Blumer dalam buku yang sama di halaman 78 menyatakan bahwa interaksi manusia dijembatani oleh penggunaan simbol-simbol, oleh penafsiran, dan oleh kepastian makna dari tindakan orang lain, bukan hanya sekedar saling bereaksi sebagaimana model stimulus-respons.
Selain menggunakan Interaksionis Simbolik, kasus Sampit bisa didekati dengan metode Hermeneutik.

Hermeneutik dapat didefinisikan sebagai suatu teori atau falsafah yang menginterpretasi makna. Pada dasawarsa ini, Hermeneutik muncul sebagai topik utama dalam falsafah ilmu sosial, seni dan bahasa dan dalam wacana kritikan sastera yang mempamerkan hasil interpretasi teks sastera.

Perkataan Hermeneutik berasal dari dua perkataan Greek: hermeneuein, dalam bentuk kata kerja bermakna ”to interpret” dan hermeneia, dalam bentuk kata nama bermakna ”interpretation”. Kaedah ini mengutamakan penginterpretasian teks dalam konteks sosiobudaya dan sejarah dengan mendedahkan makna yang tersirat dalam sesebuah teks atau karya yang diselidiki. Dokumen awal menjelaskan bahawa seorang ahli falsafah, iaitu Martin Heidegger menggunakan kaedah Hermeneutik pada tahun 1889-1976. Walau bagaimanapun, Hermeneutik telah mula dipelopori oleh Schleimarcher dan Dilthey sejak abad ke-17 dan diteruskan oleh Habermas, Gadamer, Heidegger, Ricoeur dan lain-lain pada abad ke-20.
Menurut Mueller (1997), Hermeneutik adalah seni pemahaman dan bukan sebagai bahan yang telahpun difahami. Hermeneutik juga adalah sebahagian daripada seni pemikiran dan berlatarkan falsafah. Oleh itu, untuk melakukan penginterpretasian terhadap ilmu pengetahuan tentang bahasa, maka adalah penting untuk memahami ilmu pengetahuan individu. Tetapi, pada hakikatnya adalah mustahil untuk menganalisis aspek-aspek psikologi seseorang itu. Kejayaan seni penginterpretasian bergantung kepada kepakaran linguistik dan kebolehan memahami subjek yang dikajinya.
[1] Bisa dibaca lebih jelas pada karya Stephen W. Littlejohn (1995). Theories of Human Communication, 5th Edition. Belmont, Wadsworth Publishing Company
[2] When Mead had to give up his position as a lecturer at the University of Chicago due to illness, Blumer took over and continued his work. In his 1937 article “Social Psychology”, Blumer coined the term symbolic interactionism and summarised Mead’s ideas into three premises: The way people view objects depends on the meaning these things have for them. This meaning comes about as a result of a process of interaction. The meaning of an object can change over time.
[3] Blumer, 1969, Ibid.hal.81
[4] Herbert Blumer, Symbolic Interaction: Perspective and Method (1969) hal.81